14. Si Brengsek Ayah

4.7K 1K 256
                                    

Hai hai hai!

Selamat malam guyssss

Maaf ya, MinBel gak update minggu lalu. Malam ini double update deh.

Absen hadir dulu seperti biasaaaa

*****

Sepulang kuliah, Reiji duduk sendirian di sudut sebuah warung makan yang lumayan sepi. Suara gemerincing piring dan aroma harum masakan mengisi udara. Namun, wajahnya terlihat murung, dan matanya tampak kosong, seolah-olah terperangkap dalam gelapnya pikiran yang membebani.

Saat itulah, pemilik warung makan, seorang ibu-ibu dengan senyum hangat, mendekatinya dengan penuh perhatian. Bu Dharmi, wanita berusia paruh baya yang sudah mengenal Reiji selama setahun belakangan ini seolah memiliki radar kuat kalau laki-laki yang sudah dia anggap sebagai anak itu tengah merasakan kegundahan. Dia pun ikut duduk di sebelah Reiji dengan membawa nampan makanan pesanan laki-laki itu.

"Kenapa, Nak? Ada masalah?" tanya Bu Dharmi membuyarkan lamunan Reiji.

Reiji, dalam keheningan, mengangkat kepalanya, masih terdampar di lautan pikirannya sendiri. Dia hanya menggeleng pelan sebagai jawaban. Mengisyaratkan bahwa dia hanya ingin berdiam diri dan merenung sejenak.

Bu Dharmi tersenyum maklum, dia sangat mengerti dengan perasaan Reiji saat ini. "Kalau mau cerita, Ibu dengerin sampai selesai. Nggak enak dipendem sendiri. Tambah sakit, Nak."

"Lagi bingung aja, Bu. Capek juga. Pengen banget kuliah dengan tenang kayak yang lain," ucap Reiji yang akhirnya mau membagikan perasaanya.

"Tuhan nggak pernah salah memilih orang. Coba inget-inget, berapa banyak hal yang udah Nak Reiji alami selama ini? Buktinya, Nak Reiji sudah sampai di tahap ini. Itu artinya, seberapa besar cobaannya, sebera kenceng masalahnya, Nak Reiji tetap kuat. Berarti Tuhan memang memilih orang yang tepat," kaya Bu Dharmi dengan sorot mata yang begitu tulus ke arah Reiji.

"Tapi, Bu, kapan semuanya berakhir? Saya juga pengen napas lega, sekali aja. Tapi Tuhan belum kasih izin."

"Nak... dunia itu memang tempatnya capek. Tempatnya masalah. Tempatnya ujian. Tempatnya tangisan. Dunia nggak ada tempat istirahatnya."

Reiji mengembuskan napas berat. Hatinya sedikit tersentil setelah mendengar tuturan dari Bu Dharmi. Apa yang dikatakan Beliau memang benar. Memang manusia mana yang tidak pernah diuji? Semua orang pasti merasakan hal yang sama dengan dirinya.

"Yang paling itu, jangan berpikiran buruk dengan takdir, Nak. Tuhan lebih tahu," lanjut Bu Dharmi sambil menepuk-nepuk punggung lebar milik Reiji.

Reiji mengangguk pelan, tanda mengerti dengan nasihat dari Bu Dharmi. Dia juga menyadari bahwa hidup penuh dengan tantangan, namun setiap tantangan juga membawa peluang untuk tumbuh dan menjadi lebih baik.

"Makasih, Bu." Reiji mengukir senyum hangat di wajah lelahnya. Setidaknya, dia masih punya Bu Dharmi untuk diajak berbagi cerita, meski mereka memang tidak punya hubungan sedarah.

*****

Seiring motor melaju, gelombang kekecewaan kini menghantam Aeris. Dia mengutuk kebodohannya sendiri, meratapi sikap cemburu yang tumbuh dalam dirinya. Aeris sadar kalau dia merasa cemburu kepada Reiji, seorang kakak tingkat kampus yang baru-baru ini mencuri perhatiannya. Reiji juga memiliki segalanya: kecerdasan, bakat, dan karismatik. Sedangkan dirinya, Aeris, merasa seperti orang yang tidak berguna, tak ada yang istimewa. Tidak pantas juga dia menyukai manusia sesempurna Reiji.

Angin sore yang sejuk menerpa wajahnya itu memberikan sedikit kenyamanan. Namun, rasa kekecewaan dan cemburu masih tertanam dalam hati Aeris. Dia merasa seperti dihantui oleh bayang-bayang perbandingan yang tidak adil.

