CHAPTER 2: MAHLIGAI CINTA KITA

137 6 0
                                    


"Saya terima nikah dan kawinnya Asmara Wibisana binti Sultan Wibisana, dengan mas kawin seperangkat alat sholat, sebuah rumah dan perhiasan emas seberat sepuluh gram di bayar tunai." Aku ucapkan dengan lantang sebagai tanda terima akad pernikahan ku dan Asmara, dengan segenap jiwa raga.

"Sah?" tanya Bapak penghulu.

"Sah," jawab kedua saksi yang mengiringi pernikahan kami.

"Alhamdulillah," ucap Pak penghulu di ikuti oleh diriku.

Doa-doa di panjatkan bersamaan dengan rasa lega dan bahagia, setelah akad nikah ini di nyatakan sah. Rasa gugup dan canggung ku terbang sudah, bersamaan dengan tercetus nya kata sah.

Setelah doa selesai, aku lihat ke sisi kanan. Istriku ada disana, iya dia istri ku, dia Asmara-ku. Terlihat kedua pengiring membimbing Asmara berdiri dan berjalan ke arahku. Tanpa melepaskan pandang sedikitpun, aku menatapnya dengan puja-puji penuh doa dan rasa syukur. Sebab tuhan begitu indah menata takdir kami, hingga di persatukan hari ini.

Cantiknya istriku semakin jelas terlihat saat dia sudah duduk di hadapan ku. Dengan balutan gamis putih, kerudung putih dan polesan make up sederhana. Paras nya begitu indah bak kurnia tuhan yang paling sempurna, sehingga tak bosan untuk ku puja.

Kami saling menyematkan cincin pernikahan di jari manis masing-masing, dengan senyuman bahagia aku sematkan cincin itu di jari manis tangan kiri Asmara.

Dia raih tangan kananku perlahan-lahan, sambil melirik dengan malu-malu. Aku pun tersenyum saat Asmara mencium punggung tangan ku beberapa lama, sejenak aku pejamkan mata membacakan doa memohon segala kebaikan untuk pernikahan kami.

Setelah Asmara mengangkat kepalanya, aku pun mencium kening gadis itu dengan lembut. Penuh cinta kasih yang tak terhingga, berharap dia dapat merasakan kasihku melalui ciuman itu. Karena aku masih canggung ingin memberitahu, bahwa aku mencintainya.

Pagi itu tepat pukul sembilan lewat dua puluh, aku ingat. Akad nikah kami terlaksana di Masjid agung Tevaga. Setelah akad nikah, siang hingga ke petang. Kami melaksanakan resepsi pernikahan secara langsung, tanpa berselang. Sebab setelah ini, aku berencana ingin memboyong Asmara ke rumah baru kami di pinggir kota. Untuk beristirahat sejenak dan memadu cinta, dengan ketenangan yang tercipta dari penguasa semesta.

Sore ini, Asmara-ku begitu indah dengan balutan baju kurung melayu dan bertudung kan selendang kuning menutupi kepalanya. Riasan wajahnya lebih cerah daripada tadi pagi, memperlihatkan warna kemerah-merahan di wajah cantik itu serta bulu mata lentik yang memikat hati, tapi aku rasa itu asli, sebab aku memperhatikan nya pada malam pertemuan kami.

Aku sendiri memakai Baju Melayu, dengan balutan kain songket yang melilit pinggang dengan batas di bawah lutut. Aku juga memakai tanjak yang melingkar di kepala ku, bak pangeran dari tanah Melayu. Warna pakaian kami begitu serasi berwarna kuning, melambangkan harapan, kekuatan dan keagungan.

Tamu tamu yang berdatangan cukup banyak, semuanya dari pihak keluarga Asmara. Aku sendiri hanya di temani paman dan bibi ku saja, sebab ayah dan bunda ku sudah berpulang lama.

Selebihnya keluarga ku ada di Mexolar dan tidak bisa datang, karena katanya pernikahan ku terlalu tiba-tiba, jadi mereka tidak bisa hadir. Bukan masalah bagi ku, sebab yang terpenting bukanlah tamu ataupun rangkai pesta ini. Yang terpenting adalah, hakikat sejati pernikahan kami.

Aku dan Asmara menyambut ucapan selamat dari para tamu undangan dengan ramah dan sopan, sembari tersenyum hangat dan berterimakasih atas kehadiran mereka. Tapi sesekali ku lirik Asmara yang berdiri disisi ku, terlihat dia yang membisu dengan raut wajah kaku.

Ku pikir, seperti nya dia sudah lelah. Ku ambil kesempatan, saat tamu sudah mulai lengang. Aku menepi hingga lengan kami bersentuhan, Asmara tak bergeser sama sekali. Dia hanya menatap ku dengan mata membulat tanda bertanya.

98's 2: AZAM UNTUK ASMARA {END} ✓Where stories live. Discover now