CHAPTER 9: LENGGANA

61 5 0
                                    


Aku terbatuk beberapa kali, saat memasuki kamar. Ku edarkan pandangan mencari keberadaan Asmara, namun tak aku temukan. Seperti nya dia sedang di kamar mandi.

Aku pun berdiri di hadapan kaca, mematut diri. Merapikan pakaian ku, karena sebentar lagi aku akan bersiap kembali ke Mexolar, untuk Mempersiapkan Konser Gerimis mengundang.

Namun sialnya, batuk ku ini muncul sejak kemarin. Bahkan pagi ini sampai tak mau berhenti, aku jadi khawatir Asmara akan curiga dan melarang ku berangkat bekerja.

Pintu kamar mandi terbuka, Asmara keluar dari sana dengan balutan bathrobe putih dan rambut yang di sanggul agar tidak basah. Dia membuat kan mata melihat ku berdiri di hadapan kaca. Aku pun tersenyum menyapa istriku.

"Kamu mau kemana?" tanyanya dengan alis menukik, berjalan menghampiri ku.

Memilih mengabaikan pertanyaan itu dan menarik lengan Asmara, agar merapat padaku. Aku lingkar kan tangan ku di pinggang nya, sambil tersenyum menatap wajah segar Asmara yang baru selesai mandi.

"Bidadari ku sudah mandi? Apa kamu mandi dengan air suci, sayang? Sehingga kamu begitu bersinar menyilaukan mata." Ku tangkup wajah cantik itu dengan tangan kiri, sembari mengelus lembut pipi itu.

"Azam, jawab pertanyaan ku." Asmara menatap ku dengan tegas dan raut wajah serius. Tapi aku tetap tak perduli, aku masih gencar melancarkan rayuan ku padanya.

Sekarang, aku telusupkan wajahku di pundaknya. Menghirup aroma wangi yang menguar dari tubuh istriku, aroma bunga mawar yang semerbak hingga memenuhi sanubari. "Hhmmh.... Wangi mu begitu candu sayang," bisiku sembari menciumi tulang selangka Asmara yang menggoda.

Perlahan ciuman ku naik ke leher jenjangnya. Menenggelamkan wajahku di sana, menyapukan ujung hidung mancung ku dan mengecup leher putih bersih Asmara.

Asmara menghembuskan nafas panjang, tangan kanannya terulur menyentuh pundak kokoh ku. Namun perlahan-lahan, tangan itu menjalar hingga ke tengkuk belakang ku. Dia mengusap nya pelan dan mengusak rambut ku, membuat ku semakin terlena.

Tapi tiba-tiba kemesraan itu terganggu, sebab aku terbatuk kencang. Membuat aku menarik diri dari Asmara-ku, agar dia tidak terpapar virus yang aku keluarkan. Namun Asmara tak membiarkan ku menjauh, dia tarik lenganku agar kembali menghadap diri nya. Dia usap punggung ku perlahan, untuk melegakan batuk yang aku keluarkan.

"Kamu masih batuk-batuk begini, Mau kemana, Zam?" tanya Asmara dengan nada cemas setelah batuk ku berhenti.

Aku hanya tersenyum sembari menekan dadaku perlahan. "Ke Mexolar, untuk mengurus persiapan konser dua hari lagi."

Asmara menghela nafas panjang. "Kamu masih sakit, Zam."

"Aku tidak sakit, sayang," sanggahku dengan tenang.

"Kamu batuk-batuk tadi."

"Hanya tersedak," bohongku.

Asmara memutar bola matanya malas, lalu melipat kedua tangan di atas dada. "Memang kamu makan apa?" tanyanya menuntut.

"Makan jengkol tadi," jawabku asal. Lalu tertawa melihat ekspresi kesal Asmara.

"Ck, ah kamu ini!" Asmara memutar tubuhnya membelakangi ku, lalu berjalan ke arah lemari untuk mencari baju.

Aku menggelengkan kepala sambil tertawa, melihat tingkah istri ku yang merajuk karena kesal akibat keras kepala nya diriku. Untuk saat ini aku memilih membiarkan nya merajuk terlebih dahulu, sampai dia luluh sendiri. Aku melanjutkan menata diri di hadapan cermin, memasang outer hitam dan menyisir rambut yang sedikit berantakan.

Namun tiba-tiba gerakan ku terhenti, sebab sepasang tangan mengikat tubuh ku dengan pelukan dari arah belakang. Aku tatap pemilik raga itu tengah menyembunyikan diri di balik tubuh ku.

