24. Reiji, Rafael, Aeris

3K 621 8
                                    

Yeni menatap Haris dengan penuh kemarahan, matanya menyala seperti bara api yang berkobar dalam kegelapan. Setelah sekian lama berpisah dengan sang suami, sudut-sudut hatinya masih dipenuhi oleh luka dan kekecewaan yang begitu besar. Di hadapannya, Haris berdiri dengan wajah yang tak mencerminkan penyesalan sama sekali. Pria itu seperti tidak punya malu saat menginjakkan kaki di rumahnya lagi. Rumah yang tak pernah dimasuki oleh kehangatan dan kebahagiaan. Sekali pun ketika mereka masih bersama.

Mereka sempat berusaha mencari kebahagiaan dalam rumah tangga mereka, tetapi cinta yang pernah ada kini telah terkubur dalam pengkhianatan. Luka itu dihasilkan oleh kepercayaan yang telah hancur. Hati yang dulunya pernah berbunga-bunga kini menjadi gersang dan tak ada lagi air mata yang tersisa untuk ditumpahkan.

Yeni merenung sejenak, membiarkan kemarahan itu melingkupi dirinya. Ia mengingat semua pengorbanan yang telah dia berikan untuk mempertahankan rumah tangga mereka, hanya untuk dihancurkan oleh tindakan Haris yang tak termaafkan. Dalam keheningan itu, suaranya terdengar dengan tajam saat ia berkata, "Mau apa lagi? Belum cukup puas menghancurkan hidupku dan anak-anakku?"

Haris terdiam, terpaku di tempatnya, sedikit menyadari betapa dalamnya luka yang telah ia sebabkan.

"PERGI DARI SINI!" teriak Yeni.

Yeni maju dengan langkah-langkah yang pasti, matanya yang penuh amarah itu tak pernah lepas dari wajah Haris. "Biarin aku hidup tenang dengan kehidupan baruku!" Suaranya penuh dengan keputusan yang tak bisa diganggu gugat.

"Kamu pikir, aku bakalan biarin kamu menikah lagi dengan laki-laki sialan itu?!" Haris menunjuk Salman, kekasih Yeni yang dia ketahui akan segera menikah dengan mantan istrinya itu. "Kalau hidupku hancur, kamu juga harus hancur, Yen!"

Yeni tertawa hambar. "Itu karena ulah kamu sendiri!"

"Jalang seperti kamu memang nggak pernah serius soal hati. Usiamu udah tua, untuk apa menikah lagi?!" Haris masih tidak mau mengalah.

"Mau gimana pun juga, aku ini perempuan yang butuh pasangan. Pasangan yang bisa menopang hidupku dan anak-anakku," balas Yeni dengan menekankan kalimat terakhirnya untuk menyindir Haris.

"Kalau gitu, Rafael biar ikut aku! Sinting kamu kalau asik pacaran dan anak ditelantarkan!"

"Kamu gila? Apa bedanya dengan kamu yang luntang-lantung dan minum alkohol setiap hari? Nggak punya otak kamu!"

Saat tangan Haris terangkat untuk melayangkan tamparan di wajah Yeni, Salman yang sejak tadi hanya diam kini ikut andil. Pria berusia 39 tahun itu mencekal kuat tangan Haris.

"Seorang pria yang berani melakukan kekerasan dengan mudah, tidak layak disebut sebagai Ayah," ucap Salman, pelan tapi sangat tajam.

Haris melepas kasar cekalan Salman dari tangannya. "Ini urusan saya dengan dia! Jangan ikut campur!"

"Anda bahkan tidak punya malu disaksikan anak sendiri." Salman menunjuk Rafael yang duduk meringkuk di depan pintu. Bocah itu menangis ketakutan.

Rafael yang semakin ketakutan itu memberanikan diri untuk mengirimkan pesan kepada Reiji menggunakan ponsel ibunya yang sejak tadi berada di tangannya. Dengan tubuh yang bergetar hebat, jemari mungilnya itu mulai mengetikkan pesan kepada sang kakak.

Kak Reiji:

Kak, ajak Ael pergi ya.....

*****

Reiji merenung sejenak, pandangannya terfokus pada adiknya yang masih menangis sesenggukan. Tubuh anak itu gemetaran, mungkin masih begitu takut dengan apa yang sempat dilihat. Saat Rafael mengirimkan pesan tadi, Reiji yang kebetulan sudah selesai kelas bersama Aeris pun langsung bergegas pergi menemui adiknya. Saat tiba di rumah tadi, ayahnya ternyata sudah ada. Alhasil, dia tidak perlu repot-repot bertengkar dengan Haris dulu dan bisa buru-buru mengajak Rafael pergi ke taman untuk menghibur anak itu. Tentunya masih bersama Aeris karena hari ini perempuan itu menjadi tanggung jawabnya.

Dalam keheningan yang tegang, Reiji tiba-tiba memeluk tubuh Rafael dengan erat. Membawa adiknya itu ke dalam dekapan hangatnya. Rafael justru kian menangis kencang, membuat perasaan Reiji sontak dikoyak oleh rasa sakit. Sebisa mungkin dia tidak ikut menitikkan air mata, karena sebesar apa pun luka di benaknya, dia harus tetap membuat Rafael merasa aman.

Setelah cukup lama mereka berpelukan, Rafael akhirnya mengangkat kepala perlahan dan menatap Reiji dengan mata lelahnya yang sembab. Sedikit demi sedikit, ketakutan di wajahnya mulai memudar, digantikan dengan sedikit ketenangan yang diciptakan oleh sang kakak. Untuk saat ini, satu-satunya orang yang begitu Rafael sayangi adalah kakaknya. Karena orang tuanya sama sekali tidak bisa membuatnya aman jika bersama mereka. "Abang nggak akan ninggalin Ael, kan?"

Pandangan Reiji menunduk, menatap sang adik dengan seulas senyuman hangat di bibirnya. Dia menangkup pipi Rafael dan mengusapnya dengan lembut. "Nggak perlu takut, Ael. Kamu bisa hubungin Abang kapan aja yang kamu mau," ucapnya menenangkan.

Aeris yang duduk diam di sebelah Reiji itu tidak berhenti memperhatikan mereka. Reiji dan Rafael masih saling berpelukan erat, memancarkan kehangatan dan kasih sayang di antara mereka. Aeris tak bisa menahan senyum di wajahnya, terharu dengan pemandangan yang ada di hadapannya.

Dalam kehangatan momen itu, Aeris mengalihkan pandangannya ke langit. Dia menyadari bahwa keluarga tidak hanya tentang hubungan darah, tetapi juga tentang ikatan yang terbentuk melalui kasih sayang dan perhatian. Melihat hubungan yang kuat antara Reiji dan Rafael, Aeris merasa kalau selama ini dia tidak pernah sehangat itu dengan orang tuanya.

"Ael, kamu beruntung banget punya Abang kayak Kak Reiji," celetuk Aeris.

Rafael menatap Aeris dengan senyum polosnya. "Kakak nggak punya Abang, ya?"

Aeris menggeleng sedih. "Enggak," jawabnya lesu. "Boleh bagi abang kamu nggak?"

Rafael kontan menggeleng dengan cepat dan semakin mengeratkan pelukannya dengan Reiji. Hal itu membuat Aeris tertawa. Rafael terlihat sangat menggemaskan di matanya.

Perasaan Reiji perlahan membaik ketika melihat interaksi keduanya. Sebuah ide tiba-tiba muncul di kepalanya. "Ael mau beli es krim di sana, nggak?" ucapnya sambil menunjuk sebuah toko es krim di dekat taman.

Tanpa ragu, Rafael pun mengangguk. Dia bahkan langsung meloncat turun dari kursi dan menggerakkan tangannya meninju udara, tanda bahwa dia begitu senang dengan tawaran Reiji. Sebesar apa pun kesedihannya, akan mudah untuk memudar jika ada es krim. Kakaknya itu selalu bisa membuatnya lupa dengan luka.

Mereka pun berjalan beriringan menuju toko es krim tersebut dengan posisi Rafael yang berada di tengah, menggandeng Aeris dan Reiji dengan sangat antusias. Mungkin, orang-orang yang melihat akan berprasangka bahwa mereka adalah keluarga. Terlalu menggemaskan dan serasi untun dilihat.

Tidak lama kemudian, mereka sudah berdiri di depan etalase yang dipenuhi dengan berbagai macam rasa es krim yang menggoda. Rafael dengan penuh semangat menunjuk rasa es krim kesukaannya, sementara Reiji memesan rasa favoritnya bersama Aeris.

Ketika mereka duduk di meja di dekat toko es krim, Rafael tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Dia memakan es krimnya dengan penuh kenikmatan, sambil sesekali tertawa kecil ketika es krim itu meleleh dan menodai tangannya.

Reiji tersenyum melihat adiknya menikmati saat ini. Dia tahu bahwa meskipun kebahagiaan ini hanya sementara, itu adalah momen berharga yang mereka dapatkan bersama. Mereka saling memandang harapan dan kasih sayang, menunjukkan bahwa mereka akan selalu berada di samping satu sama lain.

"Jangan buat dia sedih, Kak. Kalau perlu, kita harus main tiap weekend," ucap Aeris kepada Reiji sambil terus memandangi Rafael.

Reiji hanya mengangguk sebagai jawaban. Dia tidak begitu pandai mengucapkan kalimat-kalimat manis sebagai ucapan terima kasih kepada perempuan itu. Aeris bahkan tidak banyak bertanya mengenai apa yang baru saja terjadi. Perempuan itu hanya mengikutinya dan membaur dengan keadaan tanpa harus mencari tahu masalah apa yang tengah dia dan adiknya alami.

"Ael, jadi bagi dua, ya, abangnya?" tanya Aeris yang berakhir mendapat gelakan tawa dari Reiji dan Rafael.

Sore itu, di tengah rasa manis es krim yang lezat, Reiji dan Rafael yang ditemani oleh Aeris merasakan kebahagiaan yang sederhana namun menghangatkan hati. Mereka tahu bahwa masalah keluarga mereka tidak akan selesai dengan cepat, tetapi mereka percaya bahwa dengan kebersamaan seperti ini, mereka dapat melewati masa sulit dan memperkuat ikatan mereka sebagai saudara.

***


Rotasi Dunia ReijiWhere stories live. Discover now