Chapter III : Teman Yang Berprofesi Dokter

462 65 38
                                    

Pagi sekali setelah perawat membantu Ris untuk berseka dan menyuntikan obat lewat selang infusnya, Adimas datang dengan senyum yang lebar membawa bingung pada pasiennya. Tak pakai snelli, tidak pula scrub, si dokter junior itu memakai jaket windbreaker yang dipadu celana olahraga dan sepatu clock, menjinjing sepatu sepeda dan menggendong sebuah ransel kecil. Helm sepeda bahkan masih terpasang di kepalanya.

"Selamat pagi!" Ris terlalu lemas untuk membalas sapa Adimas. Sudah terkuras habis tenaganya untuk sekadar berpikir apalagi obat injeksi tadi membuat tangan kirinya pegal bukan main.

Ris hanya sanggup menggerakan kepalanya, mengulas senyum kecil sambil berpikir bahwa visit dokter yang hari ini masih terlalu dini, bahkan belum sampai dua belas jam dari visit pertama kemarin malam. Ia perhatikan terus gerak-gerik Adimas yang tampak santai di kamarnya dengan seksama.

Lelaki berprofesi dokter itu mengeluarkan tempat makan dan menyimpannya di atas nakas. Toples berisi biskuit marie juga disimpan di sana bertuliskan '2 x 1 (2 jam setelah makan, 2 jam sebelum makan obat)'.

"Dokter?" Ris bingung dengan apa yang dilakukan Adimas. Lelaki itu hanya merespon dengan sebelah alis yang terangkat.

Setelah selesai dengan kesibukannya di sebelah kiri Ris, Adimas berpindah tempat ke sebelah kanan kasur Ris sambil sibuk mengeluarkan stetoskop. Setelah menurunkan sandaran kasur Ris, ia mulai bersiap untuk melakukan pemeriksaan.

"Aku mau periksa jantung dan paru-parunya. Permisi, ya," ujar Adimas sambil meletakkan stetoskopnya ke dada Ris.

Adimas mencurigai ada masalah pernapasan dari asumsinya tentang Ris yang selalu meninggikan sandaran kasurnya. Kebiasaan memakai bantal tinggi sebenarnya bisa jadi indikasi kuat kalau ada masalah pernapasan.

Detak jantungnya agak cepat, napasnya berisik. "Punya riwayat penyakit asma?" tanya Adimas pada Ris.

Ris mengangguk. Dugaan Adimas benar.

"Selain penyakit asma, ada riwayat apa lagi?" tanya Adimas.

"Sinusitis alergi. Jadi kalau ruang berdebu, AC yang terlalu dingin atau cuaca yang dari panas langsung dingin bisa membuat hidungku mampet. Ingusnya hijau dan susah sekali untuk dikeluarkan," jelas Ris terdengar lelah. Penyakit yang paling mengganggunya.

"Kalau kambuh, pegal di bawah mata dan di atas alis. Kalau sujud atau ruku, aduh pusingnya bukan main. Belum lagi aroma yang cuma bisa dicium sendiri sampai gak selera makan," tambah Ris.

"Kayaknya harus konsul THT, sih," tutur Adimas sambil menerka-terka dokter THT yang sekiranya ramah dan tidak mengganggu mood Ris nantinya.

"Nanti aku rujuk ke THT. Sementara pakai nasal spray, pernah pakai?" tanya Adimas.

"Biasanya pakai yang botolnya warna hijau. Aku lupa tulisannya apa. Karena setahun ini jarang kambuh aku gak pakai, sih," jawab Ris.

"Ah, aku tahu. Ok, nanti aku resepkan, ya," kata Adimas, "soalnya suara kamu juga agak mampet gitu."

Ris nyengir sesaat. Sungguh dalam hati terpesona bukan main. Suka sekali tipe lelaki peka yang fungsional.

Ya, tipe lelaki idaman Ris. Peka dan fungsional. Ris sejujurnya sukar sekali untuk mengutarakan isi hatinya, beda dengan isi pikiran yang sesuai data. Belum lagi, ia tak suka dianggap lemah sehingga kebiasaan menyembunyikan penyakitnya. Ris butuh seseorang yang peka.

Fungsional. Peka saja tak cukup, harus bisa bermanfaat bagi Ris, memenuhi kebutuhan Ris berdasarkan piramida kebutuhan Maslow kalau bisa agar menyeluruh. Kalau bisa yang memang fungsional dalam menjaga dan merawat kesehatan Ris yang akhir-akhir ini agaknya rentan.

Get Well SoonWhere stories live. Discover now