Chapter : 21

999 76 14
                                    

[•••]

Dalam perjalanan terus menggerutu, Dera berpapasan dengan teman sekelasnya.

Setelah bertanya tempat mana yang hangat dan mendapat jawaban, Dera berlalu dengan mengucap terima kasih.

Jawabannya.. tidak ada. Ya! Tidak ada tempat yang hangat di sini!

Jadi, dengan seragam yang basah dan bercucuran air, Dera pergi ke kamar mandi.

Sebetulnya ia juga tidak tahu apa yang harus ia lakukan di sana. Menambah basah? Tidak! Mungkin hanya akan ia lap bagian yang kotor.

Sebelum memulai aksinya, Dera lebih dulu melepas tas punggungnya.

Dera melirik kaca di depannya sebentar sebelum mengarahkan cardigannya ke bawah kran air.

Ia kucek hingga bersih lalu diperas airnya kemudian ia gunakan untuk menyeka roknya yang kotor. Hal itu Dera lakukan hingga roknya bersih.

Tapi, tunggu! Hei! Di sana 'kan ada tisu! Kenapa nggak pakai tisu aja? Iya, ada
Namun, sekarang tidak ada.

Dera menghela napas melirik tempat biasa tisu disimpan. Habis mungkin dan petugas kebersihan belum mengecek.

Tak lupa cewek itu menunduk untuk melepas sepatu dan kaos kaki. Jangan lupa jika dua benda itu juga basah dan kotor.

Setelah selesai membersihkan tiga bemda yang basah itu, Dera keluar dari kamar mandi dengan menyampirkan tasnya di pundak kanan, tangan kiri menggenggam kaos kaki dan juga sepatu dengan jari telunjuk dan jari tengah. Tak lupa cardigan basahnya ia sampirkan di lengan kirinya.

Siswi yang sekarang bertelanjang kaki itu terus berjalan. Ia tak malu berjalan tanpa alas, karena dulu ia sering melakukannya.

Sungguh buruk memang nasib Dera kali ini. Bagaimana tidak? Sekarang hujan sudah reda dan sorot matahari menyinari bumi sekolahan.

Dengan kesal Dera berjalan cepat ke arah rooftop untuk berjemur. Sepanjang perjalanan sangat sepi. Mungkin sedang melangsungkan ritual.

Setelah membuka pintu rooftop dengan susah payah akhirnya terbuka juga. Dera langsung menuju pembatas yang memiliki tinggi satu meter dan lebar sepuluh senti.

Lantai yang merupakan semen itu terdapat sedikit genangan air. Dengan masa bodoh tak cewek itu pedulikan.

Sembari merasakan hangat di bagian tubuhnya yang tak tertutip pakaian, Dera meletakkan sepatu, kaos kaki dan cardigannya di pembatas itu dengan rapi.

Setelah mengambil ponselnya yang ia simpan di dalam tas, cewek itu bingung akan meletakkan tas di sebelah mana.

Jika di pembatas juga ada kemungkinan akan jatuh jika sedikit saja tersenggol. Jika di bawah, basah. Ada sedikit genangan akibat lantai yang tidak rata.

Melihat sekeliling sejenak matanya menangkap sebuah sofa navy yang nampak sudah tua. Tempatnya memang sedikit tersembunyi dari arah pandang saat baru memasuki area ini.

Tanpa pikir panjang mera menyimpan tasnya di sana. Ia tidak ikut duduk melainkan berjalan menuju pembatas, sedikit jauh dengan jemurannya dan ia menatap para pelajar yang sedang mengikuti upacara.

Ia menumpukan kedua sikunya di sana.

"Lebih milih kering tapi upacara, atau basah tapi nggak upacara?" monolognya.

Dera diam menatap barisan peserta itu. Tak lama ia tersenyum tipis. "Mending hujan tapi udah di kelas."

Dari ketinggian yang entah berapa ini, netra amber itu dapat menangkap sosok Harlynda yang berada sedikit di belakang barisan.

Tingginya dengan Dera memang sedikit berbeda. Dera 64,173 inci sedangkan Harlyn 62,992 inci. Maksudnya, masih banyak siswi yang lebih tinggi dari mereka berdua.

Saat hampir tiba di sesi amanat, datang beberapa siswa yang berjalan secara paksa menuju lapangan.

