☕ Bab 13

26 3 0
                                    

SKYE

Saat masih kecil dulu, bersama Keenan terasa mudah. Aku tidak pernah terlalu berusaha untuk membawa diri. Aku tak pernah takut bersikap apa adanya. Dulu, mudah sekali kuutarakan apa yang kuinginkan. Tidak pernah ada kata sungkan. Aku pun selalu jujur tentang perasaanku. Bila menyukai sesuatu yang dilakukannya, aku akan mengungkapkannya tanpa malu. Jika menginginkannya melakukan sesuatu untukku, aku akan langsung memintanya dengan sopan.

Sekarang, lidah ini tak seluwes dulu. Sekarang, terlalu banyak pertimbangan yang harus dipikirkan. Bahkan untuk memintanya menjabarkan isi kepalanya padaku bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan. Dulu, aku hanya cukup bertanya dan dia akan melisankannya padaku.

Dulu, bisa saja aku dengan mudahnya bertanya tentang apa yang dipikirkannya tentangku. Baik dan buruk akan tetap kuterima. Sekarang, aku sudah takut dan gugup lebih dulu.

Dulu, aku tidak takut tampil apa adanya. Sekarang, aku selalu ingin memastikan aku memberi penampilan terbaik di hadapannya. Bukan saja karena aku ingin menampilkan citra terbaik, melainkan karena aku ingin dia melihatku sebagai perempuan seutuhnya. Sebagai ... perempuan yang lebih dari sekadar teman masa kecil.

Sayangnya, hingga detik ini, Keenan tampak belum menunjukkan keinginan untuk melepas label teman.

Lamunanku itu membuat tubuhku bekerja dalam mode autopilot. Alias aku tidak menyadari bahwa aku sudah tiba di Coffetaria. Dari jendela kafe, aku melihat Keenan sedang melayani seorang pelanggan. Meski baru mengenalnya beberapa minggu, aku cukup hafal dengan postur tubuh Lydia yang tinggi dan langsing. Belum lagi rambut panjang berwarna cokelat dengan balayage pirang yang selalu dikeriting.

Buru-buru aku masuk dan memanggil Lydia. Perempuan itu segera berbalik dan melemparkan senyum. Mataku tertuju pada Keenan yang mendongak dari balik mesin kopi saat mendengar suaraku.

"Hai, Skye," sapa Lydia bersamaan dengan kembalinya Keenan ke meja kasir untuk memberikan pesanan Lydia. Perempuan itu menyenggol lenganku sambil melirik ke arah Keenan. "Agen pemasaran kalian ini memang paling kece."

Keenan tertawa gugup. Dia memandangku bingung. Butuh beberapa detik bagiku untuk memahami maksud dari tatapannya.

"Kece maksudnya keren," ucapku. "Keenan, ini Lydia, teman sekelasku. Waktu itu, kamu antarin aku ke rumahnya buat kerja kelompok." Aku mengalihkan pandangan ke Lydia. "Lyd, ini Keenan."

"Ah, so this is the famous Keenan."

Mendengar itu, mataku membola. Tak siap dengan komentarnya. Pipiku seperti dihujani bara api. Takut-takut, aku melirik ke arah Keenan saat Lydia menyambut jabatan tangan lelaki itu. Mencoba mendeteksi sedikit saja ketidaknyamanan di wajah Keenan kala Lydia menggodanya tadi. Hanya saja, laki-laki itu tampak tidak terganggu dengan kelancangan temanku. Malahan dia bertanya apa saja yang pernah aku ceritakan kepada teman-teman sambil menyiapkan pesananku.

Ketika Keenan meletakkan satu paper cup dan tas berisi kotak makan di hadapanku, giliran Lydia yang terkejut.

"Pesanannya selalu sama tiap hari," kata Keenan. Dia mengembalikan perhatiannya padaku. "Ada kesukaanmu di situ."

Buru-buru aku menyodorkan kotak makan kemarin ke Keenan dan membuka tas di hadapanku. Satu plastik penuh bakwan jagung. Masih hangat. Dengan segera, aku membuka ikatan kantong plastik dan mengambil satu bakwan. Dengan satu bakwan di mulutku, aku mengambil satu lagi untuk kuberikan kepada Lydia.

Keenan tergelak melihat tingkahku. "Nggak susah buat bikin Skye senang. Dikasih bakwan jagung aja dia sudah happy."

Lydia mengulum senyum. Dia lantas mengambil bakwan dari tanganku dan mulai mengunyahnya. Aku menunggu reaksi Lydia. Benar saja. Tak lama, ekspresinya berubah. Kemudian, pujian keluar dengan lugas dari bibir Lydia.

SanctuaryWhere stories live. Discover now