CHAPTER 8: BINTANG ASMARA

68 7 0
                                    


Mataku terpejam dengan damai, merasakan sentuhan tangan lentik Asmara meraba wajah ku. Mulai dari kening, hidung, pipi, hingga rahang. Dia yang kini berada di dalam dekapan ku, saat kami sama-sama berbaring di tempat tidur menghadap langit-langit kamar.

Saat ku buka mata ini, objek pertama yang aku lihat adalah wajah cantik yang tersenyum menatapku. Aku memang tidak tidur sejak tadi, hanya berbaring saja. Tiba-tiba Asmara datang dan mendekap tubuhku lagi, setelah tadi sore dia enggan melepaskan tautan kami. Sekarang saatnya aku menebus janji, untuk memeluk nya malam ini.

"Apa kamu begitu menyukai wajahku ini?" tanya ku sembari tersenyum tipis.

Asmara mengangguk perlahan. "Wajahmu indah, Zam. Seperti patung yang di pahat dengan sangat hati-hati," ucap Asmara. Tatapan nya masih meneliti wajah ku dengan begitu memuja, membuat ku sedikit tergoda dan merona.

Aku tertawa menanggapi kalimatnya itu, entah itu rayuan atau gombalan semata. Aku pun tidak tau, yang jelas aku bahagia mendengarnya, Asmara memuja ku sama hal nya diriku memuja dirinya.

"Kamu juga indah, sayangku." Aku mencium kening istriku lembut.

"Apanya?"

"Semuanya," sahutku sambil menyisir lembut surai halus Asmara. Ku tundukkan kepala, menatap wajah ayu istriku yang tak pernah bosan aku agungkan dan aku syukuri pada Sang pencipta. "Semua yang ada pada kamu, aku suka. Aku suka matamu, hidung mu apalagi... bibirmu."

Dengan perlahan ku sentuh ujung dagu istri ku, demi mencuri satu kecupan singkat disana. Ah, manis sekali. Asmara tersenyum menampilkan deretan giginya yang rapi, lalu dia membalas mencium pipi ku -sedikit menyerempet ke hidung. Agaknya dia menyukai hidung mancung ku ini.

"Sayang...." panggil ku lembut.

"Hmmm?"

"Mau menghitung bintang bersamaku?" tawarku sembari melemparkan pandangan ke langit malam, yang terlihat melalui jendela kamar kami yang terbuka tirai nya.

Asmara melirik ke jendela, mengikuti arah pandangku. Lalu dia kembali menyembunyikan wajahnya di dadaku. "Tidak mau, Zam. Aku takut langit ungu, nanti ada petir seperti dulu lagi."

Tangan ku terulur membelai kepala nya. "Tidak ada, sayang. Lihatlah, langit nya begitu cerah? Tidak mendung seperti dulu, bagaimana bisa ada petir?" bujukku padanya.

Asmara tidak merespon, dia malah semakin menenggelamkan wajahnya di dadaku. Aku menghela nafas singkat, sambil terus memberikan usapan lembut pada istriku.

"Asmara... dengarkan aku," bisikku perlahan sembari ia mendekap tubuh ini. "Kamu harus berani, ya? Tidak boleh takut lagi, kalau nanti aku tidak ada. Kamu harus hadapi semua nya dengan berani," kataku spontan.

Sontak, Asmara langsung mengangkat wajahnya menatap ku yang menerawang angkasa. "Memangnya kamu mau kemana? Kamu kan tidak akan kemana-mana."

"Maksudku kalau aku sedang berada di Mexolar, Sayang." Aku terkekeh melihat raut wajah cemberut wanitaku ini, dia pasti akan marah sebentar lagi jika aku berkata akan pergi.

Asmara mendengus kecil, lalu bersandar lagi di dadaku. Tapi aku perlahan merubah posisinya, yang tadi nya miring menghadap padaku. Kini menjadi terlentang di atas tubuhku, menyandarkan tubuh ramping ini di dalam dekapan.

Membiarkan diriku menjadi kasur empuk bagi Asmara-ku. Lalu perlahan aku arahkan dia untuk menatap langit yang malam itu sedang cerah. Mau tak mau, Asmara pun terpaksa melihat langit itu.

