Chapter XIV : Pulang ke Rumah yang Mana?

257 45 10
                                    

Ada takut yang meruah dari dada. Menguasai isi kepala hingga tiada bisa untuk diolah. Kalau diam makin takut dia, karena takut ini mata airnya dari ketidaktahuan Ris atas diamnya Ibu sejak kali pertama Ibu ada di sini.

Ibu cuma diam tak bicara. Diam, termenung. Berangkat kerja, kembali menjelang sore hanya untuk diam dan diam. Apalagi kini Dokter Emir bukan tipe-tipe manusia seperti Adimas yang bisa mencairkan suasana, jadi banyak diamnya, banyak tak dibuka pembicaraannya.

Ris bukan anak kecil lagi. Dia sudah dua puluh empat. Bila sesuai dugaannya bahwa diamnya Ibu karena marah pada Ris yang jelas-jelas memilih rumah sakit tempat ayahnya bekerja, maka sepatutnya mereka bicara.

Namun, ah sayang, masalah Ayah tak bisa Ibu berkepala dingin. Pasti marah. Pasti kesal. Sudah, pada akhirnya Ris menyerah.

"Hari ini rencana pulang, tadi Dokter Emir sudah visit, ya? Tinggal tunggu acc dari Dokter Adimas, ya." Perawat yang mengecek tensi dan saturasi pagi ini berkata ramah.

Betul, pagi tadi, pagi sekali, Dokter Emir sudah visit. Katanya boleh pulang, tapi tunggu Dokter Adimas karena ada yang harus dipertimbangkan.

Takut lagi menguasai isi kepala Ris. Takut pertimbangan itu adalah hal-hal mematikan. Takut sakitnya merepotkan ibu dan ayahnya. Takut apapun itu kelak jadi masalah yang diungkit-ungkit oleh Ibu sebagai dosa Ris yang ditumpuk banyak saat ini.

Nyeri di ulu hatinya yang sudah mereda kembali terasa, tapi Ris memilih diam. Diam saja tidak bicara sebab suasananya makin menegangkan karena Ibu mengaji Quran dengan suara yang lantang seakan sedang menyucikan seorang pendosa.

Dokter Adimas bilang semua manusia berdosa, disadari atau tidak. Sakitnya tidak bisa disebut buah dari dosa-dosanya, tapi tidak menutup kemungkinan dia berdosa, hanya Tuhan yang berhak mengadili itu semua. Cuma satu yang bisa Ris lakukan, berdoa setiap saat.

Rasanya ingin menangis. Tidak nyaman nyatanya ditemani oleh Ibu itu. Sementara ditemani Ayah yang jarang bertemu rasanya canggung, pula dia sudah jadi perempuan dewasa, Ayah tak leluasa membantu Ris ke toilet atau semacamnya.

Grasak-grusuk pintu dibuka. Suara napas tersengal-sengal terdengar bersama decit langkah kaki yang terbalut sandal karet tertutup.

Adimas muncul dari balik tirai, tersenyum masih terengah-engah. Ris tidak tahu kalau si dokter junior ini kudu vertical run dari lantai satu ke lantai sembilan karena lagi-lagi di gedung baru ini lift khusus dokter penuh, sementara lift pasien sedang aktif mengantar pasien naik dan turun.

"Selamat-" Jeda sejenak Adimas melihat jam. Pukul dua belas lebih tiga puluh menit.

"Selamat siang!" sapa Adimas kemudian sambil tersenyum dengan wajah penuh keringat.

Ini diluar jadwal visit Adimas biasanya. Rabu siang. Dari RSCR kebut-kebutan ke CCIH, soal memulangkan Ris yang sudah dibolehkan pulang oleh Dokter Emir.

Adimas berterima kasih pada Alvaro yang membantunya menyetir buru-buru begini sementara dia membaca tiap hasil segala rupa tes untuk mengukur tingkat asma Ris.

"Sudah boleh pulang, ya! Nanti perawat-perawat di sini yang akan bantu untuk urus billing-nya. Sementara akan aku jelaskan sesuatu."

Adimas sesungguhnya sudah menggambar lagi, sayang tabletnya tertinggal di mobil Alvaro. Ini sebabnya Adimas tak suka buru-buru, tak suka hal-hal berbau kegawatdaruratan, hal-hal yang tiba-tiba.

"Dari hasil tes spirometri pertama hasil FEV1 Ris ini empat puluh dua persen. Artinya apa? Artinya, ada penyempitan saluran napas yang cukup pelik. Setelah dapat obat, hasil FEV1 Ris sudah naik ke angka lima puluh persen, tapi itu masih termasuk ke kategori sedang. Yang patut disyukuri, hasil rontgen thorax-nya bagus, tidak ada perubahan jadi bisa dibilang kita bisa usahakan untuk pulih," jelas Adimas sambil memperlihatkan hasil cetak rontgen yang kemudian akan dibawa pulang oleh Ris.

Get Well SoonWhere stories live. Discover now