Chapter : 03

1.4K 98 2
                                    

[•••]

Tubuh kurus Dera terpental begitu menabrak sesuatu. Rasanya sudah membuka pintu, kenapa masih keras? Pintunya double kah?

Dera meringis mengusap pantatnya yang menghantam lantai dengan kerasnya. "Aduh! Kenapa lantainya nggak berubah jadi empuk aja sih?!"

Dera mendongak dan seketika ia terpana melihat pahatan sosok di depannya. Begitu indah wajahnya berbentuk heartshaped dengan mata almond-nya serta hidungnya yang sedang, tak besar, tak mancung juga tak pesek.

Jangan lupakan bibir tipisnya yang menggoda. Juga warna kulitnya yang tidak lebih putih dari kulit pale Lusi.

Tanpa sadar Dera menatap tanpa kedip dengan mulut sedikit terbuka. Segera ia sadar betapa bodoh dirinya. Ia menunduk untuk bangkit. Namun, uluran tangan di depan wajahnya mengambil alih atensi. Dera mendongak lagi.

Ia menimang, haruskah ia menerima uluran bantuan ini atau tidak? Mengingat karena orang di depannya-lah yang menjadi dalang dirinya terjatuh dan orang itu ingin bertanggung jawab, Dera memutuskan untuk menerima uluran tangan itu.

Ia mengangkat tangan kanannya. Memberi dorongan pada tangan itu untuk mendekat. Namun, saat sudah dekat tangan lain menyambutnya dengan cepat.

Ia menoleh ke samping, di sana Lusi tersenyum lebar menatap sang pemilik tangan lalu secepat kilat menoleh ke arah Dera untuk memberi wink padanya. Dera melongo melihat itu.

Lusi sudah berdiri sempurna dan ia mengulurkan tangannya pada Dera. Tak mau menunggu waktu lama cewek itu segera menyambut uluran itu dengan wajah tak bersahabat.

"Maaf." ucap Lusi tanpa suara.

"Kalian nggak papa?" Suara berat namun lembut mengalun di telinga kedua keduanya. Membuat mereka seketika tersenyum lebar hingga mata mereka hampir terpejam.

"Cad? Ngapain?" Suara lain menginterupsi membuat dua gadis yang sedang 'terbang' itu seketika terjatuh. Mata mereka terbuka dan melihat siapa gerangan orang yang mengganggu khayalan mereka.

Dengan tatapan sinis mereka menoleh pada seorang cewek berambut coklat panjang, kulit putih, wajah sedikit kecil, bentuk matanya upturned dan bola matanya biru muda pudar menyorot tajam, dan membawa sebuah buku. Jangan lupakan kulitnya yang eksotis karena keturunan Negeri Paman Sam dari ayahnya.

Lusi langsung bermuka masam sedangkan Dera menatapnya intens hingga membuat hingga membuat sang objek menatapnya balik. Hingga sang lawan yang memutuskan kontak mata itu.

Dera seperti familiar dengannya Seperti ia pernah melihat ia, tapi entah dimana? Seakan ia sudah mengenalnya.

"Nepatin janji ya?" tanya cewek itu dijawab anggukan kepala oleh cowok itu.

Dera dan Lusi bersamaan mundur selangkah kala cewek itu menghampiri. Saat itulah Dera tahu namanya. Harlynda Jasminah, itu namanya. Mata Dera beralih pada si
laki-laki. Matanya bergulir ke arah dada kiri atas, di sana tertulis Cadric Osric.

Seketika Dera melotot kala menyadari sesuatu. Sesuatu yang menjadi jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di benaknya beberapa jam terakhir.

Keterdiaman Dera membuat Lusi heran pada temannya itu. Setelah menonton keromantisan dua sejoli tadi, Lusi hendak langsung kembali ke kelas. Namun, sepuluh langkah ia berhenti di kala ia menyadari orang yang ia ajak bicara malah tidak ada.

Yang ada ia malah di tertawakan oleh beberapa murid yang berpapasan dengannya.

Setibanya di tempat semula, ia malah mendapati Dera diam mematung. Kenapa lagi anak ini? Kesurupan kah? Tadi berlagak amnesia, sekarang kesurupan? Pikirnya.

"Woi! Kesurupan lo?" Lusi menepuk pundak Dera.

Dera tersentak, hal itu membuat Lusi mundur satu langkah dan mengangkat tangan yang ia gunakan untuk menepuk pundak Dera tadi.

"Lo nggak papa?" tanya Lusi hati-hati.

Dera menatap Lusi sejenak, tak lama tubuhnya melemas. Dan ia tak sadarkan diri.

Lusi yang panik langsung meminta bantuan orang di sekitarnya. Rencananya ia akan langsung membawa Dera ke rumah sakit. Namun, kala teringat bahwa ia tak membawa kendaraan yang mampu membawa orang pingsan, ia berlari ke suatu tempat di mana ia bisa mendapat pertolongan.

[•••]

"Kapan sih lo sadarnya, Ran?"

"Kata dokternya nggak papa, cuman shock aja. Tapi, kok, lo nggak bangun-bangun sih?"

Satu persatu pertanyaan disertai gerutuan keluar dari mulut cewek cantik itu, Lusi.

"Mana tas gue masih di kelas lagi."

"Argh! Nyusahin aja sih lo!"

"Ngapain lo tolongin tadi kalo nyusahin?" Pertanyaan tenang itu masuk ke indra pendengaran Lusi yang membuat cewek yang sudah tak berbando itu panik.

"Nggak gitu maksudnya." sanggahnya terbata-bata.

"Helleh! Bullshit." cibir Dera datar.

"Ih, apa sih? Gaje."

"Sensi amat, Mbak? Datang tamu kah?" Dera mencoba menghibur makhluk sensi ini dengan sedikit sindiran.

"Udah tau masih nanya lagi." jawab Lusi sewot.

"Eh? Beneran ternyata." gumam Dera.

Hening sejenak. Suasana UGD benar-benar senyap. Yang terdengar hanya napas masing-masing dan suara riuh di luar sana.

"Ada apa itu di depan?"

"Nggak tahu." jawab Lusi acuh. Saat dilirik, oh pantas udah pegang ponsel rupanya.

"Ya lo cek lah." pinta Dera.

"Ogah ah, mager. Cek aja sendiri kalo mau." Lusi beralih memunggungi Dera yang terbaring. Melihat itu Dera menghela napas. Ia perlahan bangkit dari baringnya.

Bergerak turun dari bankar dan balapan berjalan perlahan menuju pintu. Meski sedikit pusing, ia tetap melanjutkan. Tiba di dekat pintu, ia mulai membuka benda pembatas itu.

Di depan sana sangat kacau. Para petugas medis bolak-balik membawa orang-orang yang bercucuran darah. Banyak dari para 'korban' yang bahkan rupa wajahnya sulit dideteksi.

Dera berjalan perlahan mengikuti langkah para petugas kesehatan. Langkahnya yang tak cukup cepat kalah dengan lari petugas itu. Tak apa setidaknya ia tahu ke mana arah tujuan mereka.

Masih dalam perjalanan, dari ekor matanya Dera melihat cowok yang menjadi korban bullying di sekolah tadi. Cewek itu mendekat memastikan penglihatannya. Dan yaps, ia tak salah.

Ia mengintip melalui pintu yang terdapat kaca di sana. Cowok itu nampak parah. Hampir seluruh bagian tubuhnya diperban. Kaki dan tangannya bahkan harus diangkat. Wajahnya sedikit yang diperban, sehingga ia masih bisa mengenalinya. Sungguh miris.

Semoga saja pihak sekolah segera mengatasi masalah ini. Jangan sampai ada korban lagi. Cukup ia yang terakhir.

Dokter yang mengecek kondisi cowok tadi keluar dan mendapati seorang siswi mengintip ruang rawat inap sembari berjinjit dan menempelkan matanya pada tangannya yang ia buat selayaknya teropong menempel di pintu.

Sungguh konyol. Tanpa sadar si dokter tertawa pelan. Dera yang mendengar tawa itu menoleh dan ya, ia hanya mampu tersenyum konyol.

Sembari menekan seluruh rasa malunya, Dera memberanikan diri untuk bertanya mengenai kondisi cowok di dalam sana.

"Dok, kondisinya bagaimana? Kapan dia bisa pulang?"

"Adik siapanya pasien ya?"

"Saya kakaknya, Dok." Spontan Dera menjawab demikian. Dokter itu mengangguk dan mulai menjelaskan. "Fisik luarnya terluka sangat parah. Fisik dalamnya, kaki kiri patah, tangan kanan retak. Tulang rusuk patah tiga dan yang retak dua."

Dera menutup mulutnya tak percaya. Matanya memburam. Ia jatuh terduduk. Tiba-tiba kepalanya terasa lebih pusing dari sebelumnya. Sebelum kembali pingsan ia mendengar suara seseorang menyerukan namanya.

[•••]

Behind the Script [Upload Ulang]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora