☕ Bab 3

32 7 0
                                    

SKYE

Tanpa persetujuan dariku, Edgar dan Reyner membuat pesta perpisahan dengan teman-teman kantor di hari terakhirku bekerja. Mereka sudah memesan satu kelab, khusus untuk pestaku.

Dua bulan yang lalu, dua hari setelah Pak Bos memanggilku ke ruangannya, aku mendapatkan balasan surel dari Dad. Rezeki jangan ditolak, katanya. Di hari yang sama, aku menyerahkan aplikasi, esai, dan resume kepada Pak Bos. Kali ini, tidak ada keraguan yang datang.

Hari ini, hari terakhirku di kantor. Tiga hari lagi, aku akan terbang ke London, meninggalkan negara yang sudah 18 tahun menjadi bagian dari diriku. Aku tidak menyadari seberapa cintanya aku pada negeri ini sebelum waktuku id sini hanya menghitung hari.

Hanya satu tahun, aku meyakinkan diri. Satu tahun dan aku akan kembali ke sini. Kata orang, jika kamu meyakini sesuatu, maka itulah yang akan terjadi.

Beberapa menit sebelum aku sampai di lokasi tujuan yang disebut Edgar, aku sudah menduga dia telah menyiapkan sesuatu untukku. Benar saja. Saat aku memasuki kelab, tidak ada satu pun orang yang tidak kukenal di dalam ruangan tersebut. Bahkan Pak Bos juga ada di sana. Satu per satu dari mereka mendatangi dan mengelilingiku.

Tak lama, DJ mulai menghidupkan suasana dengan dentuman musik elektroniknya dengan drop yang pas dan beat yang membuat semua orang mulai bergoyang. Teman-teman berkumpul di lantai dansa. Mendadak, malam ini tidak lagi tentang aku.

Tiga botol bir dan empat shot kemudian, aku mulai merasa lampu di dalam kelab ikut menari bersama orang-orang di lantai dansa. Kepalaku perlahan terasa ringan. Hidup menjadi lebih baik, seakan tidak pernah ada rasa sakit di dunia ini.

Perlu aku akui, Edgar dan Reyner benar-benar membuatku terpukau dengan pesta yang mereka gelar.

Satu waktu, Edgar mengajakku ke lantai dansa untuk bergabung dengan yang lain. Awalnya, aku menolak dan Edgar berjalan sendiri ke tengah ruangan, menari dengan rekan-rekan kami. Perempuan-perempuan yang sudah terlihat mabuk mulai merayunya, memainkan jemarinya di tubuh Edgar. Lelaki itu tampak menikmatinya, tapi tidak tergoda. Justru dia menggunakan rayuan perempuan-perempuan itu untuk menggodaku turun.

Aku yang termakan umpannya lantas ikut bergabung dengannya di lantai dansa. Musik terdengar makin memekakkan telinga, tetapi aku tidak peduli. Aku menggoyangkan tubuh mengikuti iringan musik.

Wajah Edgar perlahan mulai kabur. Beberapa kali aku kehilangannya. Untungnya, dia selalu menemukanku di tengah kerumunan, menarikku mendekatinya agar aku tidak menghilang.

Banyaknya cairan yang memasuki tubuh membuat perutku terasa penuh. Saat hendak menyingkir, Edgar menarik lenganku lagi. Dia berpikir aku akan kembali tenggelam dalam lautan manusia, sehingga aku harus berteriak di telinganya bahwa aku hanya butuh ke kamar mandi.

Tentu saja, Edgar tidak membiarkanku berjalan sendirian. Aku tidak menolak tawarannya karena aku bahkan tidak dapat berjalan lurus. Panduan ke kamar mandi pun terlihat samar. Edgar harus menuntunku ke arah yang benar.

Kami berdua terus tertawa hingga aku hilang di pintu toilet perempuan. Tiba-tiba toilet bagaikan surga. Indra pendengaranku bisa beristirahat sesaat usai didera musik kencang di dalam kelab.

Ketika aku keluar, Edgar masih menunggu di depan pintu. Pria itu tengah menyandarkan punggung di dinding. Aku mengisyaratkan padanya untuk kembali ke kelab. Kulihat dia terhuyung sedikit saat meluruskan punggung.

Aku sudah berjalan mendahuluinya ketika tiba-tiba lenganku dicekal. Sebentar kemudian, punggungku menempel di dinding. Edgar berada tepat di hadapanku. Posisi kami begitu dekat sampai aku dapat mencium aroma parfumnya yang beradu dengan alkohol. Desah napasnya mengelus lembut wajahku.

"Kita pergi saja dari sini, ya," bisiknya.

