Ratapan Diri Dini Hari

391 74 18
                                    

"Kadang bang, kita tahu kalau kita lagi mimpi. Karena kita sadar kita lagi mimpi jadi kita nggak pengen bangun. Iya, kaya gue sekarang..."


_____________________
Evano hanya laki-laki biasa. Tidak pernah dalam hidupnya bermimpi terlalu tinggi, ia hanya punya impian ingin berkuliah agar memiliki foto keluarga dengan barisan lengkap saat wisuda nanti. Ia juga hanya ingin menjadi orang yang banyak memiliki relasi dan dikenal banyak orang sebagai Evano yang baik agar mama tidak perlu susah-susah untuk memperkenalkan dirinya pada teman-teman arisan mama.

Ia tidak ingin banyak harta seperti yang orang-orang impikan sebab rasanya ia tidak sanggup untuk sekedar menghitung berjuta-juta kekayaan.

Ia hanya ingin hidup seperti orang-orang pada umumnya, bangun tidur pagi hari, meminum teh dan sarapan nasi goreng. Bersekolah dengan sedikit berandal tanpa perlu memikirkan berapa nilai yang harus ia capai hari ini.

Sebab hidup yang sederhana seperti itu saja sangat susah ia dapatkan. Apalagi hidup dengan kekayaan dan kenyamanan ? Seolah seperti menggapai matahari, mustahil.

"Mama mau nya apa si ?" Evano menatap mama dengan dada yang bergemuruh, gejolak rasa marah sudah mati-matian ia tahan. Ia bersumpah tidak ingin membuat keributan dengan mama, ia baru saja pulang ke rumah meninggalkan Kencana Putra untuk seminggu kedepan, mengurai rindu yang sudah ia tahan selama 3 bulan lamanya.

Sembari menggendong adik kecil Evano yang baru berusia 5 bulan mama menatap Evano tak kalah nyalang, "Kamu yang kenapa, Van. Ngapain kamu pulang ? Bikin mama malu, YaAllah Vano mama capek lihat kamu males gini. Ini apa sampe dapet nilai 60." lalu lembar ulangan geografi itu mama lemparkan pada Evano.

Padahal Evano begitu mati-matian mendapatkan nilai itu, bahkan ia sampai tidak tidur hingga jam 5 subuh karena takut apa yang ada di dalam kepalanya menghilang. Tapi semua seolah sia-sia.

Mama masih tidak puas dengan pencapaian itu.

"Mama sayang aku nggak sih ?" Evano tidak pernah tahu kalau pertanyaan sederhana ini mampu membuat mama berkaca-kaca. Pandangan mama seolah terluka dan Evano benar-benar mengutuki dirinya sendiri, sekarang ia terlihat seperti anak durhaka atau mungkin sudah.

"Mama nggak pernah bangunin aku, mama nggak pernah sekedar muji aku. Mama nggak pernah tahu kalau aku kesulitan. Aku tau ma, aku tau kalau aku laki-laki tapi aku juga butuh perhatian mama."

"Mama sukanya nuntut nuntut nuntut. Evano juga punya rasa capek ma!"

"Kamu pikir mama nggak capek, Vano ? Ngurus adik kamu, ngurus papa kamu, kamu udah gede Vano harusnya kamu mikir!"

"Ini bukan lagi soal sayang Evano tapi ini tanggung jawab orang tua. Buat apa mama ngebesarin kamu kalau mama nggak sayang, buat apaaa." dan mama sudah menangis sembari mendekap adik Evano.

Dan selalu, setiap mama mengagungkan posisinya sebagai ibu, Evano tidak mampu lagi untuk sekedar membantah. Ia hanya seorang anak, jasanya teramat kecil dibandingkan mama. Ia terlalu serakah meminta perhatian lebih padahal di lahirkan saja rasanya sudah cukup bersyukur. Tapi apakah benar ia sendiri yang meminta untuk di lahirkan ? Evano tidak tahu, Evano tidak menemukan jawaban apa-apa.

Ia juga sangat lelah karena setiap kepulangannya hanya akan membawa pertengkaran memuakkan. Selalu saja seperti itu sejak dulu.

"Sehari aja ma, aku pengen punya waktu buat ngobrol berdua. Aku pengen nanya sama semua hal yang aku nggak tau sama mama. Biar aku tahu kalau aku punya mama kandung. Kenapa harus selalu Tante Santy yang jawab semua kesulitanku ? Tante Santy punya Arka, Ma, bukan punya aku. Aku anak mama tapi kenapa rasanya kaya aku orang lain ? Mama sibuk sama adik-adik. Aku nggak suka, ma, aku..." sesak itu semakin menjadi saat melihat mama menatapnya dengan nanar, lalu ia menepuk dadanya sendiri berharap sesak itu hilang, "aku takut benci sama mama..."

8 Pintu Untuk Arkana | Zerobaseone ✔️Onde histórias criam vida. Descubra agora