☕ Bab 5

19 4 0
                                    

SKYE

Malam terakhirku di Jakarta berubah menjadi bencana.

Hubunganku dengan Edgar merenggang setelah malam perpisahanku. Pagi harinya, lelaki itu meneleponku. Bertanya bila dia melakukan hal konyol. Awalnya, aku enggan menjawab. Aku merasa lebih baik aku pura-pura tidak tahu. Namun, bersikap seolah tidak tahu apa-apa cukup menyiksaku. Akhirnya, aku menemui Edgar di lobi apartemennya di hari yang sama dan memberitahunya tentang insiden di kelab malam. Termasuk pengakuan Reyner. "Sahabatku" itu tidak mengelak. Tidak pula membenarnya. Jadi, sikap diamnya itu kuterima sebagai konfirmasi atas ucapan Reyner.

Edgar berupaya menjelaskan, tetapi aku memilih pergi. Toh, apa lagi yang perlu dijelaskan? Dia menyukaiku lebih dari sahabat dan aku tidak memiliki perasaan yang sama dengannya. Aku rasa kami tahu ke mana arah hubungan ini.

Sesungguhnya, aku pun menyalahkan diri yang tidak peka. Bila aku lebih sensitif, mungkin aku dapat menghindari situasi canggung ini. Mungkin Edgar pun tidak perlu menyia-nyiakan waktunya padaku. Aku juga tidak perlu menyakitinya, meninggalkannya sebelum kami dapat mencari cara untuk berdamai dengan situasi.

Hingga seminggu setelah menemuinya, aku masih belum berbicara dengan Edgar. Beberapa kali dia mengirimkan surel, tapi belum ada satu pun yang kubalas. Aku tidak tahu bagaimana semestinya aku menjawab surelnya.

Pikiran tentang Edgar terus menghantuiku hingga aku kehilangan konsentrasi di hari pertamaku berkuliah. Di penghujung kelas, hampir tidak ada satu pun materi yang terekam memori. Ditambah lagi, profesor yang mengajar sudah membagi kelas dalam kelompok kecil untuk menyiapkan proyek di akhir semester.

Anggota kelompokku bukan tipe penunda. Lydia Renata, si ketua kelompok, menawarkan diskusi di tempat tinggalnya sore ini. Semuanya setuju dengan usulnya karena kebetulan kami berempat memang tidak memiliki jadwal kuliah di sore hari. Hanya saja, aku mesti menyusul lantaran harus ke Biro Akademik untuk melengkapi dokumen beasiswa. Aku terpaksa menyelesaikan administrasi akademik di hari pertama kuliah gara-gara surat-surat dari perusahaan baru kudapatkan akhir pekan lalu. Untungnya, universitas ini cukup fleksibel. Oleh karenanya, Lydia mengetikkan alamat apartemen kontrakannya di ponselku sebelum kami berpisah seusai kelas.

Berbekal pengetahuan seminggu berada di London, aku nekat mencari alamat Lydia seorang diri. Dia sudah memberikan patokan, tapi aku seperti berputar-putar di lokasi yang sama. Area ini bak labirin. Semuanya tampak serupa. Ditambah dengan sepinya jalanan, aku jadi tidak memiliki pilihan untuk bertanya kepada penduduk sekitar.

Entah keberuntungan apa yang hinggap di atasku hari ini, tiba-tiba saja tepat di hadapanku, seorang perempuan paruh baya baru saja keluar dari rumahnya dengan kantong sampah di tangan. Aku berhasil menghampirinya tepat saat dia menaruh kantong ke dalam tong sampah. Dari samping, sepertinya dia bukan orang lokal.

"Hm, excuse me. Would you mind helping me find this address?" tanyaku.

Perempuan itu membalikkan badan. Mulutnya terbuka, seolah ingin memberikan jawaban. Ketika tangannya ikut membantu untuk menjelaskan, aku menyadari perempuan ini tidak mengerti apa yang kuucapkan. Dia jelas bukan orang lokal dan kesulitan berbahasa Inggris.