Aku menggeleng pelan. Gerakan itu membuatku langsung merasa gamang. Mataku seperti lensa kamera yang dimainkan fotografer amatir. Fokus, tidak fokus. Satu waktu, wajah Edgar tampak sangat dekat, lalu tiba-tiba jadi sangat jauh.

Tanpa peringatan, dia meraih wajahku. Tak lama, aku merasakan sentuhan lembut di bibirku. Butuh beberapa detik bagiku untuk memahami apa yang tengah terjadi.

Aku mendorong Edgar kasar. "Apa-apaan, sih, kamu?"

"Come on, Skye. Kita nggak usah pura-pura lagi."

Edgar mulai bergerak maju lagi, tapi tanganku menahannya. Pria itu masih belum menyerah. Meski tubuhnya bergeming, wajah Edgar terus menabrak ruang personal yang coba kulebarkan. Terdesak, aku pun memalingkan muka, membuat kecupannya mendarat di pipiku. Sementara otakku tak berhenti memutar ucapan Edgar.

Apa maksudnya dengan kami yang tidak perlu berpura-pura lagi?

"Apartemenku nggak jauh dari sini," lanjutnya. Suaranya terdengar semakin malas, menyiratkan dia sudah terlalu mabuk untuk diajak bicara. "Kita ke tempatku saja."

Dia mulai menciumi leherku, membuatku kian risi dengan situasi ini. Selagi tangan kiriku menahan tubuhnya, tangan kananku merogoh saku celana untuk mencari ponsel. Buru-buru, aku mencari nomor Reyner untuk memintanya menolongku.

Mata Reyner terbelalak saat menemukanku dengan Edgar. Reyner menarik tubuh Edgar dan menyeretnya sampai ke tempat parkir.

"Pulang sama aku aja, Skye. Pulang ke tempatku," ucap Edgar, berkali-kali.

Aku melirik Reyner. Sungkan karena Reyner harus mendengarkan kicauan ngawur Edgar. Hanya saja, saat aku memperhatikannya, wajah lelaki itu terlihat datar. Seakan lanturan Edgar adalah hal biasa.

"Is there something I need to know before I leave for London?" tanyaku kepada Reyner. Ketika pria itu tak lekas menjawab, aku mendesaknya. "Rey?"

Reyner menghela napas panjang sebelum berkata, "Gue pikir seharusnya lo udah tahu, Skye."

"Tentang?"

"Edgar. Tentang Edgar suka sama lo."

Sontak tawaku terlepas. Namun, ketika Reyner tidak ikut bergabung denganku, aku baru menyadari dia tidak sedang bercanda.

"D-dia bilang sama kamu?"

Reyner menggaruk kepala, tampak menyesali kejujurannya. Akan tetapi, dia terlihat tidak memiliki pilihan kecuali memberikan afirmasi atas pertanyaanku.

Menit-menit yang berlalu bagaikan kilas balik. Mataku terbuka saat itu juga. Setiap kenangan akan kebersamaan kami seperti dilemparkan kepadaku begitu saja. Setiap gerak-gerik Edgar saat berada di dekatku pun mulai masuk akal. Pertanyaan-pertanyaan terpendam tentang kewajaran hubungan kami pun akhirnya mendapatkan pencerahan. Kecurigaan pada sikap manisnya padaku yang selalu kusimpan kini telah mendapat jawaban. Interpretasi kami pada hubungan ini berbeda. Aku hanya menganggapnya sebagai kawan. Sedangkan Edgar ternyata tidak menganggapku sebagai teman biasa.

Semenjak bertemu di Graphery, kami hampir tidak pernah terpisahkan. Nyaris tidak pernah Edgar membiarkanku mengurus proyek klien sendiri. Dia selalu mendampingiku. Padahal dia tahu persis aku bisa mengerjakan proyekku sendiri. Yang tak kusadari, tindakannya itu rupanya sebagai upaya untuk bisa selalu berdekatan denganku. Agar aku bisa melihatnya sebagai lebih dari ketua tim dan teman. Itulah yang diakui Reyner padaku.

Sekarang dengan kemungkinan aku ditempatkan di cabang lain dari Graphery, peraturan tidak mengencani rekan kerja dalam satu kantor yang sama tidak akan berlaku lagi untuknya.

Belum lagi kebiasaan kami. Pergi berdua, nonton, dan datang ke pesta bersama. Makan berdua setelah pulang kantor. Di restoran Reyner dan di tempat yang sama.

Ya, Tuhan. Bagaimana bisa aku sebuta itu?


☕☕☕

SanctuaryWhere stories live. Discover now