☕ Bab 12

21 3 0
                                    

KEENAN

Aku tahu aku baru bertemu dengannya lagi tiga hari lalu. Karenanya, aku tidak mengerti mengapa aku merasakan kecemburuan ketika Skye menceritakan malamnya di The Floating Cinema. Bukan karena dia lebih memilih menonton bersama teman-temannya dibanding denganku. Bukan karena dia sama senangnya ketika dia bersama dengan teman-temannya dan ketika bersamaku. Namun karena seorang Lutz mendapatkan kesempatan melewatkan malam bersamanya. Lutz yang dianggapnya belagu. Lutz yang tiba-tiba mengajaknya kencan.

Skye bilang dia menolak ajakan lelaki itu. Namun, aku skeptis satu kata "tidak" dapat mengurungkan niat Lutz untuk mencoba lagi.

Benar dugaanku. Saat Skye datang ke kedai kopi sore ini, dia menceritakan usaha Lutz mendapatkan kesempatan kencan dengannya. Cerita demi cerita keluar dengan lugasnya dari bibir Skye. Setiap cerita bagaikan sungut rokok yang menekan kulitku, menembus hingga tulangku. Setiap hari, dia mempelajari hal baru tentang Lutz dan setiap hari, aku merasakan panas di dadaku semakin menjadi-jadi.

Lutz hampir selalu menjadi topik pertama yang diangkatnya. Meskipun gerah, aku tidak ingin melewatkan sekecil apa pun informasi tentangnya dan Lutz. Aku ingin tahu apa yang dia sukai ataupun tidak sukai dari Lutz. Aku ingin tahu ekspresi wajahnya untuk menangkap kesungguhan hatinya saat mengungkapkan hal-hal tentang Lutz yang mengganggunya ataupun yang menggetarkan hatinya. Aku tidak ingin menghindarinya karena aku takut jika aku bersikap tidak tertarik, dia akan berhenti bercerita. Lalu tiba-tiba, dia sudah terenggut dariku ketika aku membuka mataku esok hari. Hingga akhir pekan, aku seperti sudah mengenal Lutz sangat baik, mengingat aku baru sekali berbicara dengannya.

Laki-laki itu tiga tahun lebih muda dari Skye. Anak tunggal. Ayahnya seorang diplomat yang membuatnya secara otomatis mendapatkan akses untuk fasilitas terbaik. Pindah ke London empat tahun lalu untuk pendidikan sarjana, langsung melanjutkan studi master setelah lulus. Semua yang dimilikinya di London terdaftar atas namanya. Apartemennya termasuk yang termahal dengan fasilitas asisten rumah tangga. Tentu, dia bukan orang sembarangan. Tidak semua orang mampu membayar asisten rumah tangga di sini, mengingat biaya tenaga kerja cukup tinggi.

Kalau masalah uang yang diadu, jelas aku tidak mampu bersaing.

Aku mendengkus dalam hati. Apa yang kupikirkan? Baru bertemu kembali, sudah memikirkan untuk bersaing.

"Orang pikir hidupnya sempurna karena serbaenak," komentar Skye sambil sibuk memainkan pen di atas drawing pad. Aku duduk tepat di depannya, menemaninya di sela jam istirahatku. Tiba-tiba, dia terdiam dan menatapku. "Tapi, kalau diperhatiin lagi ya, kelihatannya dia tuh nggak terlalu dekat sama keluarganya. Dia selalu ngelak atau ngalihin pembicaraan kalau udah bawa-bawa orangtua dan keluarga."

"Kelihatannya juga ada yang diam-diam mulai perhatian sama Lutz," godaku, mencoba menelan kecemburuanku.

Dia mengedikkan bahu dan kembali mengarahkan perhatian ke layar laptop. Ekspresinya berubah muram. "Nggak sulit lihatnya."

Baru saja aku pikir dia akan mengakhiri pembicaraan tentang Lutz, perempuan itu tiba-tiba melanjutkan, "Teman dekatku ada yang kayak Lutz. Sama-sama anak tunggal. Orangtuanya sama-sama sibuk.  Satu-satunya perhatian yang bisa dikasih orangtuanya cuma uang. Dari beberapa sisi, aku bisa paham perasaan mereka. Daddy sering pergi. Bisa sampai berbulan-bulan. Jadi, aku besar nyaris tanpa kehadiran Daddy, tapi seenggaknya dia nggak pernah lupa nanyain aku, telepon aku walau cuma beberapa menit. Mummy juga kebetulan nggak kerja. Jadi, minimal aku masih punya satu orangtua yang ada buatku, physically."

"Mungkin karena itu kamu dipertemukan orang-orang kayak mereka. Pertama, supaya kamu nggak lupa bersyukur. Kedua, kamu bisa bantu mereka buat nyembuhin diri mereka."

SanctuaryWhere stories live. Discover now