☕ Bab 7

19 5 2
                                    

SKYE

Sepanjang kerja kelompok, pikiranku selalu kembali pada Keenan. Fisiknya bertumbuh sempurna. Tubuh kurusnya lebih berisi. Layaknya seorang pria. Tingginya sudah melebihiku. Di antara seluruh perubahan itu, senyum dan sorot matanya tetap tidak berubah. Aku selalu mengagumi bagaimana Tuhan membentuk manusia; mengubah tubuh tapi tidak bahasa tubuhnya.

Kerja kelompok kami tidak hanya bubar karena pikiran egoisku, tetapi juga lantaran ada segerombolan laki-laki yang seenaknya masuk ke apartemen. Lydia terpaksa mengesampingkan prioritasnya. Untungnya, kami sudah melakukan pembagian tugas, sehingga setidaknya, kami tahu tugas masing-masing. Sonya dan Brooke memutuskan pulang. Ketika aku hendak mengikuti kedua temanku itu, Lydia menahanku.

Malam semakin larut dan aku lebih ingin pulang. Ke tempat Keenan, lebih tepatnya. Karena aku tidak ingin membuat keonaran atau mencederai pertemanan yang baru kubangun dengan Lydia, akhirnya aku menurut.

Dengan gelisah, aku duduk bersila di lantai berselimutkan karpet di ruang tamu. Mendengarkan obrolan mereka yang berkisar tentang perempuan dan pesta. Beberapa kali aku memutar bola mata dan mengomel sendiri mendengar ocehan kosong mereka. Gara-gara mencuri dengar percakapan mereka, aku jadi makin tidak yakin mereka berkelana sampai ke London untuk mempertajam kemampuan akademik.

Percakapanku dengan diri sendiri terhenti saat seorang dari mereka keluar dari dapur. Matanya langsung menangkapku. Sepertinya dari tadi dia tidak menyadari teman kelompok Lydia masih ada yang tertinggal.

"Temen lo, Lyd? Ngapain dia masih di sini?" tanyanya.

Dia bertanya seakan aku tidak mengerti apa yang diucapkannya. Aku mengenal suaranya. Suara yang paling kencang di antara teman-temannya. Yang tak segan menyela ucapan kawannya terus-menerus.

Penampilannya berkelas. Tatapannya congkak dengan dagu yang ditarik ke atas saat melihatku. Tampak merendahkan semua orang yang tidak dia kenal. Aku berusaha tidak menghakimi seseorang sebelum aku mengenalnya, tetapi dengan bocah satu ini, aku kesulitan menahan rasa muak.

Lelaki itu berjalan ke arahku. Masih dengan tatapan angkuhnya. Seakan dia yakin bisa mengintimidasiku.

"Hey. I'm Lutz," ucapnya sambil mengulurkan tangan. Aku menyambutnya dengan enggan. Dia lantas duduk di sampingku. "And yours is?"

"Skye."

"So, Skye ..., why are you still here again?"

Sarkastik.

Aku menolak untuk langsung merespons. Sejenak bermain dengan egonya.

"Gaya amat lo ngomong Inggris segala," sahut Lydia saat melewati kami. "Tampang doang bule. Lo ngomong Indonesia juga dia ngerti."

Lutz mengarahkan pandangannya padaku. Bingung. Aku meliriknya sambil menaikkan alis. Saat itulah, dia baru menyadari aku memahami ucapan Lydia. Dan ucapannya sebelumnya.

"Sorry, gue nggak tahu."

Aku hanya menanggapi dengan senyum malas. Kemudian, aku beralih ke Lydia. "Aku pulang dulu aja, ya, Lyd—"

"Dih, buru-buru amat, sih. Kita baru mau keluar bareng-bareng."

Kali ini, alih-alih mengalah, aku bersikeras untuk pulang. Jadi, aku menolak ajakannya pergi. Namun, aku bertahan beberapa detik saat Lydia mendesak ingin mengenalkan teman-temannya.

Selain si Lutz, Lydia berkawan dengan dua laki-laki lain dan seorang perempuan. Si gondrong Moses, si necis Herman, dan Ayu yang cukup pendiam. Moses dan Herman termasuk ramah. Raut muka mereka cerah saat memperkenalkan diri. Sementara Ayu tampak cukup malas-malasan. Padahal kami baru bertemu, tetapi aku sudah memiliki firasat perempuan berambut panjang ini tidak menyukaiku.

"Yakin kamu nggak mau ikutan?" Lydia masih berusaha membujuk saat kami keluar dari apartemennya.

Aku menggeleng. "Lain waktu, ya."

"Manis amat, sih, kalian ngomongnya pake aku-kamu," komentar Lutz, menginterupsi pembicaraanku dengan Lydia.

"Kelamaan di Jawa, dia nggak biasa ngomong gue-lo."

"Jadi, lo bisa ngomong bahasa Jawa juga?"

"Dikit," jawabku singkat kepada Lutz yang tiba-tiba sudah berada di sampingku.

"Keren, kan. Bule bisa ngomong bahasa Indonesia sama Jawa." Lydia memuji.

Bagaimana aku tidak lancar berbahasa Indonesia dan Jawa bila aku memiliki guru yang sabar seperti Keenan. Mengingat sosoknya, keinginanku untuk kabur dari tempat ini jadi makin mendesak.

Aku kembali berpamitan. Saat aku hendak melangkahkan kaki ke arah rumah Keenan, seseorang memanggil namaku. Aku menengok dan melihat Lutz buru-buru mengejarku. Sementara rombongannya ikut keluar. Berlomba-lomba menuju ke mobil mereka.

Aku mengamati mereka sesaat. Mendapatkan lisensi berkendara di negara ini tidaklah mudah. Mobil pun bukan benda murah. Apalagi logo yang melekat di alat transportasi pribadi mereka itu bukan dari sembarang merek.

"Lo mau ke mana? Gue antar aja—"

"Nggak usah," selaku. "Tempat tujuanku nggak jauh dari sini. Thanks though."

"Gue nggak keberatan. Lagian udah mulai malam. Nanti lo kenapa-kenapa—"

Aku menggeleng sambil berjalan mundur menjauhinya. "Goodnight, Lutz. Have fun."

Segera aku berputar dan melanjutkan perjalananku. Sekaligus menghentikannya terus berupaya membujukku.

Semakin jauh, aku merasakan langkahku semakin besar. Aku sudah tidak sabar bertemu kembali dengan Keenan. Hanya itu yang kuinginkan sejak terakhir kali mataku menangkap sosoknya dalam kilauan cahaya mentari.

Jarak antar blok tiba-tiba terasa panjang. Aku merasakan kakiku mulai berlari kecil. Seakan dia berpacu dengan waktu. Ketakutan kehilangannya sekali lagi.


☕☕☕

SanctuaryWhere stories live. Discover now