CHAPTER 4: AWAL GERIMIS MENGUNDANG

104 6 0
                                    

"Tentu saja itu tidak penting, kamu tau yang lebih penting apa? Aku sakit, Zam! Perut ku sakit luar biasa tadi siang. Aku lelah, sungguh. Aku tidak punya waktu dan tenaga lagi meladeni pertanyaan tidak penting mu itu."

"Asal kau tau, aku hanya sekedar di antar pulang oleh Awan. Tidak lebih dari itu! Jangan pernah kau berfikir aku bermain belakang, karena aku tidak semurah itu, Tuan Azam."

"Kalau kau tidak suka dengan tindakan ku, atau menganggap ku murah. Kau boleh menjatuhkan talak kapanpun kau mau, pisah pun tidak masalah."

Bagai di timpa batu besar, remuk redam rasanya hati mendengar kalimat yang baru saja terlontar dari mulut Asmara. Rasa sakit hati ku karena cemburu kini menciut malu, sebab fakta bahwa istriku tak bermaksud menduakan cinta ku. Dia sakit, dan yang lebih bodohnya adalah aku tidak tau bahwa Asmara-ku sedang sakit.

Aku malah menanyakan hal yang membuat nya semakin mual dan memantik kobaran amarah pada diri Istriku, Maafkan aku Mara. Tapi rasa sakit hati ku tak surut juga, sebab kalimat yang kamu lontarkan mengoyak segenap hati dan jiwa yang aku suguhkan dengan mulia pada pernikahan kita.

Kenapa begitu mudahnya kalimat itu terlontar dari bibirmu, sayang? Tidakkah kamu tau bahwa aku begitu mencintaimu? Apakah kalimat cinta yang kamu ucapkan kemarin hanya gurauan belaka? Atau aku yang terlalu naif memercayai nya? Oh Asmara, kalimat mu begitu menusuk kalbu membuat genangan darah dalam sanubari ku.

Salah aku juga, sebab memancing perkara tanpa bertanya keadaan sebenarnya. Iya, salahku. Asmara tak bersalah, semua ini karena ku yang tak mampu menahan cemburu. Aku yakin, kalimat tadi hanya bercanda, tidak serius dia katakan dengan segenap jiwa. Karena itu aku tinggalkan Asmara sebentar, untuk melepaskan sesak di dada dan memberikan ruang padanya agar menyadari kata yang dia lontarkan.

Gerimis di mata ku mengundang tangis, muntahkan keluh kesah ku dalam lagu yang akan aku curah kan atas dasar kepedihan hati ini. Tapi bukan untuk menghakimi Asmara-ku. Melainkan untuk menjadi pengingat, betapa menyakitkan nya kalimat itu. Agar tak ada lagi terlontar kalimat yang sama pada hari-hari berikutnya.

Ku petik gitar ku melantunkan irama yang pernah aku senandungkan di danau, saat aku dan Asmara duduk disana sembari menikmati tenangnya riak air dan segarnya udara petang.

"Ku sangkakan panas berpanjangan
Rupanya gerimis, rupanya gerimis
Mengundang, a-ha-ha-ah....
Dalam tak sedar ku kebasahan."

Masih sesak rasanya dada ini, memutar memori beberapa jam tadi. Ingin aku benturkan kepala ku ke mana saja, agar kilasan kata itu tak terngiang di telinga. Namun aku cegah, sebab aku takut bukannya kata itu yang hilang tapi memori ku tentang istri ku yang melayang.

Aku masih mencintainya, sangat mencintainya. Meskipun cambukan lisan beracun akan menghabisi ku habis-habisan, aku akan terima. Aku rela mati, asalkan bersama dengan Asmara.

"Bukan sekejap denganmu
Bukan mainan hasratku.
Engkau pun tahu niatku
Tulus dan suci....
Senang benar kau ucapkan
Kau anggap itu suratan,
Sikit pun riak wajahmu
Tiada terkilan....
Hanya aku separuh nyawa
Menahan sebak di dada.
Sedangkan kau bersahaja
Berlalu tanpa kata."

Ku pejamkan mata ini, mengingat wajah marahnya saat melontarkan kalimat laknat tadi. Semakin aku ingat, semakin deras gerimis di mataku bercucuran. Memungkinkan membanjiri ruang tengah ini, jika tidak segera aku hentikan.

