Chapter : 05

1.1K 92 0
                                    

[•••]

"Kita ngapain sih kesini?"

"Katanya tadi mau healing, malah dateng ke tempat yang penuh orang terkapar."

"Katanya beli es krim, malah nyium bau obat."

Rumah sakit. Itu tempat mereka. Dengan mengendarai sepeda motor milik satpam rumahnya dan dengan dirinya sendiri sebagai driver, Dera melesat menuju rumah sakit bersama Lusi.

Tujuannya adalah untuk menjenguk siswa korban bullying bulan lalu. cowok yang kini Dera ingat bernama Ramon itu kondisinya sudah mulai membaik. Perban pada beberapa bagian sudah dilepas setelah sekian kali diganti.

Di hari Kamis ini rumah sakit lebih lenggang dari biasanya, membuat mereka lebih leluasa berjalan berdampingan tanpa takut tabrakan dengan orang lain. Ya syukurlah, jika sepi berarti banyak orang sehat diluar sana.

Setibanya di depan pintu rawat inap Ramon, tiba-tiba Dera teringat akan kunci motornya belum ia cabut. Ia meminta Lusi untuk masuk lebih dulu.

"Kayaknya kunci motor ketinggalan deh, lo masuk duluan ya?" pinta Dera tak enak.

"Kenapa nggak dari tadi sih?" gerutu Lusi.

"Ya, orang ingatnya baru sekarang kok." jawab Dera sewot. "Udah ya, da..." .

Dera melambai sambil berlari. Lusi menatap datar pemandangan itu. Sembari memutar bola matanya, Lusi masuk.

Sedangkan Dera berjalan tergesa menuju parkiran rumah sakit ini. Ia berjalan sudah cukup jauh. Namun, tempat tujuannya terasa begitu jauh. Ini karena ia yang lamban atau memang demikian?

Ponselnya berdering, Dera menunduk mencari letak ponselnya ia simpan. Saat akan mendial panggilan telepon itu ia menabrak sesuatu. -

Brugh!

- Mengakibatkan cewek berbaju biru muda itu terjengkang. "Astaga, apa lagi sih ini?"

Sang pelaku tabrakan itu menatap korbannya dari atas dengan tatapan datar. Tak ada niat sedikitpun untuk membantu.

Dera menyibak rambutnya dan mendongak, menatap pelaku. "Woi! Tanggung jawab lo!" teriaknya.

Melihat penabrak (cowok) itu hanya menatap tanpa minat dirinya, membuat Dera diliputi rasa marah. "Budeg lo ya?!" tanyanya memaki. "Tolongin gue!"

Mata cowok itu berkilat menatap Dera tajam meski wajahnya tetap datar lalu terpejam. Dera berkedip dan saat ia membuka mata, cowok tadi wajahnya memerah, urat-urat di bagian tubuh yang tak tertutup pakaian mulai menonjol. Rahangnya mengeras dan tangannya terkepal.

"Marah? Harusnya 'kan gue yang marah. Orang gue yang jatuh kok." gumam Dera.

Sepersekian detik setelah Dera bergumam wajah cowok tadi sudah di depannya. Menatapnya penuh amarah. Dera tidak bisa berpikir jernih saat ini. Ia hanya fokus pada iris coklat yang sekarang berganti merah.

Jarak mereka begitu dekat. Bahkan ia merasakan deru napas laki-laki itu di area tulang selangkanya yang memang tak tertutup. Jantungnya berdegup kencang. Punggungnya mendingin seakan terdapat bongkahan es batu besar menempel di sana.

Entah bagaimana cowok ini memberi tekanan yang sedemikian kentalnya. Membuat Dera merasa amat tertekan.

Dera menatapnya waspada. Siapa tahu hal tak terduga bisa ia lakukan. Karena orang yang sedang dikuasai amarah cenderung melakukan hal nekat. Seperti yang dialami Dera saat ini.

Lehernya diapit oleh jari jempol dan keempat jari lainnya di lain sisi. Ia dicekik. Pasokan oksigen di paru-paru Dera mulai menipis. Ia butuh yang baru tapi jalannya seakan terputus. Dengan sisa tenaga ia memukul tangan kekar penuh urat itu sekuat yang ia masih mampu.