"Asmara-ku sedang manja rupanya." Dengan perlahan ku sentuh tautan tangan yang melingkar itu sambil tersenyum hangat.

"Aku masih rindu, Zam." Asmara tak melirik ke arah ku, tapi dia terus memeluk erat. "Kamu tidak?" tanyanya pula.

Seringai usil terbit di wajah ku, dengan sebuah ide jail menggoda asmara. "Tidak."

Sebuah keterkejutan dari Asmara. Dengan cepat dia melepaskan pelukannya dan mendorong punggung ku pelan. "Ck! Ya sudah. Pergi sana," rajuknya dengan wajah memerah menahan kesal.

"Baiklah, aku pergi. Bye sayang," kataku sembari meletakkan sisir ke atas meja rias, lalu pura-pura berjalan ke arah pintu.

Asmara mendengus kesal, berdiri di depan jendela dengan bersedekap dada. "Dasar laki-laki tua," cibir nya perlahan.

Tawaku tertahan mendengar umpatan lucu itu. "Heyy, aku masih bisa dengar."

"Kenapa masih di sini? Katanya tadi mau pergi," ujarnya sambil melirik sinis padaku yang tersenyum geli.

"Karena katamu tadi kamu rindu, jadi aku tetap disini." Aku berjalan perlahan menghampiri dirinya yang sudah berbalut stelan kantor, iya. dia juga akan berangkat bekerja seperti biasa.

"Tapi kamu tidak rindu aku-"

CUP~~~

Aku bungkam bibir ranum itu dengan ciuman dalam, menyapu lembut bibir manis Asmara. Menghisap dan meraupnya dengan gemas, sebab dari tadi bibir itu mengerucut cemberut.

"Aku bercanda sayang, mana mungkin aku tidak merindukan istri cantikku ini, hmmm? Setiap jam, setiap menit, setiap detik aku selalu merindukan mu. Bahkan dalam jarak sejengkal pun aku rindu ingin memelukmu," ucapku sembari menangkup wajah cantik itu dan membelai kedua pipi bersih bak bola salju.

Helaan nafas panjang keluar dari mulut Asmara-ku, lalu dia mencubit pipiku pelan. "Kamu menyebalkan," keluh nya pula membuat ku tertawa.

"Tapi kamu cinta kan?" godaku sambil tersenyum lebar.

Dia terkekeh kecil seraya menganguk, lalu tangan nya terulur menyentuh dada ku dan dia usapkan perlahan. "Kamu yakin mau pergi kesana?" tanyanya dengan ragu.

Aku mengangguk yakin sebagai jawaban, lalu tersenyum menenangkan. "Jangan risau, Mara. Aku akan baik-baik saja."

"Jangan sakit, Zam. Nanti aku sedih," ujarnya sendu.

"Tidak akan, sayang." Aku belai wajah istri ku itu dengan senyuman pahit, menyembunyikan luka yang meracuni hati.

Helaan nafas lagi-lagi keluar dari mulut Asmara, kemudian dia menunduk pasrah. Tapi tak akan pernah ku biarkan wajah itu tertunduk lesu, ku raih dagu nya dan aku angkat agar mata kami saling bertemu.

"Tidak apa-apa, ya? Aku pergi dulu, aku akan pulang dalam tiga hari. Nanti aku akan hubungi kamu setelah sampai disana," bujukku.

"Baiklah, Zam. Hati-hati ya? Jangan lupa makan dan istirahat," pesan Asmara.

Aku mengangguk sambil membelai kepala nya, selanjutnya aku kecup kening, kedua pipi dan berakhir di bibir ranum istriku.

"Aku pergi dulu, ya?" pamit ku dengan senyuman hangat.

Asmara mengangguk kecil, memaksakan senyuman terbit di bibir itu walaupun terpaksa. Tapi dia harus melepas ku dengan lenggana. Maaf ya, Asmara-ku. Nanti kita bersua bermesra lagi, setelah urusan ku sekali.

Dia mencium punggung tangan kananku dan aku membalas hal yang sama di tangannya. Setelah Itu aku pun berbalik dan berjalan keluar dari kamar, menuju teras rumah. Disana sopir ku sudah menunggu, siap untuk keberangkatan ke Mexolar.

****

98's 2: AZAM UNTUK ASMARA {END} ✓Where stories live. Discover now