18. Tidak Asing

3.9K 861 234
                                    


seperti biasa, absen dulu!!!

Siap baca Reiji?

***

Ambini hanya diam merenung di depan jendela kamarnya setelah pertemuan mereka dengan Reiji. Tatapannya terpaku pada cahaya senja yang memantul di permukaan kaca. Tingkahnya tersebut tentu berhasil mencuri perhatian Erwin. Suaminya itu sudah memanggilnya beberapa kali, tapi Ambini tidak menoleh, dan memilih untuk terbenam dalam pikirannya.

Bingung karena tidak kunjung mendapat respons, Erwin pun berjalan menghampiri Ambini yang berdiri di dekat jendela itu lalu memeluknya dari belakang. Dia lalu menenggelamkan wajah di ceruk leher wanitu itu sambil bertanya, "Ada apa, Ma? Ada masalah di toko?"

Ya, Ambini memiliki toko sembako yang lumayan besar. Sebab itulah Erwin berspekulasi bahwa tingkah Ambini yang tiba-tiba diam termenung adalah karena beberapa masalah di toko.

Terdengar helaan napas yang panjang dari Ambini. Dia sama sekali tidak membalas pelukan sang suami. Sorot matanya yang resah sudah sangat menjelaskan bahwa batinnya sedang tidak baik-baik saja. Padahal beberapa menit lalu, dia terlihat bersemangat karena Aeris memiliki teman yang menurutnya bisa diandalkan.

"Bukan, Pa." Ambini akhirnya bersuara.

"Kenapa? Papa ada buat salah?" tanya Erwin dengan lembut.

"Bukan juga...." Ambini menggantung kalimatnya sejenak. "Reiji... kayak mirip sama seseorang," lanjutnya.

******

Suasana di ruang makan pagi itu masih sama persis dengan sebelumnya. Tenang, mencekam, hanya suara garpu dan sendok yang berdentingan. Aeris mengunyah nasi gorengnya dengan cepat. Dia sudah cukup muak dengan suasana membosankan yang selalu terjadi ketika dia tengah makan. Orang tuanya terlampau kaku untuk membuatnya merasa nyaman. Atau sekadar mengobrol ringan seperti kebanyakan keluarga lain.

Ambini yang sudah lebih dulu menghabiskan sarapannya itu segera meneguk air putihnya sampai tandas. Dia terlihat begitu buru-buru dan gelisah. Tatapannya sejak tadi pun tidak berhenti untuk sesekali menatap sang putri. Seperti ada hal penting yang ingin wanita itu bicarakan.

Sementara Erwin yang masih belum tahu apa yang terjadi pada istrinya itu pun hanya memperhatikan gerak-gerik Ambini.

"Kamu kuliah jam berapa hari ini?" tanya Ambini, mulai basa-basi dengan Aeris.

"Jam sepuluh, Ma. Kenapa?" jawab Aeris sambil bertanya balik.

"Enggak apa-apa. Mama cuma nanya aja."

Aeris mengangguk-anggukkan kepalanya paham, tidak begitu peduli.

"Kamu kenal Reiji beneran waktu OSPEK, ya?"

Pertanyaan itu berhasil membuat Aeris berhenti mengunyah. Tatapannya memandang sang mama dengan bingung. "Kemarin udah banyak ngobrol. Masih belum cukup wawancaranya, Ma?"

"Aeris...," panggil Erwin dengan nada menegur.

Aeris berdecak sebal. Dia pun mengalihkan tatapannya ke arah lain lalu menenggak jus jeruknya dengan cepat.

"Kalian terlalu berlebihan, Ma, Pa. Kak Reiji juga pasti risih kalian gituin kemarin. Padahal cuma nganter pulang, pakai disidang segala," seloroh Aeris sangat frontal. Dia sama sekali tidak peduli jika ucapannya akan menyinggung kedua orang tuanya.

Ambini tersenyum kecut. Dari ekspresinya, dia terlihat sangat kecewa dengan tanggapan Aeris. Erwin yang peka dengan perasaan sang istri pun menyeletuk, "Mama sama Papa cuma mau kamu berteman dengan orang-orang baik dan terpelajar. Semuanya demi masa depan kamu. Jadi, Mama sama Papa ngerasa kalau sikap kami nggak berlebihan, Aeris."

"Itu, kan, pemikirin Papa sama Mama yang udah kuno. Anak zaman sekarang masih dikekang kayak gitu. Aeris juga pengen bebas kayak lain Pa, Ma," terang Aeris.

"Udah, Pa. Sampai kapan pun, dia kayaknya nggak bakalan ngerti kalau belum jadi orang tua," timpal Ambini lalu meraih pergelangan tangan Erwin karena suaminya itu terlihat hampir marah.

Aeris tertawa remeh mendengar hal itu. "Kalau jadi orang tua, Aeris juga nggak akan seperti Mama Papa."

Usai mengucapkan itu, Aeris langsung bergegas menuju kamarnya. Meninggalkan orang tuanya yang menatap punggung mungilnya dengan kekecewaan yang begitu besar.

****

Reiji berjalan melalui parkiran kampus dengan langkah perlahan, diiringi dengan suara kerikil yang terinjak di bawahnya. Dia memandangi kerikil yang berserakan di sekitarnya dengan pandangan yang hampir melamun. Pagi ini terasa hampa karena Reiji tiba-tiba merindukan sang adik. Perasaan itu semakin menjadi saat dia melihat Aeris berdiri di dekat pintu masuk gedung jurusannya, berbincang-bincang dan tertawa riang bersama seorang lelaki.

Reiji tidak punya pilihan lain kecuali tetap melanjutkan langkahnya dengan hati-hati, berharap bahwa dirinya tidak terlihat untuk saat ini. Tapi tiba-tiba, teman Aeris melihat kehadirannya. Lebih parahnya lagi, laki-laki itu justru menunjuk ke arahnya, memberi tahu Aeris. Reiji merasa canggung karena Aeris langsung melihatnya, tapi dia mencoba tetap tenang.

"Oh, hai, Mbing," sapa Aeris dengan senyum tengilnya yang ternyata belum berubah.

"Yang sopan dikit lo," bisik teman Aeris yang masih mampu Reiji dengar.

Aeris hanya tertawa kecil menanggapi teguran Danu. "Mau masuk, Kak? Yuk, bareng kita aja," tawarnya kepada Reiji.

"Gue mau ke tempat fotokopian dulu, kalian duluan aja," jawab Reiji sekenanya. Selepas mengatakan itu, dia membalikkan tubuhnya, lalu menjauh dari hadapan Aeris dan teman perempuan itu.

"Friendly ternyata." Reiji tersenyum kecut dengan hati tidak henti-henti merutuki tingkah konyolnya hanya demi menyembunyikan ketidaksukaannya.

***


Rotasi Dunia ReijiWhere stories live. Discover now