☕️ Prolog

69 9 0
                                    

Lambaian tangannya menjadi hal yang paling kubenci dari dirinya. Padahal biasanya, tak ada satu pun dari diri bocah lelaki itu yang tidak kukagumi. Parasnya tampan. Senyumnya yang menenangkan dapat meredakan badai yang mengguncang tempat kami berpijak. Sorot matanya teduh, seakan menawarkan tempat perlindungan di mana perasaan sakit hati tidak pernah menepi. Belum lagi kedewasaannya yang jauh melampaui batas usianya, membuatnya menjadi panutanku.

Dia satu tahun lebih tua dariku, tapi dia terlambat masuk pendidikan awal. Karenanya, kami jadi satu angkatan dan selalu berada di kelas yang sama.

Kekagumanku padanya bukanlah tanpa alasan. Latar belakang kami berbeda, tetapi apa yang kami terima karenanya, membuat kami mengerti kejamnya kehidupan. Bulan-bulanan adalah peran kami sehari-hari, karena lingkungan yang tak sanggup memahami sesuatu yang berbeda dari nalar mereka. Namun, dia sanggup menerima untuk dikucilkan. Dia sanggup menerima olokan tanpa rasa ingin membalas. Dia menerima karena dia memiliki dua prinsip. Pertama, membalas tak akan membalikkan keadaan. Kedua, situasi yang dimilikinya memang bukan hal yang lumrah, sehingga dia paham hal itu sulit diterima kebanyakan orang.

"Umurmu sudah delapan tahun. Sudah kelas tiga. Kamu tahu apa yang seharusnya dan nggak seharusnya dilakukan," katanya saat aku mengungkapkan persis apa yang kupikirkan. "Kita diperlakukan tidak baik supaya kita tahu apa yang baik."

"Kalau aku lupa soal hal itu, siapa yang bakal ngingatin aku? Aku nggak punya siapa-siapa. Kamu satu-satunya temanku," jawabku, tidak mengacuhkan ucapannya.

"Dan aku bakal selalu jadi temanmu. Teman sejati nggak akan dilupakan, di mana pun kita berada."

Aku tersenyum kecut. Kualihkan pandangan ke halaman depan rumah. Sesekali mataku menangkap gerakan orang yang lalu lalang dari rumah sebelah. Mereka membawa kardus-kardus pindahan.

Kepergian bocah laki-laki ini hanya akan menandakan satu hal: bahwa kami membiarkan orang-orang tersebut menang.

"Gimana caranya aku tahu kamu nggak bakal ngelupain aku?" tanyaku, serak.

Dia tersenyum sambil meraih kedua pundakku. "Kamu nggak gampang dilupain. Seumur hidup, aku mungkin cuma punya satu teman yang namanya Skye."

Jawabannya sukses membuatku tertawa. Tawa lepas yang baru pertama kali kukeluarkan sejak aku tahu dia akan meninggalkan kota kecil ini seminggu lalu.
Nama tak lazim yang kumiliki dapat menjadi sebuah berkah atau sebuah kutukan, tergantung dari bagaimana perspektif orang tersebut. Aku sempat membenci namaku, mengutuk kedua orangtuaku karena memilih nama panggilan yang tak ramah untuk lidah penduduk sekitar.

Awalnya, penampilanku yang menjadi bahan pembicaraan. Kemudian, ketika mereka tahu namaku, ejekan mereka semakin menjadi-jadi. Aku tidak banyak memahami ucapan mereka saat itu, tapi dari tawa dan cara mereka melihatku, aku tahu mereka menganggapku abnormal. Hanya bocah lelaki ini yang berani berdiri di sampingku dan mengatakan bahwa ia tidak pernah mendengar nama seindah namaku. Ketika dia memaknainya seperti itu, aku tidak pernah merasa lebih beruntung diberikan nama seperti keinginan almarhum nenek untuk cucu perempuan pertamanya.

Tangisku menyeruak. Aku melempar tubuhku ke arahnya dan memeluknya erat. Tubuhnya tak lebih besar dariku. Malah cenderung lebih kecil. Namun ketika dia mengelus punggungku, kekuatannya lebih besar dari fisiknya.

Aku ingin menenggelamkan diri dalam aroma kayu cendana yang menempel di tubuhnya. Wangi yang sama dengan wangi yang selalu menyambutku kala aku menjejakkan kaki di rumahnya. Ayah dan bundanya memang selalu meletakkan kayu-kayu cendana di beberapa sudut rumah dan toko mereka. Saking seringnya mencium aroma itu, lama kelamaan, aku pun mulai mencintai wewangian itu.

Derap langkah menuju ke arah teras rumah memaksa kami untuk merenggangkan jarak. Tatapan mereka ikut memaksa kami untuk menerima bahwa ini saatnya bersiap untuk hidup yang baru. Hidup tanpanya.

Tangannya menyambut tangan ayahnya. Saat menapaki anak tangga terakhir di teras rumahku, dia menoleh ke belakang dan melemparkan senyum termanis yang akan kukenang di sepanjang hidupku.
Sejenak, dia berhenti untuk mengucapkan, "Di mana pun aku berada, setiap kali aku menatap langit di atas, aku akan selalu mengingatmu."

Kemudian, dia pergi, menyatu bersama syahdunya langit senja yang membawa kembali tawa riang dan kehangatan yang selalu mengiringinya ke dalam sanubariku. Sekali lagi, untuk dapat kurekam dalam memoriku.

Di saat itu pula, bersama dengannya, kupasrahkan hatiku untuk dia bawa ke mana pun kedua kaki yang selalu menyeimbangkan langkahku itu berlari. Aku belum memahami apa itu cinta. Yang kumengerti adalah ketika melihatnya menghilang di balik jalan menurun di ujung gang hari itu, separuh dari diriku hilang bersamanya.

☕☕☕

SanctuaryWhere stories live. Discover now