Melepaskan rasa cemburu itu bukanlah hal yang mudah. Aeris harus belajar menerima dirinya sendiri, menghargai kualitas dan keunikan yang dimilikinya. Hidup bukanlah tentang berlomba-lomba dengan orang lain, tapi tentang menemukan kebahagiaan dan kesuksesan di jalan masing-masing.

Ketika motor berhenti di depan rumahnya, Aeris turun dan berjalan dengan langkah lesu. Namun, di balik raut wajah yang sedih, ada tekad yang tumbuh dalam dirinya. Dia bertekad untuk melepaskan cemburu yang meracuni pikirannya, dan lebih fokus pada perjalanan hidupnya sendiri.

Dan... kembali pada pendiriannya yang dulu. Aeris yang tidak menyukai siapa pun.

Dalam rumahnya yang sunyi, Aeris duduk di kamar, menatap dirinya sendiri di cermin. Dia mengambil napas dalam-dalam dan melepaskan semua ketegangan yang ada.

"It's oke, Aeris. Cukup kali ini lo bersikap bego gara-gara nggak sengaja suka sama orang nggak jelas," ucap Aeris pada dirinya.

"Kambing itu cuma ngajak lo temenan, nggak lebih."

"Kalau kayak gini emang bener apa kata Daniaaa!!!"

Aeris berakhir membanting tubuhnya di kasur dan menendang-menendang bantal gulingnya yang tak bersalah untuk melampiaskan emosinya.

******

"Abang... Ayah tadi dateng... dia marah-marah ke Ibu. Ibu sakit...."

"Abang ke sini... Ael takut...."

Reiji berlari melewati pintu depan rumahnya, hatinya berdebar dengan kekhawatiran dan kemarahan yang tak tertahankan. Kabar buruk yang baru saja dia dengar dari sang adik tentang ayah brengseknya yang kembali mencelakai ibu mereka telah menghancurkan semua sisa ketenangan dalam dirinya.

Langkah-langkah Reiji tergesa menuju ruang keluarga, di mana ibunya bersimpuh di lantai dengan wajah yang memerah seperti bekas ditampar dan mata yang penuh dengan air mata. Dia melihat raut kesedihan dan ketidakberdayaan di wajah wanita yang melahirkannya, dan api kemarahan dalam dirinya semakin membara.

Tanpa berpikir dua kali, Reiji mendekati ibunya bersama Rafael yang kini berada di sampingnya.Dia kemudian mengulurkan tangan dan memeluk ibunya dengan lembut. Dia merasakan gemetar tubuh ibunya dan tangis yang terhenti sesaat dalam pelukan hangatnya. Rafael yang terlihat ketakutan itu pun melakukan hal yang sama. Membuat Reiji melebarkan tangannya untuk memeluk sang adik juga.

"Selain ditampar, Ibu diapain lagi?" tanya Reiji dengan berusaha menahan emosinya agar tidak meledak-ledak.

"Ayahmu mabuk.... Tiba-tiba datang, meracau nggak jelas.... Waktu Ibu usir, dia nggak terima dan nampar Ibu...," jelas Yeni meski dengan suara yang terbata-bata.

"Ayah sama Ibu kan udah cerai, kenapa Ayah masih suka datang buat marah-marah?" Rafael terisak hebat saat mengatakan itu. Bocah itu seakan dipaksa untuk mengerti di umurnya yang masih sangat belia.

"Ael nggak boleh ikut campur, ya. Selama ada Abang, Ael sama Ibu nggak akan kenapa-kenapa," ucap Reiji, berusaha menenangkan kedua insan itu.

"Ibu takut kalau Ayahmu tiba-tiba datang lagi, Rei...."

"Ayahmu nggak suka kalau Ibu menikah lagi...."

Dalam ketegarannya, Reiji mencoba untuk menghalau air matanya yang hendak turun. Dia semakin mengeratkan pelukannya dengan Yeni dan Rafael. Seolah ingin memastikan bahwa mereka aman jika berada dalam rengkuhannya. Meski rasa sesak kini menyeruak hebat dalam dadanya, tapi sebisa mungkin dia menahannya.

"Reiji juga nggak suka, Bu."

Sayangnya, kalimat itu hanya mampu Reiji ucapkan dalam hatinya.

Reiji bersumpah pada dirinya sendiri bahwa dia akan melindungi ibunya, bahwa dia tidak akan membiarkan ayahnya yang brengsek menghancurkan mereka lagi. Karena seburuk apa pun sifat Yeni, dia tetaplah ibu yang baik untuk anak-anaknya.

*****

500 komen guys hihihi

Rotasi Dunia ReijiDove le storie prendono vita. Scoprilo ora