CHAPTER 15: MARWAH CINTA

51 5 0
                                    

Tinta hitam aku torehkan di atas kertas putih tanpa noda, namun kini berceceran sudah aksara ku disana. Meskipun tangan ini bergetar, tetap aku lanjutkan curahan hati ku menggunakan kata-kata, yang tak mampu aku ungkapkan dengan suara.

Kelu rasanya lidah ini, untuk sekedar menyampaikan bimbang hati dan prediksi di kemudian hari. Takut takut kalimat ku kembali menggores hati istriku, seperti beberapa hari lalu. Jadi aku putuskan untuk mencurahkan nya dalam tulisan, berharap suatu hari nanti Asmara menemukan kertas berisi surat yang aku buat dengan tetesan tinta duka.

Surat berisikan pernyataan cinta, permohonan pengampunan atas dosa yang aku bubuhkan pada kehidupan. Serta izin untuk Asmara-ku mencari sesuatu yang baru, yang mungkin dia butuhkan nanti.

Berdenyut ngilu dada ini kala menuliskan kalimat itu, kalimat penuh keikhlasan dan rasa bersalah yang teramat dalam. Namun tetap aku tegar kan nurani demi keberlangsungan hidup istriku.

"Aku tau, tidak mudah bagimu untuk hidup sendirian di dunia yang kejam. Maka dari itu, dalam surat ini aku katakan. Jika memang kamu membutuhkan seseorang untuk sandaran, maka carilah seseorang itu, Mara. Carilah seseorang yang bisa melegakan lara dan menghapus luka. Aku Ridha, aku rela, Istriku."

"Aku tau, aku tak boleh egois meminta mu untuk bertahan sendirian, menggenggam cinta kita yang begitu menyedihkan. Sebab kamu sudah ikhlas melepas kepergian ku, sebagai gantinya. Aku juga ikhlas jika ada seseorang yang menggantikan posisi ku."

Begitulah kalimat yang aku tuliskan dalam surat ku, sangat menyakitkan memang. Hingga tak sadar, setitik air mata mengalir di wajahku dan jatuh membasahi tepian kertas itu.

Aku menghela nafas, memaki diri. Betapa ceroboh nya aku, sehingga bisa menjatuhkan jejak air mata disana. Jika Asmara melihat dia pasti akan langsung tau, bahwa aku tersakiti dengan kalimat ku sendiri.

Maafkan aku, Asmara. Aku mencintaimu, walaupun aku berkata rela, tapi hati ini sungguh menderita.

Aku lanjut kan menulis surat itu dengan segenap tenaga yang aku punya, meskipun sesekali terbatuk ringan. Tapi aku tetap menahan, sebab surat ini harus segera aku selesaikan. Sebelum Asmara selesai dengan pekerjaannya dan kembali ke ruang tengah ini.

Entahlah. Suatu perasaan yang kuat, mendorong ku untuk membuat surat penitipan pesan ini untuk istriku. Bak firasat semu yang mengirimkan bocoran bahwa waktu ku teramat singkat, sehingga aku harus membuat sebuah wasiat.

Terakhir, aku sematkan sebuah fakta tentang lagu ku yang berjudul Syair si pari pari. Aku sampaikan dengan lantang, bahwa lagu itu adalah milik Asmara-ku. Tentang dirinya, sang penyair di bawah langit ungu yang menari dalam pikiran ku. Menyulam rindu dan menggamit pilu.

Selesai sudah surat cinta ku untuk Asmara. Segera aku simpan surat itu di bawah meja kaca, yang terdapat sebuah kayu penyangga. Aku letakan surat itu disana, lalu aku riah gitar ku yang tadi aku abaikan di atas meja. Aku petik senarnya memainkan lagu ballad lama, yang berjudul kita terpaksa bermusuhan.

"Malam ini janggal kurasakan
Sendiri melalui detik yang sedih
Perih sekali
Pertama kali bagiku
Hitung bintang seorang diri
Dan pertama kali jua
Maruah ini dipersenda
Oleh insan yang kucinta
Oleh insan yang kusayang
Kini bermusuhan"

Pintu kamar ku terbuka, keluarlah sosok Dewi pembawa cinta ku dari sana. Seperti nya dia mendengar senandung ku ini, lantas dia tergerak untuk menghampiri.

"Jika kuimbas kisah lama
Semuanya indah semua
Pernah jua kau menangis
Bila aku mendugamu
Kuatnya kasihmu pada aku
Di ketika itu
Sayang seribu kali sayang
Akhirnya kecundang jua
Kasih yang lama terjalin
Mudah sungguh kasihmu berpaling"

98's 2: AZAM UNTUK ASMARA {END} ✓Where stories live. Discover now