☕ Bab 4

17 2 0
                                    

KEENAN

Dengan pasukan keluarga Soemaryo yang lengkap, akhirnya kami bisa mulai mengisi rumah dengan berbagai pernak-pernik yang dikirim dari Temanggung. Adik kembarku—Gloria dan Grace—sudah datang minggu lalu. Kehadiran mereka makin membuat sesak isi apartemen. Di saat bersamaan, keceriaan dan senda gurau mereka kian menghidupkan hunianku. Kak Tommy yang baru datang dari Leeds kemarin langsung membantu memindahkan barang ke rumah baru. Aku pun terpaksa izin setengah hari.

Setelah selesai dengan urusan rumah, aku bergegas ke kafe. Setibanya di sana, aku menemukan seorang perempuan tengah berdiri di balik meja bar, asyik bercengkerama dengan Leo. Padahal tanda 'Tutup' masih menggantung di pintu. Mereka menoleh saat bel di atas pintu berbunyi. Bibir Leo melengkung tinggi saat dia menyapaku.

"Keenan, my man!" serunya sambil melingkarkan lengan di pundakku dan menggiringku ke belakang meja. "Kenalin, Nan. Ini Kelsey."

Sesaat aku mengingat-ingat nama yang terdengar familier itu.

Oh! Teman kencan Leo bulan lalu. Proses pindahan rumah yang menyita waktu membuat waktu seolah berlari.

Eh, tunggu, sebulan lalu? Dan perempuan ini ada di sini? Tidak biasanya Leo mengajak teman kencannya ke kafe. Apalagi untuk bertemu denganku. Perempuan ini pasti spesial.

Pintu dapur terbuka saat aku sedang mempersiapkan kudapan. "Kuenya siap bentar lagi. Kafenya dibuka dulu aja nggak pa-pa," ujarku tanpa menoleh.

"Leo sudah buka kafenya." Suara seorang perempuan menjawabku. Sontak aku membalikkan badan. Begitu mengenali Kelsey, aku tersenyum sekilas, lalu mengembalikan perhatian ke pastri. "Apa kamu keberatan kalau aku bantu-bantu di kafe? Cuma jaga kasir atau ngasih kopi ke customer. Leo dan kamu yang tetap racik kopi."

"Nggak, sih. Malah bagus kalau dia ada temannya," balasku yang dibalas dengan senyum tertutup. Serta merta aku merasakan bahwa ada sesuatu yang masih dipendam Kelsey. "Tunggu, Maksudmu, secara permanen?" Saat dia akhirnya mengangguk, aku melanjutkan, "Tapi, kami nggak bisa bayar kamu banyak."

Buru-buru dia mengibaskan tangan. "Aku nggak perlu dibayar. Aku cuma butuh kegiatan buat ngisi waktu senggang sampai ada panggilan kerja."

Sebelumnya, Kelsey memang bercerita kalau dia masih menunggu upacara kelulusan dan mengambil ijazah sembari mengirim aplikasi lamaran kerja ke beberapa perusahaan. Oleh karenanya, dia sedang tidak memiliki banyak aktivitas di kampus. Dia lantas menjelaskan bahwa dia punya pengalaman bekerja di kafe di universitasnya, sehingga dia memiliki sedikit pengetahuan tentang melayani pelanggan. Jawabannya itu tak ayal membuatku terkekeh.

"Kamu kayak lagi wawancara kerja," selorohku.

Kelsey mengangkat sebelah bahu. "Ya, ini kurang lebih kayak wawancara kerja, kan?"

Kami berdua kemudian sama-sama tertawa. Lalu, aku memberitahunya bahwa dia bisa bekerja di Coffetaria. Karena menganggapnya sukarelawan, aku tidak memberikan jadwal kerja padanya. Terserah saja kapan dia mau datang. Paling-paling dia akan datang bersama Leo.

Tak lama setelah Kelsey keluar, aku mengikutinya dengan membawa kue-kue yang sudah matang. Saat melihat jejeran kue di nampan, senyum terulas secara otomatis di bibir. Inilah salah satu hal yang membuatku menyukai dunia kuliner. Bahwa makanan hampir selalu sukses membuat orang bahagia. Pernahkah kamu bertemu orang yang bisa marah-marah saat di meja makannya tersedia makanan manis dan secangkir kopi hangat? Jarang, bukan?

"Kamu mau kue juga buat sarapan?" tanya Leo kepada seorang pelanggan.

"Ada apa aja di sini?" tanyanya. Seorang perempuan.

Fokusku masih pada nampan berisi kue. Kepalaku berada di balik mesin pembuat kopi, sehingga pandanganku pada sosok perempuan itu pun terhalang. Tiba-tiba Leo berjalan mendekat. Disenggolnya lenganku. Isyarat agar aku menawarkan menu kami hari ini.

Sontak aku meluruskan punggung. Kali ini, aku dapat melihat perempuan itu dengan jelas. Tatapan kami bertemu. Tepat saat itu, jantungku pun berhenti berdetak sejenak.

Cokelat terang. Seperti madu.

Tanganku kaku dan bibirku ikut kelu. Perlahan, matanya menyiratkan tanda tanya.

"Coba kau tengok perempuan ini," seru Leo, mengejutkanku. "Wajahnya bule kali, tapi cakap Indonesia-nya lancar betul. Seperti bukan bule. Dari mana asalmu? Australia? Aku tahu bule-bule banyak belajar bahasa Indonesia di sana."

Perempuan itu tertawa geli mendengar lanturan Leo. Tawanya sukses menggetarkan nadi dalam tubuhku. Untuk beberapa detik, aku seperti berada di roller coaster yang menghadapi turunan tajam yang seakan tak berujung.

"Nggak. Orangtuaku dari Inggris."

Jawabannya makin membuatku gamang. Mungkinkah dia...?

Ah, mana mungkin. Rambutnya cokelat terang, seperti warna matanya. Tidak hitam pekat.

"Bro!" seru Leo. "Kau mau buat dia telat kuliah?"

"Beef quiche, tuna sandwich, chicken and spinach sandwich. Kami punya red velvet dan cinnamon roll juga kalau kamu mau yang manis," tanggapku cepat, hampir tanpa jeda.

"Chicken and spinach sandwich saja," jawabnya. Matanya masih lekat padaku, seakan berusaha menelanjangi jiwaku.

Perempuan itu lantas menerima pesanan yang diangsurkan Leo. Sebelum memutar tubuh, dia menoleh ke arahku. Dilemparnya seulas senyum yang tampak begitu familier di mataku. Senyuman yang membuatku ingin mengejarnya keluar kafe kalau saja kaki ini punya tenaga untuk bergerak.


☕☕☕

SanctuaryWhere stories live. Discover now