☕ Bab 10

29 4 2
                                    

KEENAN

Menjelang sore, aku lihat sosoknya setengah berlari memasuki kafe. Aura yang menguar dari dirinya tampak berbeda dari saat kami bertemu pagi tadi. Sudah pasti terjadi sesuatu yang tidak mengenakkan. Di Kulon Progo dulu, bila melihat ekspresi seperti ini, aku hampir 100% yakin seseorang baru saja merundungnya. Dia tidak akan tersedu-sedu, tetapi air sudah akan menggenangi mata indahnya. Wajahnya akan merah padam. Tubuh mungilnya kaku. Garis wajahnya mengeras.

Apakah ada temannya yang menyakitinya?

Sebesar-besarnya keinginanku untuk mendahulukannya, aku tetap tidak bisa mengabaikan pelangganku yang sudah mengantre duluan. Jadi, aku hanya melempar senyuman padanya. Memohonnya menunggu. Dia membalas senyumku. Ala kadarnya.

Tidak salah lagi. Suasana hatinya sedang buruk.

Pikiranku tiba-tiba kacau melihatnya tidak bersemangat. Dilemparkannya pandangan ke luar jendela. Saat masih kecil dulu, dia akan melakukan hal serupa bila sedang menuturkan kejadian buruk yang baru menimpanya. Dia sering enggan melakukan kontak mata denganku.

Di waktu bersamaan, aku suka melihatnya tidak malu memperlihatkan suasana hatinya padaku. Itu yang membuatnya terlihat menawan bagiku.

"Kopi," sahutnya saat kepalaku masih menunduk ke mesin kasir. "Sekarang, aku butuh kopi."

"Karena?"

"Sakit kepala dan aku butuh kafein."

Aku mengernyit, mencoba mempelajari wajahnya sejenak. "Oke.... Kamu mau kopi apa?"

Kali ini, gilirannya yang mengerutkan dahi. Tangannya terangkat untuk menggaruk kepala sembari mempelajari deretan jenis kopi yang tertera di papan menu. Semakin lama, dia tampak semakin bingung. Menggemaskan.

"Kamu coba Toraja dulu, ya," kataku. "Kandungan asamnya rendah, jadi masih aman buat lambung pemula. Aromanya juga wangi. Salah satu jenis kopi terbaik di dunia. Mau yang panas?"

Dia mengangguk pelan. Aku hendak meminta Leo untuk meracik kopi, tetapi pria itu memberi kode agar kami berganti posisi. Bola matanya berlari ke Skye sesaat. Tampaknya, lelaki itu juga menangkap raut sendu yang menghiasi wajah Skye.

Perempuan bermata cokelat itu mengikutiku. Mengamatiku menyiapkan kopi untuknya.

"Did someone hurt you?" tanyaku pelan dan hati-hati.

Skye mengambil waktu untuk menjawab. "Nggak cocok aja sama teman satu kelompok."

Sesaat, dadaku terasa seperti diremas karena Skye masih tertutup padaku. Berbeda dengan saat kami masih di Kulon Progo dulu. Aku harus mengingatkan diri bahwa kami telah terpisah selama 18 tahun. Tentu, butuh waktu baginya untuk terbuka lagi padaku.

Maksudnya, 18 tahun adalah waktu yang lama. Waktu 18 tahun bisa mengubah seseorang. Tak terkecuali diriku dan Skye.

Lalu, di luar dugaan, tiba-tiba dia melanjutkan, "Kemarin, aku dapat teman satu grup dari Indonesia. Dia ngenalin aku sama teman-temannya. Salah satunya belagu banget. Satunya lagi, cewek, kayak nggak suka sama aku. Padahal kami juga baru ketemu kemarin. The other two are okay. I can handle the girl. Tapi sama yang belagu ini ..., ugh! Rasanya aku pengin...."

"Nyumpal mulutnya pakai kerikil?" candaku, berupaya mengingatkannya kembali pada masa kecil kami menghadapi para perundung kecil.

Dia menghela napas pendek. "Sayangnya, di kantin tadi nggak ada kerikil."

Aku terkekeh. Beberapa detik kemudian, Skye ikut tertawa. Dia terlihat lebih rileks. Ada kelegaan pula yang mengempas batin karena Skye yang kukenal perlahan kembali muncul ke permukaan. Pelan-pelan, pudar sifat hati-hatinya.

SanctuaryWhere stories live. Discover now