Semangkuk Soto & Cerita Dari Bapak Darsono

416 71 34
                                    

Semalam Arka bermimpi.
Mimpi yang seperti mimpi-mimpi sebelumnya, mimpi bertemu Evano.

Sayangnya kali ini mimpi itu begitu semu, yang Arka ingat hanya langkah kakinya dan Evano yang berjalan dengan gerakan sama. Tidak ada pembicaraan yang pasti, hanya ada rangkulan hangat di pundaknya beberapa detik. Sebelum akhirnya mereka sampai di sebuah ujung jalan, sekeliling nya beberapa bangunan Eropa klasik Arka tahu tempat ini, tapi Evano menghentikannya untuk duduk di sebuah bangku taman.

"Soto nya enak, gue pengen makan deh."

Ucapan yang praktis membuat Arka menoleh pada objek yang di tunjuk Evano, di sana tepat 50 meter dari tempatnya duduk Arka melihat sebuah gerobak kuning dengan bapak penjual yang duduk sembari mengelap keringat.

"Lo harus cobain."

Lo harus cobain. Adalah kalimat yang mampu membawa Arka ke sini ke tempat penjual soto bernama Bapak Darsono, di depan Gereja Immanuel samping Spiegel Bar bersama dengan Sandy dan Wahyu.

Awalnya ia ingin mengajak Riki atau Daniel untuk kesini tapi karena Riki sibuk dengan kegiatan dan padatnya jadwal kuliah sebab ia sempat tertinggal materi beberapa waktu lalu, jadi Arka mengurungkan ajakannya juga Daniel yang harus selalu rajin ke kampus karena semalam ia mendengar Daniel marah-marah mengeluh soal tugas kuliah yang katanya Laknatullah itu.

Maka atas pertimbangan panjang akhirnya ia memilih Sandy dan Wahyu untuk menemaninya.

"Lo udah pernah ke sini kan, mas ?" Arka bersuara sembari menyamakan langkahnya dengan langkah kaki Sandy. Pagi hari yang ramai pengunjung, tapi cukup untuk membuat perasaan Arka membaik sebab jujur rasanya ia begitu resah.

"Sering lah." Sandy lantas merangkul pundak Arka. Anak itu kelihatan tidak nyaman sedari pagi, bahkan Sandy mendapati Arka subuh-subuh bolak balik kamar mandi tanpa tujuan pasti membuat Daniel marah-marah karena sesi semedinya di kamar mandi setiap pagi jadi terganggu.

"Yu, lo tumbenan hari ini nggak lembur ?" Wahyu yang merasa di ajak bicara mendongakkan kepala, lantas menyimpan ponselnya ke dalam saku sebelum bersuara, "emang ambil cuti aja, Mas, jatah cuti gue masih banyak kalo nggak di ambil sayang haha, sekali kali nggak disiplin boleh lah."

"Enak ya kalau jadi gede udah kerja kaya Mas Wahyu."

"Gundulmu enak." dengan semena-mena Wahyu menempeleng kepala Arka.
Enak dari mana sih ? Jadi budak atasan dengan makian setiap hari, meminta jatah lembur pada karyawan sesukanya. Iya memang tidak gratis, tapi setidaknya tidak perlu semena-mena sampai berteriak bodoh pada bawahan yang di marah-marahi sebab tidak tahu letak kesalahannya di mana. Atau mendesak agar para karyawan menyelesaikan pekerjaan secepat mungkin tanpa melihat deadline yang sudah di tentukan. Enaknya sih pas gajian doang, serius.

"Emang nggak enak ?"

"Nggak." Sandy dan Wahyu menjawab bersamaan.

"Mas Sandy emangnya udah kerja, kok tahu ?"

"Loh gimana sih ? Udah berapa lama lo di Kencana Putra sampe nggak tau gue kerja ?" Lalu Arka menimang sudah berapa lama ya ? Tidak tahu ia malas menghitung.

"Mas Sandy selingan kerja jadi managernya Mas Juna di Koopman anjay. Kalau lo nanya siapa yang paling pusing ngatur Cafe nah jawabannya ya Mas Sandy, Ka. Mas Juna mah tinggal ngitung duitnya yaampun sambil tiduran, bengkel milik dia juga di pegang bawahannya. Kalau jadi dewasa itu enak ada tuh contohnya Mas Juna tapi ya harus di hajar realita dulu yang pahitnya kaya biji mahoni."

Arka hanya manggut-manggut sembari berdecak kagum dengan seseorang yang tengah merangkulnya ini. "Kalau Bang Evano di sini pernah kerja nggak, mas ?"

"Eum, Pernah." Sandy menjawabnya, pandangannya terarah pada Arka, "Dulu pas awal-awal Mas Juna bangun bengkel motor. Evano sama Rendra jadi karyawannya dia. Padahal Evano juga tajir tuh, tapi mau-mau aja di budakin Mas Juna. Kalau Rendra yah gimana ya jelasinnya, sama-sama orang kaya bedanya nggak mau nerima harta mak bapaknya."

8 Pintu Untuk Arkana | Zerobaseone ✔️Where stories live. Discover now