Akan tetapi, bukan itu yang membuatku tertegun saat aku bersitatap dengannya. Sesuatu dari perempuan ini tampak tidak asing. Lalu, wanita di hadapanku ini mengulas senyum tipis. Senyuman yang tidak pernah kulupakan semenjak sosoknya membawa sahabatku meninggalkan Kulon Progo.

"Bude Maryo?" panggilku hati-hati. Dia terdiam, tetapi ekspresinya menunjukkan kalau aku tidak salah orang. Wanita di depanku ini memang Bude Maryo. "Bude, ini Skye. Tetangga Bude di Kulon Progo dulu."

Tatapan asing yang diberikannya padaku tadi seketika sirna. Senyum sopannya melebar. Wajahnya cerah seketika.

"Skye? Ya, ampun. Cantik sekali kamu, Nduk. Kayak mamimu. Duh maaf, tadi bude nggak ngenalin kamu. Pangling banget."

Aku mengeluarkan tawa kecil. "Nggak pa-pa, Bude. Kan, memang sudah bertahun-tahun lalu. Wajar kalau pangling. Bude masih bugar banget. Nggak jauh beda sama waktu masih di Kulon Progo."

Kali ini, giliran Bude yang tertawa. "Bisa aja kamu, Skye. Ngomong-ngomong, gimana kabar orangtua? Pada pindah ke sini semua akhirnya?"

"Sehat semua, Bude. Daddy lagi ditugasin ke Kalimantan, Mummy ikut. Aku di sini buat S2. Bude udah lama di sini?"

"Nggak. Baru Juli kemarin pindahnya. Oh, ya ampun. Sebentar ya, Nduk," ucapnya sambil setengah berlari menaiki tangga. Dia lantas berteriak, "Keenan! Keluar bentar sini, Nak."

Keenan?

Dia di sini?

Waktu seakan berhenti mendadak. Jantungku terpacu cepat. Sekujur tubuh ikut lemas. Sementara kepalaku tak habis membayangkan rupanya sekarang.

Kami sudah terpisah terlalu lama sampai-sampai harapan untuk kembali bersua dengannya telah menjadi mimpi semata. Sekarang, mimpi itu akan jadi nyata. Tepat di depan mataku. Dalam hitungan detik saja.

Lalu, aku menjadi panik. Buru-buru aku merapikan rambut. Khawatir rambutku berantakan dan lepek usai berjalan kaki dalam waktu lama. Aku tidak punya waktu juga untuk mengecek riasan wajah.

Bagaimana bila dia tidak menyukai penampilanku sekarang? Bagaimana kalau aku tidak sesuai harapannya? Bagaimana jika dia kecewa dengan penampilanku?

Aku menunduk sebagai respons pertahananku. Sekaligus mencoba menata hati sebelum dia mulai berulah lagi saat mataku menangkap sosok Keenan.

"Skye?"

Namaku terurai lembut dari bibirnya. Suaranya telah berubah, tapi masih mampu menggetarkan hatiku. Senyum bahagia tak sanggup kusembunyikan.

Mendengar dia menyebut namaku membawaku kembali ke masa kecil kami di Kulon Progo. Namaku terdengar sangat indah saat dia memanggilku di depan pagar rumah untuk mengajakku bermain.

Aku mengerahkan segenap keberanian yang kumiliki untuk mengangkat dagu. Untuk berhadapan dengan masa laluku. Masa lalu yang selama ini terus aku pegang erat supaya aku tidak pernah kehilangan memori tentangnya.

Tatapan kami bertatapan. Waktu tidak sekadar berhenti. Dia telah membeku, seperti tubuhku. Hanya rasa tegang yang mengaliri tiap nadiku. Dunia tidak pernah tercipta lebih indah sebelum aku menangkap sosoknya yang telah tumbuh sebagai lelaki dewasa.

Kulit sawo matangnya masih persis seperti yang aku ingat. Sisa-sisa keringat yang menempel di kulit membuatnya berkilau disinari cahaya jingga matahari. Binar mata dan ramah senyumnya tak gagal menentramkan jiwaku.

Entah apa yang dimilikinya, jiwanya selalu tampak tenang. Damai selalu mengiringinya.

Saat itu aku tahu, dia tak berubah.

Dia milikku yang tak berubah.


☕☕☕

SanctuaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang