Chapter : 15

781 55 0
                                    

[•••]

"Tunggu dulu di sini sebentar ya?"

"Eh, mau keman-?!" Tanpa menunggu jawaban Lusi, Dera pergi dengan sedikit berlari. Padahal posisi mereka sudah dekat dengan UKS, kenapa cewek itu pergi dan bukannya masuk? Aneh.

Tak ingin memikirkan lebih, Lusi memasuki ruangan di dekatnya. Di dalam ruang itu Lusi menyiapkan obat dan juga perlengkapan pertolongan pertama pada kecelakaan untuk Dera nanti.

Sedangkan tujuan Dera adalah kamar mandi. Ia pergi ke sana untuk membasuh lukanya lebih dulu. Kebiasaan dalam dirinya 'dulu' ia selalu melakukan itu saat terluka.

Alasannya adalah agar saat ia mandi lukanya tidak terlalu perih karena saat masih basah sudah terkena air.

Dera masuk, melihat sekeliling ternyata tak ada orang lain selain dirinya. Malah itu lebih baik, tak akan ada yang menanyainya.

Mungkin saja ada orang ramah yang akan menanyakan luka miliknya. Sejujurnya ia malas menjelaskan. Jadi, sepi lebih baik.

Setan? Itu pasti ada. Selama ia tak melihat langsung, Dera berani.

Tangan kirinya menyalakan kran. Dera arahkan telapak tangan kanannya di bawah kran yang mengalir air tidak terlalu deras. Darah yang mulai mengering perlahan terkelupas dari telapak tangannya.

Saat air mengenai luka, itu biasa saja. Menjauhkan telapak tangannya dari bawah air sebentar, lalu basuhnya lagi. Aw. Sekarang sedikit perih, nanti pasti lebih perih.

Setelah benar-benar bersih Dera perhatikan lukanya. Ada dua luka- tidak, ada lima luka. Memanjang vertikal di telapak tangan dekat pergelangan.

Ada lagi di ruas-ruas dalam pada jemarinya, sama-sama vertikal. Saat Dera luruskan tangannya, luka itu menganga, terlihat cukup dalam. Mungkin semakin dalam saat Leon menyentaknya dan mata pisau itu menggesek dalam pada tangannya.

Perlu diketahui, di novel sedikit diceritakan jika pisau lipat Leon itu memiliki mata pisau selayaknya belati. Yaitu tajam di kedua sisinya dan lancip di ujungnya.

Ngomong-omong soal pisau, Dera meraba saku roknya. Ia mengambil sesuatu. Sebuah pisau lipat. Benar, itu milik Leon yang Dera ambil diam-diam saat lepas dari tangan pemiliknya.

Ia perhatikan mata pisau itu. Dera raba, memang tajam.

Darah yang menempel sudah tidak terlalu banyak. Itu karena tergesek kain saku dari rok Dera saat darahnya masih cukup basah.

Tanpa pikir panjang cewek berambut dark brown itu mencuci pisau di tangannya. Hanya sekedar agar basah, lalu ia tarik beberapa lembar tisu untuk mengelap pisau yang terdapat noda darah itu.

Setelah bersih ia masukkan pisau pada gagangnya dan ia simpan di saki roknya kembali bersama dengan tisu yang mengelapnya.

Cewek itu beralih menatap wajahnya dalam cermin. Setelah puas, ia membasuh wajahnya beserta luka dan sisa darah di bawah dagunya.

Berapa lama ia di dalam toilet? Pasti Lusi sudah menunggu.

Cewek itu segera bersiap pergi dari toilet. Dalam perjalanan aman terkendali dan kini ia tiba di UKS dengan Lusi menatapnya datar dan tajam.

Dera terkekeh dan mendekatinya. "Kenapa sih?" goda Dera.

"Lo tolol apa gimana?! Udah tau luka masih aja kelayapan! Kalo luka lo terinfeksi gimana, Derana?!" todong Lusi gemas. Ia menarik kasar tangan Dera membuat sang empu mengaduh kesakitan.

"Lo sih!" elak Lusi. "Sorry-sorry." ujar Dera.

"Lo dari mana?" tanya Lusi. Tangannya bergerak membuka kotak obat. "Toilet."

"Ngapain?" Lusi menatap cewek didepannya yang menurutnya aneh.

"Basuh luka." jawab Dera singkat. Ia fokus menatap tangannya. "Jangan dilihat nanti tambah sakit." cegah Lusi.

Dera segera berpaling. "Luka itu di obatin dulu, bukan malah dibasuh. Perih kan? Perih." cerocos Lusi diakhiri pertanyaan dan dijawab sendiri.

"Dulu kata mama kalau luka mending di basuh dulu baru diobatin."

"Biar apa?" tanya Lusi penasaran. "Biar nggak perih waktu mandi." jawabnya.

"Jadi kalau lo luka parah tetep mandi?!" tanya Lusi syok. Ia menatap tak percaya pada Dera. Kegiatannya di tangan Dera sudah selesai.

"Ya separah apa dulu lukanya?" balas Dera tak terima. Kalau sampai seperti luka bakar yang tentu itu sangatlah perih bila terkena air.

"Itu bawah dagu lo luka nggak?" tanya lUsi menunjuk dagu Dera.

"Nggak luka kok."

"Nggak luka matamu?! Gue tadi lihat ya ada darah ngalir!" ujar Lusi tak terima.

"Iya, nanti gue obatin sendiri aja." ujar Dera acuh. "Awas aja kalau nggak!" ancam Lusi.

Lusi hendak membereskan peralatan obat, tangannya berhenti. "Obatin sekarang aja!" putus Lusi.

Dera menolak namun Lusi memaksa. Berakhirlah akhirnya luka itu diobati saat itu juga.

[•••]

"Nanti lo beneran bilang ya sama mama lo?" ucap Lusi memastikan. "Iya, Lucyane." sahut Dera malas.

Sesungguhnya Dera sudah lelah mendengar kalimat itu. Sekitar sepuluh kali Lusi mengatakannya.

"Nah udah sampai. Jangan lupa bilang! Awas kalau nggak, gue sendiri yang bakal bilang!" ancam Lusi.

"Iya, Lusi. Bawel banget sih lo?!" Dera menoleh dan memandang datar sekaligus tajam pada cewek berambut dark light di sampingnya ini.

Lusi cengengesan mendapati respon demikian. "Udah sana masuk!" titahnya dengan mendorong pelan lengan Dera.

Dera berdecak jengah. Ia turun dari mobil yang membawanya pulang. Sebelum menutup pintu Dera tak lupa mengucapkan terima kasih.

Tidak berapa lama Alphard hitam itu melaju dengan teriakan Lusi yang berangsur samar.

Cewek dengan tangan diperban dan bagian bawah dagunya terdapat kapas dan hansaplast itu berbalik memasuki rumahnya.

Keadaan rumah sepi, tidak seperti biasanya. Orang-orang pada kemana?

"Bibi, mama mana?" tanya Dera pada salah satu asisten rumah tangga yang bekerja di rumahnya.

Bibi berhenti melakukan pekerjaannya guana menjawab pertanyaan Dera. "Nyonya ke rumah temannya, Non." jawabnya sopan.

Dera mengangguk. "Sama siapa?"

"Sama sopir, Non, Pak Bano."

"Bibi tau rumah siapa yang didatengin mama nggak?"

Bibi menatap anak majikannya sejenak. "Wah, saya nggak tahu, Non. Nyonya nggak bilang sama saya."

"Ya udah makasih ya, Bi." Dera berlalu menuju kamarnya.

Tanpa kata Dera menghempaskan tubuhnya ke atas kasur nyamannya. Memang kasurlah tempat ternyaman untuk melepas lelah.

Dera sedikit memiringkan tubuhnya, tanpa diduga paha kirinya merasa tidak nyaman. Ia mengambil sesuatu di saku roknya.

Astaga! Pisau tadi! Bagaimana bisa Dera lupa akan keberadaannya?

Sudahlah, ia lelah sekarang. Pisau itu tak penting sekarang. Tidur dulu nomor terdepan. Mandi? Apa itu mandi? Tidak mandi pun Derana tetap cantik.

Bukannya sombong, memang itu kenyataannya. Tapi, ya jangan dibandingkan dengan tokok utama wanita. Sekali lagi Dera katakan, Harlyn itu cantik. Lain kali Dera deskripsikan lagi.

Sungguh protagonis wanita yang sempurna versi novel.

Sayangnya tak ada yang sempurna di manapun di dunia ini. Apa lagi dunia novel yang dibuat oleh manusia yang hidup di dunia yang tidak sempurna. Sesempurna apapun tetaplah ada kecacatan.

[•••]

Behind the Script [Upload Ulang]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang