Chapter IX : Doa Yang Baik Saja

303 40 8
                                    

"Ibu macam apa yang membiarkan anaknya sakit sendirian?"

Pertanyaan menohok sekonyong-konyong keluar dari mulut Suryadi tanpa salam basa-basi, pada wanita yang duduk menunduk dengan wajah mengantuk di hadapannya. Suryadi melipat tangan di depan dada. Wajahnya merah padam dengan kilat tatap tajam yang mencitra marah.

Suryadi memang agak galak, cerewet betul perkara pelayanan dan sikap dokter yang harus sepenuh hati melayani. Selalu bicara tentang menyimpan masalah rumah jauh-jauh ketika menapak kaki di rumah sakit. Seorang dokter dengan dedikasi tinggi yang kuat menghadapi pasien paling menyebalkan sekali pun. Jadi, Adimas cukup merinding ngeri ketika melihat Suryadi marah seperti ini.

Adimas ingin jauh-jauh dari arena pertengkaran mantan suami-istri ini, tapi sadar diri, ulah dia Suryadi bertemu dengan Diani. Lagi pula, rasanya tak sopan kalau nyelonong pergi begitu saja, terlihat betul kalau jiwa Adimas itu cemen bukan main walau ibunya dokter polisi berpangkat tinggi.

"Adimas-" Tanpa embel-embel dokter, Adimas dipanggil Suryadi. Kaget bukan main tentu si dokter junior yang selalu merasa posisinya terancam ini. Cuma bisa patuh pada atasannya walau mungkin lebih berhubungan dengan hal-hal yang pribadi.

"Temani, Ris. Saya ada urusan dengan orang yang mengaku-aku ibunya Ris," kata dokter Suryadi menitah Adimas sambil menyindir Diani.

Diani. Dipikir Adimas mungkin wanita lima puluhan seumuran Suryadi, nyatanya masih terlihat muda, empat puluhan mungkin. Cantik, matanya besar dengan bulu mata yang lentik, mukanya tirus dan hidungnya mancung. Dari sini Adimas menyadari bahwa Ris itu plek-ketiplek mirip Suryadi.

Daripada terlibat dalam urusan rumah tangga orang, Adimas memilih patuh dan menemani Ris. Sisa Suryadi berdua dengan Diani, di tengah keramaian ruang perawatan gedung B lantai 9 akibat kematian salah satu pasien di sana dan dua pasien yang tiba-tiba kritis.

Suryadi mencoba menahan diri. Menahan sekuat tenaga untuk tidak menampar Diani. Menahan diri untuk kebaikannya sebagai salah satu jajaran direktur rumah sakit, walau perasaannya sudah hancur lebur ketika bertemu pandang dengan Diani setelah apa yang terjadi pada Ris malam ini.

"Sejak kapan. Sudah sejak kapan keluhannya?" tanya Suryadi tegas.

"Dari SMA," balas Diani pelan, "itu juga kan Akang yang bikin Ris belajar sampai malam agar bisa masuk universitas jalur undangan."

"Aku gak pernah menuntut Ris. Bahkan aku bilang mau masuk swasta juga aku bayar sampai lunas. Apa cuma akal-akalan kamu biar kuliahnya murah tapi pakai nama aku?" balas Suryadi kesal. Diani diam.

"Dari SMA rutin kambuh atau bagaimana?" tanya Suryadi lagi.

"Kan Akang yang nemenin dari masuk rumah sakit," kata Diani.

"Kan kamu yang lebih lama menghabiskan waktu sama Ris. Kan kamu yang melarang aku bertemu Ris. Kamu yang mestinya lebih tahu!" Suryadi tak kuasa menahan diri untuk membentak Diani. Bulir-bulir air mata mulai membasahi pipi Diani, antara kesal karena dibentak, marah dan sedikit sesal yang bersarang.

"Setiap semester. Setiap semester diam-diam berobat ke poliklinik kampusnya," kata Diani pelan. "Aku juga baru tahu akhir-akhir ini dia selalu minta obat gratis dari klinik kampus dengan alasan maag."

"Kalau makan, sumpah aku selalu sediakan!" kata Diani. "Lihat saja badannya gemuk begitu! Kayak kamu!"

"Badan gemuk, makanya gak ada yang suka sama dia!" tambah Diani yang membuat Suryadi tak dapat menahan diri untuk menampar Diani. Tidak keras, tapi sakitnya sampai ke hati.

"Kalau gak bisa ngurus, sudah aku saja yang urus!" kata Suryadi sambil melepas paksa kartu akses penunggu pasien yang menggantung di leher Diani.

Diani menahan Suryadi yang mencoba merebut kartu akses penunggu Ris. Dengan kekuatan penuh, dia mendorong Suryadi menjauh setelah melepas genggaman tangan si mantan suami pada kartu akses yang tergantung di lehernya.

Get Well SoonWhere stories live. Discover now