☕ Bab 11

27 2 2
                                    

SKYE

"Boleh nyicip?" tanya Lutz tiba-tiba saat kami berkumpul untuk makan siang. Sendok sudah ada di tangannya. Siap untuk dihujamkan ke daging ayam.

Hari ini, Bude Maryo membekaliku dengan lauk ayam gulai. Kata Keenan, Bude stok banyak bibit waktu pindah ke London, lalu Bude menanamnya di kebun belakang. Fakta itu membuatku lega. Meskipun jauh dari rumah, aku bersyukur masih bisa menemukan rumahku di sini. Bersama keluarga Keenan.

Geng Lydia berlomba-lomba mencicipi masakan Bude. Rasa rindu langsung terlukis di wajah mereka. Ketika Lutz menawarkan diri mencicipi makananku, aku menyodorkan kotak makanku ke hadapannya. Seketika gumaman kepuasan keluar dari mulutnya. Pujian 'enak' keluar dengan tulus dari mulutnya.

Di tengah perjalananku ke Coffetaria, aku terpikir untuk menawarkan ide soft launching bersamaan dengan rencana Leo untuk membuka bar saat weekend. Dengan begitu, pelanggan akan lebih sadar dengan keberadaan bar mereka. Coffetaria & Bar akan menjadi nama yang cocok bila gagasanku itu diterima oleh mereka.

Kegiranganku seketika terusik saat mendengar namaku disebut. Lutz sudah ada di sampingku saat aku hendak menoleh ke sumber suara. Senyum semringah menghiasi bibirnya.

"Weekend ini lo ada acara?" tanyanya sambil mengimbangi langkahku.

"Ngerjain tugas. Lagi numpuk," jawabku singkat.

"Jangan kebanyakan belajar. Sesekali harus ada hiburan juga. Ikut kami aja." Ketika aku tak menanggapi, dia melanjutkan, "Mau ke mana?"

"Coffetaria."

"Kedai kopi itu, ya? Ah, kebetulan. Gue juga mau beli kopi."

"Kenapa nggak ke langgananmu aja? Yang elite itu."

Terdengar helaan napas lelah dari Lutz. "Look, Skye. I know we got off on the wrong foot. Baru awal-awal ketemu, gue udah bikin kesan buruk di mata lo. Apa pun itu yang bikin lo kesal sama gue ..., I'm sorry, okay? Can we start over?"

Aku berusaha tidak naif, tetapi permintaan Lutz itu benar-benar terdengar tulus. Sesuatu yang awalnya tidak pernah bisa dilakukan lelaki bermata kecil itu: melakukan sesuatu dengan ketulusan. Aku pun memutuskan untuk memberinya kesempatan untuk memulai ulang hubungan pertemanan kami. Tanpa prasangka.

Aku akui, persetujuanku itu tidak sepenuhnya untuk memenuhi permintaannya. Awalnya, aku berharap dengan mengiakan, laki-laki ini akan meninggalkanku sendirian. Rupanya aku salah. Aku masih belum bisa mengusirnya saat kami tiba di depan Coffeetaria.

Di luar dugaan, dia membukakan pintu untukku. Gesturnya sangat menyentuh, tapi tidak ada yang lebih menggetarkan dada dibanding senyum yang Keenan lemparkan padaku. Senyum yang sayangnya langsung pudar saat matanya menangkap sosok Lutz di sampingku.

"Keenan, ini Lutz."

Terulas senyum tipis saat Keenan mengulurkan tangan. Akan tetapi, Lutz malah diam. Urat di sepanjang rahangnya mendadak menegang. Tatapannya lurus ke Keenan. Menelisik sahabatku itu dengan saksama. Baru aku ingin menegurnya yang bersikap tidak sopan, tiba-tiba lelaki itu menyambut jabatan tangan Keenan dengan senyum yang dipaksakan. Sahabat masa kecilku itu lantas beradu pandang denganku sejenak. Melalui tatapan, aku berupaya memberitahunya bahwa lelaki di sebelahku ini adalah seseorang yang kuceritakan padanya semalam. Garis-garis di keningnya yang perlahan rileks menengarai dia telah menangkap sinyalku.

"Wah. Ini kalian impor sendiri dari Indo?" tanya Lutz, menelusuri deretan menu di papan dengan matanya.

"Iya. Kebetulan kami punya kenalan yang punya kebun kopi di Indonesia."

SanctuaryWhere stories live. Discover now