BAB 18 [Pembunuhan berencana?]

8 5 0
                                    

Gimana kabar kabarnya?
Udah lama gak up, cerita Khanzia sama Carva, nih sekarang aku up, kalo ada typo tolong tandain!

Happy reading

*****

Luna gadis yang pergi untuk mengangkat telpon, kembali menghampiri keluarga Khanzia yang masih berduka.

"Nzi," panggil Luna sesudahnya dihadapan Khanzia, gadis itu mendongak melihat Luna, selain Sahabatnya itu ia merasa tak punya lagi keluarga.

"Maaf, gue harus pulang sekarang, tapi gue janji besok kerumah lo." Luna meyakinkan Khanzia, gadis yang duduk dikursi roda itu menatapnya seolah jangan dulu pergi.

"Gue harus pergi dulu Nzi, pokoknya lo harus kuat, Khanzia kan wanita ultramen, kuat, wanita yang gak lemah. Om Davit dan Tante Kelly pasti sedih kalo liat lo kayak gini Nzi," tutur Luna, Mata Khanzia berkaca-kaca air matanya meluncur dengan paksa, Luna segera menyeka air mata Khanzia.

"Lo kuat," ucap Luna seraya berjongkok memeluk Khanzia, tanpa menunggu jawaban Khanzia ia segera pergi dari area pemakaman.

"Om sama Tante juga harus pulang, kami ada urusan penting," ujar Pelly, Khanzia meliriknya tak percaya, bisa-bisanya mereka ingin pergi saat keluarganya sedang berduka bukanya menemani disetiap duka,mereka malah ingin pergi karna ada urusan.

"Urusan sepenting apa?" tanya Khanzia membuka suara, ia melihat keduanya dengan lekat.

"Kami ada rapat penting, kamu taulah sendiri sayang." Pelly berjongkok memeluk Khanzia, diikuti oleh Abip.

"Om minta kamu jangan berlarut dalam kesedihan, ada kami Khanzia," ucap Abip diangguki Pelly.

Khanzia membuang mukanya memelas, "Ada kami, mana buktinya?" tanya Khanzia tak sadar, pertanyaan itu membuat Pelly sedikit merasa kesal, sebelum ia mengatakan hal yang tidak mengenakan hati pada keponakannya, ia memilih untuk pergi seperti bisa Abip suaminya mengikuti keinginan nya saja.

Langit mendung di sore hari, sedari  pagi Khanzia masih tetap tak ingin pulang. Berkali-kali Carva mengajaknya untuk pulang. Namun gadis itu menolak, ia masih betah dimakam kedua orang tuanya. "Khanzia, ini udah sore dan sebentar lagi akan turun hujan. Mau sampai kapan kamu terus disini?" tanya Carva yang berada tepat disamping Khanzia.

Gadis itu tak menoleh sedikitpun netranya sedari tadi terus memandangi kedua gundukan tanah merah basah bertumpukan bunga tujuh rupa segar itu, "Sampe gue bisa nyusul mereka." Carva memutar bola matanya jengah.

"Kamu mau nyusul mereka? kamu ingin mati?" tanya Carva tak berfilter, menurutnya Khanzia terlalu berlarut gadis itu berfikir hanya dia yang paling berduka, sebenarnya semua juga berduka, mereka hanya tak berlarut dan mengiklaskan orang yang telah pergi kepelukan tuhan, bukankah orang yang pergi butuh keikhlasan dan doa dari orang yang mereka tinggalkan, itu akan menjadi ketenangan abadi bagi mereka?

"IYA, GUE MAU MATI!" ungkap Khanzia berteriak kearah Carva, lagi-lagi air matanya terjun bebas membasahi pipi.

Carva membuang muka seraya tersenyum hambar, "Saya punya satu cara, coba kamu lempar diri kamu ke laut," Khanzia melirik kearah Carva dengan wajah yang terlihat lebam karna sudah terlalu lama menangis.

"kamu akan melihat diri kamu berjuang untuk bertahan hidup."

Khanzia mengerjapkan matanya menahan sakit hatinya, ia mulai memahami perkataan dari Carva.

Cowok itu berjongkok menyetarakan posisinya dengan Khanzia, entah kenapa gadis itu langsung memeluk dirinya menenggelamkan wajahnya didada bidang milik Lelaki itu, Carva membalas pelukan Khanzia.

Pangeran Carva [On Going]Where stories live. Discover now