☕ Bab 6

15 5 0
                                    

KEENAN

Rambutnya hitam, tetapi sorot matanya masih sama. Teduh dan tenang. Indah.

Bertahun-tahun namanya tidak pernah terucap dari bibirku. Aku sengaja tidak pernah menyebutnya karena mendengarkan namanya saja membuat hatiku teriris. Langit langsung berubah mendung. Cuaca mendadak jadi dingin lantaran aku telah kehilangan kehangatan yang selalu terpancar dari dirinya.

Hari ini bukanlah hari-hari itu.

Namanya menjadi kata terindah yang kurangkai seharian ini.

"Keenan?" Suara lembutnya tak pelak menentramkan hatiku.

"Kami udah ketemu pagi tadi, Bunda. Skye datang ke kafe. Cuma aku nggak ngenalin," jawabku sambil mencoba menguatkan otot kaki yang gemetaran selagi menuruni tangga untuk mendekati Skye dan Bunda.

Tangannya mengelus tengkuk. Melihat reaksinya, ada setitik kelegaan yang menaungi batin. Sebab setidaknya, tidak hanya aku yang gugup saat ini. Rona merah pipinya terlihat jelas di kulitnya yang putih pucat. Apalagi dari dekat seperti ini.

Sedari dulu, aku selalu suka melihatnya tersipu. Kecantikannya menjadi berlipat ganda. Dia berbeda dari bocah perempuan kebanyakan. Itulah yang membuatnya unik. Ditambah dengan keberanian dan kegigihannya. Kemudian, kelemahlembutan yang hanya ditunjukkannya padaku menjadikannya kian spesial.

"Kayaknya lebih cocok di aku," candanya.

"Cocok buat berbaur?" balasku yang disambut tawa kecil olehnya.

"Skye lagi ambil S2 di sini, Le. Hebat banget, ya. Jadi perempuan harus gitu. Kejar pendidikan tinggi-tinggi. Jangan mau kalah."

"Bukannya emang dari dulu kalau nggak mau kalah?" lanjutku. Dia memutar bola matanya. Menawan. "Di universitas mana?"

"City. University of London."

Aku mengernyitkan. Perlahan, tanganku terangkat dengan telunjuk terarah ke kanan jalan. "City arahnya ke sana. Aku pikir kamu sudah tahu universitasmu waktu keluar dari kafe."

"Oh, nggak. Aku lagi nyari alamat teman. Cuma belum ketemu-ketemu."

"Alamatnya di mana memangnya?"

Aku memupuskan sisa jarak di antara kami. Semakin kecil jarak di antara kami, semakin kencang degup jantungku. Aku bisa melihat tubuh Skye juga ikut kaku saat dia menyerahkan ponselnya padaku.

"Ah, ini dekat. Dua blok dari sini."

"Anter aja, Le," sahut Bunda. "Bunda mau lanjut beres-beres dulu."

Skye menggeleng. "Dikasih patokannya aja. Nanti aku cari sendiri. Gampang."

"Sudah. Aku antar aja. Masa sudah lihat kamu jalan sendirian, aku nggak nemanin."

Seakan mengerti Skye tidak akan mengiakan tawaranku jika tidak dipaksa, Bunda buru-buru mengecup pipi Skye dan bergegas masuk rumah. Jadi, tinggallah aku dan Skye di depan rumah.

Ada banyak sekali yang ingin kuungkapkan. Namun, aku tidak ingin membuatnya ketakutan dengan sikap agresifku. Aku terlalu senang melihatnya lagi di hadapanku, di saat aku berpikir kecil kemungkinan kami dapat dipertemukan kembali.

Bertemu dengannya adalah sebuah anugerah. Keberuntungan. Keajaiban. Apa pun itu. Tetapi, bukan kebetulan. Aku yakin ada alasannya kami bertemu lagi setelah sekian lama. Hanya saja saat ini, aku tidak ingin membuang waktu mempertanyakan hal itu. Aku lebih ingin menikmati waktu bersamanya.

"Maaf, ya, jadi repotin," ujarnya saat kami mulai berjalan meninggalkan rumah.

"Kalau kamu nggak ngerepotin, kita nggak bakal ketemu." Aku terkekeh. "Bercanda, lho. Kamu nggak ngerepotin kok."

Saat melirik, terlihat pipi gadis itu semakin memerah. Cahaya jingga dari matahari menyinari paras ayunya. Aku selalu memikirkan dia akan seperti bunga. Merekah indah dan memikat setiap kumbang yang melewati. Tidak terpikirkan olehku bahwa dia bisa melebihi ekspektasiku.

"Kamu ... benar-benar nggak ngenalin waktu aku ke kafemu?" tanyanya.

Aku menggeleng pelan. "Tapi, aku ingat matamu."

"Kenapa nggak coba nyapa?"

"Kalau salah, kan, malu-maluin. Apalagi kalau abis itu, kita ketemu lagi kayak gini." Aku mengembuskan napas sesaat sebelum melanjutkan, "Ngomong-ngomong, benar ngerasa lebih cocok rambut hitam? Bukannya sekarang sudah tren rambut warna-warni?"

"Awalnya, iseng ngecat hitam. Lama-lama, aku lebih suka kayak gini." Ia mengelus rambut panjangnya yang bergerak mengikuti arah tubuhnya. "Jadi, keluarga pindah ke sini semua?"

"Iya. Kak Tommy dapat beasiswa dari S1 sampai PhD-nya. Dia lanjut ngajar di Leeds, tapi sudah pindah ke sini karena Ayah, Bunda, sama adik-adik juga udah ngumpul. Gloria sama Grace mulai kuliah tahun ini. Aku di sini sejak kuliah S1, abis itu buka usaha sendiri sama teman."

"Beasiswa juga?" tanyanya yang kujawab dengan anggukan. Pandangannya lurus ke langit yang mulai menghangat sambil menghela napas panjang. Tak lama, kepalanya menoleh ke arahku. Senyumnya mengembang. "Pakde sama Bude pasti bangga banget sama kalian."

Kutawarkan senyum tipis padanya. Aku lantas mengalihkan pandangan kembali ke jalan saat kami berbelok di blok kedua. Sekeras apa pun aku berusaha memperingatkan hatiku untuk berada di belakang garis batas, aku tidak mampu membohongi diri yang telanjur terpikat padanya. Hanya saja, waktu sudah memisahkan kami terlalu lama. Aku tidak tahu, masih samakah dia seperti yang kukenal dulu?

Beberapa langkah setelah berbelok, kami sampai di alamat yang diberikan Skye.

"HP-mu," ujarku sambil menjulurkan tangan. Meski tampak bingung, Skye tetap menyerahkan ponselnya kepadaku. Aku menyimpan nomorku di ponselnya sebelum mengangsurkan benda itu kembali ke Skye. "Telepon aku kalau sudah selesai, ya. Nanti kujemput. Bunda pasti pengin kamu makan di rumah."

"Aku langsung datang aja. Sudah tahu jalannya kok. Makasih ya, Keenan."

Aku mengangguk pelan saat sinar terakhir matahari sore perlahan menyentuh bola mata Skye, mengiringinya saat memasuki rumah bernuansa Inggris klasik itu.


☕☕☕

SanctuaryWhere stories live. Discover now