CHAPTER 6: SYAIR SI PARI PARI

80 5 0
                                    


"Lara... kian parah merusuh dada
Terpintas litar ku terasa
Sepi... nyaring menjerit dan membingit
Lenyap damai tanpamu
Masa... tersimpul di alam yang kelam
Olak-alik arah tujunya
Hanya... hanya zahirmu yang kan bisa
Meleraikan segalanya"

Aku lantunkan lirik lagu ku yang berjudul Syair si pari pari. Lagu yang aku ciptakan atas perwujudan sosok Asmara-ku. Gadis belia penyuka pelita, yang takut pada langit ungu. Gadis yang mencetuskan syair singkat tentang langit biru kesukaan nya, Dialah istriku. Asmara-ku yang teramat aku cinta.

"Di bawah sinaran ungu
Kau persembahkan syairmu untukku
Gemalai tarimu bagai
Sang pari-pari turun ke bumi"

Sambil memangku gitar, aku duduk di pinggir bar. Menyanyikan senandung puja itu, untuk mengiringi kegiatan memasak Asmara yang tengah menyiapkan makan malam kami. Berharap dia sadar, bahwa lagu ini tentang dirinya.

"Menjelmalah kau dari maya
Hiburkanlah hatiku gundah
Jangan biarkan aku... keliru
Memburu... dirimu"

Aku lihat istriku sesekali melirik malu, sambil menggelengkan kepalanya tersenyum sipu. Senyuman itu menular pula pada ku. Saat aku kedipkan mata padanya, dia tertawa mencoba mengalihkan perhatian.

"Masih berlegar di antara mimpi
Bagai nyata kau hadir dan bersenda
Telah kuhulurkan kasihku padamu
Tak kau genggam jiwaku yang tercengkam
Aku yang tersiksa
Dan menanti...."

"Sudahi nyanyian mu, Abang Zam. Sekarang waktunya makan. Ayo," ucap Asmara setelah aku mengakhiri lagu ku. Dia menarik tangan ku ke arah meja makan untuk memulai makan malam bersama.

Kami pun makan bersama dengan nikmat, sambil bersenda gurau dan bermesra manja.

"Besok aku mulai jadwal perform lagi di Mexolar, sayang. Kamu aku tinggal tidak apa-apa kan?" tanya ku meminta pendapat Asmara.

Asmara yang sedang meneguk air putih pun menoleh, sembari mengangguk kecil. "Iya, aku tidak masalah. Tapi aku belum bisa ikut kesana, Zam. Maaf ya? Pekerjaan ku disini masih menumpuk sekali," ucap Asmara dengan raut bersalah.

"Tak apa, sayang. Aku mengerti, lagi pula aku tidak akan lama. Kamu jangan rindu ya?" godaku sembari tersenyum tipis.

Asmara tertawa sambil menggelengkan kepalanya. "Kamu yang akan rindu aku," balasnya.

"Iya benar," sahutku ikut tertawa. Ku tatap wajah cantik itu tanpa berkedip membuat Asmara juga melempar tatapan nya padaku. "Aku bahkan bisa bolak-balik Mexolar-Tevaga setiap hari demi melihat wajah ayu ini," ucap ku sembari mencubit pelan ujung dagu lancip Asmara-ku.

"Kamu bisa kelelahan jika seperti itu," kata Asmara seraya menggeleng kecil.

Aku tersenyum cerah, masih membelai lembut dagu istri ku. "Aku tak akan lelah, jika sudah melihat senyuman mu dan memeluk dirimu."

Asmara tersenyum malu, menyembunyikan wajahnya yang merah merona. Oh, menggemaskan nya istri ku. Makan malam kami telah selesai, terlihat Asmara ingin melarikan diri dariku. Tapi tak akan aku biarkan itu berlaku, saat dia berdiri aku tarik lengannya hingga dia jatuh terduduk di atas pangkuan ku.

Mata indah itu melebar sempurna, melotot menatap ku. "Zam?!" seru Asmara seraya mengedarkan pandangan, mungkin dia malu akan di lihat oleh para maid kami.

Aku tersenyum, masih memegangi lengan kirinya. Sementara tangan ku yang satu lagi, aku gunakan untuk merapikan anak rambut Asmara yang terjuntai ke hadapan, aku selipkan ke belakang daun telinga.

"Zam, nanti ada yang lihat," tegur Asmara dengan suara berbisik.

Wajah panik itu ketara dan menggemaskan sekali. "Memangnya kenapa, sayang? Kita kan sudah suami istri?"

"Ck, tapi tidak begini juga," keluh nya mencoba berdiri dari pangkuanku.

Tentu saja gerakannya itu aku tahan, ku lingkarkan lengan kanan ku di pinggang ramping nya. Terasa pas sekali, tak ada yang kurang, sangat sempurna.

Asmara terlihat menghela nafas, karena tak bisa gerak. Akhirnya dia hanya bisa bertumpu kedua tangan di pundakku.

Aku tersenyum sembari mengulurkan tangan ku ke perut ramping Asmara, lalu turun sedikit lagi. Asmara yang merasakan gerakan tangan ku itu hanya bisa diam, sambil menatap ku dengan ragu.

"Apa masih sakit, setelah semalam?" tanya ku pada nya.

"Hmmm... sedikit," jawab Asmara pelan.

"Mara, aku tadi baru baca majalah ilmiah dan aku menemukan satu fakta. Kamu mau tau?" pancing ku.

Asmara menaikan sepasang alisnya menatap ku. "Fakta apa?"

Tersenyum cerah, aku mendekat ke satu sisi wajah Asmara. Lalu berbisik di telinganya. "Katanya biar tidak sakit lagi, harus sering-sering di ulang."

Ku lihat Asmara memejamkan matanya, seperti sedang menahan diri karena bisikan serta sapuan nafasku di pipinya. Lalu tiba-tiba dia tertawa dan menepuk pelan pundak ku.

"Itu fakta, atau maunya kamu saja?" goda Asmara sambil tertawa.

Aku pun tersenyum malu, sembari menatap wajah Asmara yang sedang tertawa geli. Tak henti aku haturkan puji, pada ciptaan tuhan yang satu ini. Setelah tawa indah itu berhenti, kembali aku ulurkan tanganku membelai wajah ayunya.

"Bagaimana? Mau?" tanya ku pula sembari tersenyum dan mengangkat kedua alis bermaksud menggoda.

Asmara mengulum senyum, sambil menautkan kedua tangannya di pundakku. Raut wajahnya seperti sedang berfikir, sambil sesekali melirik ke arah ku yang berharap persetujuan nya.

Ku lihat Asmara seperti menahan tawa, lantas di menyeringai lebar. Lalu mencium pipi ku dan berkata, "Aku tunggu di kamar, ya?"

Setelah itu dia berdiri dan berjalan ke kamar kami, meninggalkan ku yang masih membeku. Tapi sedetik kemudian aku sadar, senyuman terbit di wajah ku. Aku pun segera berlari ke kamar dengan semangat membara.

Asmara-ku, aku datang, sayang.

****

JANGAN LUPA VOTE, COMMENT DAN FOLLOW YA, READER'S KU SAYANG?

98's 2: AZAM UNTUK ASMARA {END} ✓Where stories live. Discover now