Bersamaan dengan itu, petikan gitar ku pun terhenti. Aku letakkan gitar itu ke atas meja kaca, lalu menghela nafas panjang sembari menyugar rambut ku ke belakang. Baru satu jam aku meninggalkan Asmara, tapi sudah rindu sekali rasanya. Aku mencoba mengabaikan rasa rindu itu, namun aku tak kuasa sebab rasanya kian menyiksa.

Lantas aku berdiri dan memberanikan diri melangkah ke kamar, walaupun aku sudah bertekad untuk memberikan ruang pada Asmara untuk beristirahat. Tapi aku tak bisa, sebab sungguh rindu ini menyiksa jiwa.

Ku buka pintu kamar itu perlahan-lahan dan masuk ke dalamnya, namun tak ku temukan keberadaan Asmara di setiap sudut kamar. Padahal sudah pukul sebelas malam, seharusnya dia sudah tidur sekarang. Aku pun berjalan ke arah ruang kerjanya yang masih sedikit terbuka, semenjak aku tinggalkan. Dan benar saja, Asmara-ku masih ada disana, dia tertidur dengan posisi duduk dan kepala tertelungkup di atas meja.

Iba hatiku melihat istriku seperti itu, dia terlihat sangat kelelahan. Seketika rasa bersalah menyeruak dalam benak, atas apa yang terjadi tadi benar-benar mencabik hati kami berdua ternyata. Hampir hampir aku menjatuhkan air mata lagi, menatap betapa kasihan nya istriku.

Segera aku hampir Asmara yang tertidur di atas meja kerjanya, lalu perlahan aku rengkuh tubuh ramping itu dan aku bawa di kedua lengan ku, untuk di pindahkan ke tempat tidur kami. Aku letakan dengan sangat hati-hati. Asmara tak menyadari kepindahannya itu, dia hanya menggeliat perlahan tapi cepat-cepat aku belai kepalanya agar dia kembali terlelap.

"Syutt.... tidurlah, sayang. Harimu pasti melelahkan, Maafkan aku. Istriku," bisik ku mendayu seraya mengecup kening Asmara penuh rasa.

Asmara pun kembali memejamkan mata saat aku usap rambut nya, mengantarkan nya pada istana mimpi yang dia damba. Sambil menghaturkan doa, semoga begitu dia bangun hubungan kami segera membaik seperti semula.

Deg!

Aku terdiam, membeku sesaat merasakan sesuatu yang mengganjal di tenggorokan ku. Aku melirik ke arah Asmara yang masih memejamkan mata, dengan menahan diri sekuat tenaga. Aku selimuti tubuh Istriku dengan cepat lalu berlari keluar kamar. Sesampainya di luar kamar baru aku suarakan segala rasa sakit ku, aku terbatuk beberapa kali dengan kencang.

Ku tekan dada ku sedikit dalam, sebab rasa sesak nya kian menyiksa. Aku berjalan terseok-seok menuruni tangga, menuju dapur demi mendapatkan segelas air putih, untuk melegakan tenggorokan yang kian meronta kesakitan. Segera aku tenggak air itu beberapa tegukan, lalu menetralkan sesak di dada.

Nafasku masih tersengal, seperti habis berlari dari jarak puluhan kilometer, padahal aku hanya berlari dari kamar kemari. Ku lemparkan pandangan ku ke pintu kamar kami yang berada di atas, lalu memejamkan mata lega. Untung saja sesak ini datang kala Asmara sedang terlelap, jika tidak bisa berbahaya nantinya. Dia bisa khawatir dan bertanya. Tidak, aku belum siap mengatakan fakta yang sebenarnya pada Asrama.

Maafkan aku, sayang.

Setelah di rasa diri sudah normal, aku kembali ke ruang tengah dan beristirahat disana. Merebahkan diri dengan nyaman di sofa sembari memejamkan mata, biarlah malam ini aku beristirahat disini saja. Biar Asmara-ku tenang dulu hatinya. Besok setelah mentari bersinar lagi, barulah aku menumpahkan segala rasa rindu ini padanya.

****

98's 2: AZAM UNTUK ASMARA {END} ✓Where stories live. Discover now