Melihat wajah cewek di depannya mulai berubah keunguan, cowok itu melepas cekikannya. Wajahnya sudah tak semerah tadi. Uratnya pun sudah mulai merata. Ia mulai tenang.

Sebanyak yang ia bisa, Dera menghirup oksigen disekitarnya. Bahkan tak terpikir untuk menyaringnya terlebih dahulu, ia langsung menyedotnya dengan mulut.

Setelah merasa lebih baik, Dera menatap tajam cowok psikopat di depannya itu. "Lo gila ya?! Mau bunuh orang?!" Dada cewek itu kembang kempis. Dengan serpihan-serpihan keberanian, Dera menatap marah cowok yang hampir membunuhnya itu.

"Nggak ada yang mau bunuh lo kok." Jawaban santai dengan suara serak nan berat itu membuat Dera sedikit merinding. Namun, senyum yang terukir di bibir iblis di depannya itu menyulut amarah Dera.

"Lo bercanda?" Dera bertanya tak percaya dan cowok itu merespon dengan mengangkat sebelah alisnya seraya memiringkan kepalanya (berlagak polos) dan masih dengan senyum miring itu.

Dera menatap cowok di depannya tanpa ekspresi. Namun, tersimpan amarah, ketidak percayaan dan ketakutan di sana.

"Nggak, gue cuma ngetes kekuatan tangan gue aja tadi. Ternyata masih sekuat dulu." Dera menatapnya tak percaya.

"Meski cuma sebelah karena sebelahnya lagi masih di-gips, ternyata masih bisa bikin lo hampir mati." Nada suara yang masih terdengar santai itu membuat Dera tertawa datar. Secepat kilat ia mengangkat tangannya dan mendarat tepat di bagian kiri wajah cowok itu.

Dera bangkit dari duduknya dengan napas memburu. Sebelum melangkah pergi ia menyempatkan diri berkata, "Cara ngetes lo nggak lucu!" Lalu berjalan cepat pergi dari sana dengan jantung yang mulai ia rasakan detaknya yang luar biasa menggila.

"Lucu kok menurut gue." gumamnya sedih, menatap polos lantai bekas Dera tadi.

"Kok lo menarik sih?" Seringai muncul di wajah cowok itu. "Hati-hati ya." Matanya berkilat aneh.

Tiba di perempatan lorong tepatnya lorong bagian kiri ia berpapasan dengan seorang cowok yang menatapnya terkejut lalu heran. Tak ingin dirinya dilihat dalam kondisi berantakan, Dera memilih berlari.

Sedangkan cowok tadi masih menatapnya lama hingga hilang karena Dera berbelok. "Kayak pernah lihat." batinnya. Memilih abai ia menoleh ke arah asal Dera tadi.

"BOS!"

[•••]

"Lo dari mana aja?!"

"Capek tahu nggak nungguin lo selama ini."

"Sejam lebih gue satu ruangan sama nih cowok tengil."

Setelah membuka pintu rawat inap Ramon, Dera langsung diserbu oleh pertanyaan dan keluhan Lusi. Tapi, bukannya menjawab Dera malah berkata, "Lusi, ayo pulang." ajaknya dengan suara lirih. Sorot matanya sayu dan sembab tidak seperti saat sebelum pergi.

"Lo kenapa?!"

"Ada masalah? Dirampok? Di-di diapain?! Cerita sama gue!"

"Nanti gue ceritain." ucap Dera lemas. "Cepat sembuh ya, Ram, maaf kita nggak bisa lama-lama di sini." Ada jeda sedikit. "Ada urusan soalnya." pamit Dera pada Ramon dengan senyum yang nampak dipaksakan diakhir kata.

Ya, meskipun senyum itu tulus, ia tak mampu menutupi suasana hati seorang Derana.

Kedua cewek itu berbalik. Tak lama Lusi menoleh "Kita pamit ya, Udang." pamit Lusi bernada sinis.

"Udang?" batin Dera.

"Iya, Kucing. Sering-sering ke sini ya?" Ramon menyahut dengan riang.

"Kucing?" batin Dera.

[•••]

Behind the Script [Upload Ulang]Where stories live. Discover now