CHAPTER 3 : TAKUT KEGELAPAN

112 7 0
                                    


Curahan rasa bangga dan haru aku tuturkan tak hentinya, pada istri ku tersayang. Bagaimana tidak bangga? Dua hari setelah pernikahan kami terlaksana, Asmara-ku di angkat menjadi Komisaris di perusahaan ayahnya, dia juga sudah mulai bekerja dua hari ini.

Walaupun dia terlihat lelah, namun dia begitu semangat dan ceria menerima tanggung jawab yang di bebankan padanya. Hebat bukan, Asmara-ku?

Ku tatap wajah cantik yang tengah terlelap damai di alam mimpi, tak cukup kata indah untuk menggambarkan paras Asmara-ku. Sebab tatanan wajah istri ku bak lukisan di atas kanvas, terlukis dari tinta suci yang di ukir tuhan dengan penuh kehati-hatian, hingga tercipta karya yang luar biasa seperti ini. Aku belai rambutnya dengan segala kelembutan, kala mata itu terpejam dan bulu mata lentik nya terurai begitu mempesona.

Sejak sekamar dengan Asmara, aku tak pernah absen memperhatikan lelap ini setiap sebelum tidur. Selalu aku sempat kan menikmati keindahan dari tangan Tuhan ini, sebab itu membuat hatiku damai dan ceria hanya dengan melihat wajahnya saja, walau tak melakukan apa-apa.

Aku terkejut saat tiba-tiba lampu kamar kami padam, segera aku berdiri untuk melihat keadaan di luar melalui jendela. Ternyata semua perumahan sedang padam, aku pikir sepertinya ada kerusakan dari perusahaan listrik sana.

"Azam...."

Saat sedang memperhatikan perumahan, aku mendengar suara Asmara memanggil ku. Aku menoleh namun tak nampak sosok istri ku dalam kegelapan.

"Zam... Kamu dimana?" Lagi-lagi suara itu memanggil ku, namun terdengar bergetar.

Aku pun segera berlari kembali ke tempat tidur, menghampiri istriku yang sepertinya sedang ketakutan. "Aku disini, Mara," ucapku sembari duduk disisinya.

"Zam...." Tangan Asmara meraba udara mencari keberadaan ragaku, hingga dia dapatkan lengan ku yang berada disisinya. Dia raih dan dia rengkuhan lengan ku, saat itu aku rasakan tubuh istriku sedikit bergetar. "Kenapa gelap sekali? Kenapa lampunya mati?" tanya Asmara dengan suara kecil.

"Ada pemadaman keseluruhan seperti nya," jawabku sembari merapatkan diri pada Asmara. Aku raih wajah istri ku meskipun tak bisa ku lihat jelas, sebab tak ada cahaya yang menjamah kami. Hanya bantuan sinar rembulan, yang membuat ku bisa melihat dengan remang wajah istriku kini tengah ketakutan.

"Apakah masih lama? A-aku takut, Zam," ucapnya sedikit terbata.

Aku dekap erat tubuh ramping itu, untuk aku sembunyikan diri nya di dalam pelukan. Berusaha memberikan ketenangan yang menjanjikan perlindungan, agar dia tak lagi ketakutan."Syuut, tenanglah, sayang. Aku disini, tak ada yang perlu kamu takutkan."

Ku rasakan tangan Asmara meremat ujung piyama yang aku kenakan, tanpa membalas pelukan ku. Walaupun begitu, aku tetap mendekap tubuhnya yang kini menenggelamkan diri di dadaku.

"Kita tidur lagi ya?" bujuk ku sembari membelai lembut rambut Asmara.

"Aku takut, Zam," rintihnya pula.

"Tidak apa-apa, sayang. Ada aku yang menjaga mu disini," kataku menenangkan. Lalu perlahan aku ubah posisi kami menjadi berbaring lagi di atas tempat tidur, tanpa guling penghalang seperti biasa.

Ku biarkan Asmara bersandar nyaman di dadaku, sambil memberikan usapan lembut sebagai belaian pengantar tidur. "Tidurlah, sayang. Kegelapan tidak akan menyakiti mu selama ada aku," bisik ku di pelan pada Asmara.

Terasa erat dekapan Asmara di lenganku, untuk saat ini dia hanya berani memeluk lengan ku saja. Tapi tak mengapa, bagiku itu saja sudah bahagia. Pemadaman listrik ini memberi berkah baik untuk ku, sebab aku bisa tidur dengan memeluk tubuh istriku.

Ternyata Asmara-ku masih sama, masih gadis pelita yang takut akan langit malam yang kelam.

"Langit ungu itu bukan langitku, langit biru. Itulah langit ku," ucapnya dahulu saat aku menghampirinya dengan pelita minyak di tangan.

Mungkin Asmara sudah lupa, tapi aku tak akan pernah lupa. Sebab kenangan itu lah yang membuat ku terlempar dari Mexolar dan mendarat di Tevaga. Demi memenuhi renjana, yang menaruh asa pada asmaraloka yang amerta.

Tersemat jelas dalam memori ku sosok Asmara yang belia, tanpa bisa ku lepaskan bayangnya meskipun remang. Hampir aku gila menanggung bayang itu, jika aku tidak cepat-cepat meminang dirinya.

Hingga hari ini, berjuta syukur aku panjatkan sebab tuhan masih memberikan waktu untuk ku menyemai cinta yang sempat tertunda dengan Asmara-ku.

Aku tersenyum di sela pejam mata, meskipun remang cahaya rembulan menutup pandangan ku. Aku bisa merasakan deru nafas istriku yang teratur, menandakan dia sudah bisa terlelap lagi.

Perlahan, aku menunduk. Hingga aku dapati istriku memang sudah terjebak di alam mimpi dengan bersandar nyaman di dadaku. Aku kecup kening Asmara-ku dengan lembut, lalu ku bisikan rayuan malam agar nyenyak tidur nya.

"Selamat malam, selamat tidur istriku, sayang. Aku mencintaimu," bisiku dengan syahdu. Sekali lagi aku sematkan ciuman lebih dalam di puncak kepala istri ku, lalu mulai memejamkan mata dengan posisi paling nyaman yang pernah aku bayangkan.

****

98's 2: AZAM UNTUK ASMARA {END} ✓Where stories live. Discover now