"Lihat, Mara. Langit nya indah, apa kamu masih takut?" ucapku sambil menunjuk langit malam yang biru.

Asmara diam, menyelami bentangan biru bertabur bintang yang terhampar di hadapan kami. Menjadi saksi romansa aku dan Asmara-ku.

"Iya, indah." Suara rendah Asmara terdengar mengalun memuji langit itu.

Senyuman terlukis di wajahku, Aku raih tangan kanannya dan aku arahkan untuk menunjuk puluhan bintang di atas sana, kemudian mulai menghitung nya secara berurutan.

"Sekarang, ayo pilih. Bintang mu yang mana?" titahku setelah kami selesai menghitung bintang itu. "Bintang ku yang itu." Aku menunjuk salah satu bintang di bagian tenggara yang bersinar terang.

Asmara belum memberikan jawaban, dia masih mencari-cari, mana bintang yang akan dia jadikan milik nya.

"Hmmm, bintangku...." Wanita itu berfikir keras, sebab bintang di atas sana semuanya bersinar terang.

Aku menunggu dengan tenang, sembari memainkan kedua pipi istri ku yang lembut. Namun tiba-tiba dia berbalik dan mengubah posisinya menjadi terlungkup, masih di atas tubuhku.

"Ini bintang ku," sambungnya seraya menyentuh ujung hidung mancung ku dengan telunjuknya.

Tawa kecil keluar dari mulut ku, karena gemas dengan tingkah Asmara-ku ini. Aku dekap lagi tubuhnya dengan hangat dan aku cium puncak kepala nya.

"Benarkah begitu?" pancingku.

"Tentu saja benar. Kamu adalah bintang di hati ku dan juga bintang di hati peminat mu," jawabnya dengan riang.

"Dan kamu adalah bunga hatiku, sayang," balasku sambil menatap dirinya yang tersenyum di dadaku.

Di ulurkan nya jemari lentik itu, kembali meraba wajah ku sambil meneliti dengan tatapan puja-puji. Membuat ku terhenyak menyelami makna dari tatap mata Asmara.

Dia begitu memuja dan mengagumi ku. Apakah jika segala cela ku terlihat, dia akan tetap menyukai ku seperti ini? Oh, Tuhan... tak sanggup rasanya jika aku harus di tinggalkan dalam keterpurukan oleh seseorang yang aku cinta.

"Mara...."

"Hmmm?"

"Jika bintang mu ini tak bersinar lagi, apa kamu masih mencintai ku?" tanyaku bimbang.

Aku lihat di wajah Asmara, malah senyuman tulus yang dia suguhkan. Jemari itu masih terus membelai lembut wajah ku, menggelitik pipi hingga rahang tegas ku.

"Seredup apapun sinar nya, bintang akan tetap menjadi bintang bagi langit malam yang kelam. Sekalipun bintang menghilang dari pandangan, keberadaan nya tetap membekas dalam mata setiap insan." Kalimat penuh rima, bak sajak sang pujangga itu terlontar dari mulut Asmara. Ah, dia sangat pandai merangkai kata.

Sehingga mampu melegakan hatiku yang penuh kebimbangan. Senyuman tulus yang sama pun terbit di wajah ku, aku kecup kening istriku dalam. Menyematkan cinta dan ketulusan, seagung dan semulia nya sang maha cinta. Aku sebagai hambanya pun menyerukan cinta yang luar biasa, suci dalam ikatan pernikahan mulia kami.

"Aku mencintaimu, Asmara-ku." Kembali aku lafadz kan kalimat yang tak pernah absen aku kelukan pada dirinya.

"Aku juga mencintaimu, Zam," balas Asmara yang kembali menyembunyikan diri dalam dekapan ku.

Membenamkan tubuh nya, agar tenggelam dalam samudera cinta. Terlena dengan pesona dan gairah ketulusan, membawa kami ke alam mimpi yang sunyi. Mengikut kebahagiaan yang di takdir kan Tuhan.

****

98's 2: AZAM UNTUK ASMARA {END} ✓Where stories live. Discover now