Tepat saat amanat tiba dengan sedikit basa basi di awal, kepala sekolah langsung menceramahi... berapa? Satu, dua... lima siswa itu.

Dera perhatikan baik-baik wajah mereka dan seketika ia bingung.

"Itu gangnya antagonis 'kan? Kok cuma lima? Dan gue lihat-lihat dia nggak ada. Waduh, kemana tuh orang?" tanyanya entah pada siapa.

Dera berpose berpikir. "Jangan bilang dia nggak masuk..-" Gumamannya berhenti.

Pikiran Dera melayang kemana-mana. Dari semua track record antagonis itu tercatat banyak sekali kejahatan. Maka tak menutup kemungkinan jika ia melakukan tindak kejahatan meski dalam kondisi terluka.

"Nggak, nggak, nggak. Dia itu bonyok kemarin dan kata Lusi dia di rawat di RS 'kan?"

"Masa cepet banget sembuhnya?"

Dera mengangguk meyakinkan dirinya sendiri. "Pasti masih di rawat."

Semoga nggak.

Semoga dia juga belum sembuh. Kalau udah, bisa abis gue.

Saat menatap kembali lapangan tak disangka salah satu dari siswa yang terlambat itu mengangkat wajahnya. Sontak Dera melotot lalu berjalan mundur dan berbalik lalu berjongkok sambil memejamkan mata.

Itu salah satu anggota gang antagonis. Semoga saja wajah Dera tidak terlihat sejauh ini.

Sekian menit ia memejamkan mata, ia memutuskan membukanya. Tepat saat itu Dera melihat sosok seseorang yang berusaha ia hindari tiga hari lalu.

Sedangkan sekarang orang itu sedang berjalan mendekat di dekatnya. Setiap langkahnya mengandung peringatan.

Setiap langkahnya menciptakan sensasi keputusan asaan untuk cewek malang itu.

[•••]

Lewat tengah malam di atas bangkar rawat inap rumah sakit, seorang cowok tengah duduk diam, melamun.

Tubuhnya bergerak. Ia berbaring dengan lengan kanannya sebagai bantalan.

Di dalam sini hanya Leon seorang. Teman-temannya sudah pulang sebelum tengah malam tadi.

Untuk Gio, Giovanni Arahan, sepupunya itu ikut pergi bersama temannya sekedar kembali ke rumah dan nanti akan kembali lagi.

Suasana rumah sakit yang senyap membuat cowok berbalut baju pasien itu mampu mendengar deru napas dan detak jantungnya sendiri.

Dalam diamnya ia memikirkan seseorang. Seorang cewek yang bahkan tidak diketahui oleh Leon sendiri itu sedang memenuhi benaknya.

Semua bermula saat ia baru saja bangun di sebuah ruangan dengan beberapa orang yang serasa lama tak ia jumpai.

Leon merasa baik-baik saja, jadi ia hendak pergi. Di perjalanan tak disangka ia bertabrakan dengan seseorang. Ia marah apalagi tangan kirinya yang tidak berdaya entah mengapa tertekan.

Tanpa pikir panjang ia memberinya sedikit pelajaran. Namun, tak disangka ia mendapat balasan juga.

Leon merasa tertarik padanya. Dalam benaknya mulai terbayang sesuatu yang teramat menarik baginya.

Lamuannya buyar oleh suara.

Dilanjut beberapa saat kemudian ia bertemu kembali, lagi, dan lagi. Memang tidak sebanyak itu pertemuan keduanya.

Hanya saja satu hal yang Leon membuat Leon murka. Dua kali. Dua kali! Cewek yang belum ia ketahui namanya itu dengan berani menyebut namanya bersamaan dengan nama sialan yang ia benci.

Belum diketahui alasan khususnya. Leon hanya merasa sedari awal dalam dirinya teramat membenci nama depannya. Benci dalam tahap mendarah daging.

Melirik jam sekilas tak terasa dua jam sudah berlalu dengan otaknya yang terus berpikir.

Setelah menguap dua kali, Leon memposisikan diri dengan nyaman. Tidak baik juga dirinya sakit dan tidak segera beristirahat.

Di ruangan itu sunyi senyap, hanya detik jarum jam yang mengisi. Cowok dengan beberapa plaster di wajah dan tangannya itu memejamkan mata dengan tenang.

[•••]

Ada ngak sih yang kangen cerita ini?

Behind the Script [Upload Ulang]Where stories live. Discover now