Ruang Yang Berantakan.

613 91 42
                                    

"Lo nggak perlu nemuin dia kalau justru bikin lo sakit." Riki menatap Evano dengan nyalang. Untuk pertama kali dalam hidupnya selama ia berteman dengan Evano ia tak mampu menahan amarahnya seperti ini.

Dia sendiri cenderung penyabar, sayangnya tidak untuk kali ini.

"Lo nggak tahu." laki-laki yang lebih muda dari Riki beberapa bulan itu menjawab.

"APA YANG GUE NGGAK TAU ?! KENAPA LO SELALU MERUMITKAN SEMUA HAL YANG UDAH JELAS-JELAS MUDAH ?! KALAU NGGAK ADA YANG BIKIN LO SENENG, TINGGALIN." suaranya meledak-ledak. Evano tak kalah tersulut, ia tidak suka pertengkaran ini dan yang pasti ia tidak suka di buntuti seperti yang Riki lakukan beberapa bulan belakangan ini.

"LO NGGAK TAHU RIK. LO NGGAK PAHAM."

"BIKIN GUE PAHAM KALO GITU." Riki menyugar rambutnya dengan kasar. Seandainya ia boleh menonjok wajah Evano untuk melampiaskan kekesalannya mungkin sejak beberapa menit lalu, ia sudah melakukannya.

"Lo nggak paham." Evano berakhir menjongkokkan dirinya, tangannya memukuli lantai rooftop. Sesak dalam dadanya kian mencuat, setelah tahu mengapa ia harus di Semarang.

Mengapa ia berakhir di sini. Semarang yang menjadi tempat ternyamannya setelah sekian lama hanya berakhir menjadi racunnya sendiri. Tanpa sadar ia mengutuki takdir, tanpa sadar ia marah pada Tuhan.

"Brengsek." dan ia tidak tahu umpatan itu harus ia lemparkan pada siapa.

"Lo selalu bilang kalau setiap gue ada masalah, lo pengen gue cerita. TERUS SEKARANG APA, VAN ? APA YANG LO LAKUIN ? LO BIKIN GUE KAYA ORANG TOLOL YANG NGGAK TAU APA-APA! LO BILANG KALAU GUE TEMEN LO, TAPI DENGAN LO KAYA GINI JUSTRU BIKIN GUE KAYA BENALU DOANG."

"Lo selalu nangis setiap pulang sekolah, Lo pikir siapa yang nggak khawatir ?" suara Riki melirih, menahan tangis sebab hatinya terlalu marah dan dia tak mampu melampiaskan itu, ia justru mengingat wajah khawatir Sandy yang kerap kali melihat Evano lebih banyak diam atau Rendra yang berulang kali memastikan Evano baik-baik saja setiap 2 jam sekali. darah pada jari-jari Evano tidak mampu membuatnya merasa kasian.

Kakinya melangkah meninggalkan Evano yang mulai menangis. Riki hanya ingin laki-laki itu tahu bahwa memahami diri sendiri dan terbuka dengan orang lain itu perlu, sangat perlu. Seperti kata-katanya yang selalu memaksa Riki untuk bercerita, seperti ucapannya yang selalu berkata, "Meskipun lo laki-laki Rik, lo harus tahu kalau hati manusia itu nggak mandang gender. Kalau lo nggak kuat ya ngomong cerita sama gue, ada apa ? Gue nggak keberatan seandainya lo ngajak cerita gue sampe subuh. Karena yang terpenting di sini, di hati lo udah nggak ada beban yang sering bikin lo diem ngelamun kaya orang punya utang."

Pertengkaran itu berakhir menjadi dingin, pada akhirnya Riki tidak memulangkan diri ke Kencana Putra untuk beberapa hari dan pulang saat Sandy menghubunginya karena Evano sakit.

Lebih dari itu Riki menghindar sebab ia tak lebih dari benalu untuk Evano, mengutuki diri sendiri. Apa yang mampu ia lakukan saat Evano-Orang yang sudah ia anggap seperti saudara sendiri-jelas-jelas sedang sekarat dengan hidupnya sendiri ? Tidak ada.

Sayangnya sebelum Evano sembuh, Riki harus pergi untuk menandatangi Kontrak dengan agency Elite model singapore, seperti impiannya. Bahkan Riki belum meminta maaf atas sikap kurang ajarnya yang membentak Evano di Rooftop tempo hari.

Hubungan pertemanan itu seolah menjadi kacau. Seminggu setelahnya Riki berniat untuk pulang, sekedar untuk meminta maaf dan merayakan ulang tahunnya yang ke 18 tahun bersama anak Kencana Putra, tepat 2 hari lagi.

Pada bulan Mei yang saat itu di guyur hujan. Riki memulangkan dirinya pada tengah malam yang dingin.

Pukul 12 malam lebih 10 menit, di tatapnya ponsel yang menunjukkan beranda chat dirinya dan Evano. Biasanya laki-laki itu belum tidur jam segini sekedar untuk scroll sosmed, tapi last seen Evano menunjukkan kalau terakhir ia membuka WhatsApp adalah siang tadi.

8 Pintu Untuk Arkana | Zerobaseone ✔️Onde histórias criam vida. Descubra agora