Bunga Wangyuan

787 105 5
                                    

Setelah berpisah dari Di Feisheng dan kembali ke diamannya, Fang Duobing mulai mencari tahu tentang benih itu. Beberapa hari dia habiskan untuk membaca segala macam buku tentang tumbuh-tumbuhan dan pertanian, tapi dia tidak menemukan apa pun. Bahkan perpustakaan kerajaan sekali pun tidak punya data akan benih yang dia bawa.

Ssrak!

Fang Duobing langsung melemparkan pena logamnya ke arah datangnya suara. Siapa yang berani-berani masuk ke perpustakaan kerajaan saat dia telah memerintahkan tak ada yang boleh masuk? Ujung pena itu seketika menancap ke salah satu rak buku yang tak jauh dari hadapannya. Namun dia tidak melihat siapa pun di sana. Dia pun berdiri untuk mengambil penanya sebelum pengawas perpustakaan mengetahui salah satu rak buku di sana rusak karenanya. "Xiaoyi?"

"Hehe, ayah. Ayah hampir saja mengenaiku," ujar bocah itu memamerkan sederetan gigi susunya yang putih.

"Kenapa kau ada di sini? Kau bolos ya?" tanya Fang Duobing berjongkok di hadapan putranya.

"Pangeran Xiaoyi, Pangeran Xiaoyi," teriak seseorang dari luar.

Fang Duobing terkekeh sambil menggelengkan kepalanya. Putra semata wayangnya ini memang kabur dari kelas paginya. "Tunggu di sini."

Dia pun keluar untuk menemui orang yang dia kenali sebagai guru sejarah Xiaoyi. Setelah meminta maaf dan berjanji akan menghukumnya ketika bertemu nanti, Fang Duobing kembali masuk. Di kursi tempat dia duduk tadi, Xiaoyi tengah membolak-balik halaman buku bergambar tanaman sulur di meja. Dia tersenyum melihat Fang Duobing dan segera memeluk pinggangnya dengan erat. "Terima kasih ayah."

"Cuma kali ini saja ayah membantumu, habis itu akan kuserahkan nyawamu kepada ibumu. Kenapa kau sering sekali bolos kelas? Apa pelajarannya tidak menyenangkan? Teman-temanmu tidak suka bermain denganmu? Atau gurunya bermasalah?" tanya Fang Duobing memangku putranya dan mendekapnya dengan penuh sayang.

"Aku lebih suka memanah, berkuda atau bermain pedang ayah. Belajar itu membosankan, lagi pula aku sudah menghafal semuanya. Untuk apa aku mendengarkan penjelasan tentang buku itu selama satu jam penuh?" keluh Xiaoyi masih membuka lembaran buku di meja.

"Menghafal teori itu memang mudah, tapi mendengarkan pengalaman orang lain, berdiskusi dengan teman-temanmu, bahkan berdebat dengan musuh itu mampu memperluas wawasanmu. Kau pikir kakekmu bisa menjadi Kaisar hanya karena dia keturunan raja? Dia juga belajar, berpetualang dan menemukan pengalaman dari berbagai masalah. Kakekmu juga menemukan sudut pandang lain yang membantunya untuk bersikap adil ketika berdiskusi dengan orang lain. Xiaoyi, kau tidak boleh merasa tinggi hati. Kau harus menghormati orang yang lebih tua dan belajar dari mereka untuk menjadi orang yang berbudi luhur. Ayah juga tidak akan selamanya mengurungmu di istana, ayah akan membawamu melihat dunia luar dan membiarkanmu mencari hal-hal baru di Jianghu. Apa kau mengerti?" tanya Fang Duobing sambil mengecup pelipis Xiaoyi.

Bocah itu mengangguk, berpikir kalau perkataan ayahnya ada benarnya juga dan bertekad untuk tidak bolos kelas lagi.

"Ayah ingin bertani?" tanyanya setelah melihat buku-buku yang berantakan di meja.

"Bukan, ayah sedang mencari informasi tentang bibit ini," tunjuknya pada botol keramik kecil.

"Kenapa tidak ditanam saja? Setelah dia tumbuh, kita baru bisa tahu tanaman apa itu," usul Xiaoyi.

"Hmm, ayah juga berpikir begitu. Kalau begitu, ayo kita menanamnya bersama-sama. Bagaimana?" kata Fang Duobing.

Xiaoyi mengangguk dan segera membantu ayahnya merapikan buku.

***

Beberapa hari kemudian, Fang Duobing menemukan Xiaoyi memeluk pot sambil menangis. Saat melihat dari dekat, dia langsung tahu apa masalahnya. Tanaman pertama mereka mati, bahkan sebelum bertumbuh tinggi. Dia menepuk-nepuk kepala Xiaoyi dan meminta bocah itu untuk membantunya menanam benih lain dengan cara yang lain pula. Mereka mengganti tanahnya dengan tanah dari halaman belakang rumah Nyonya He, menyemprotnya dengan pestisida alami yang mereka lihat dari buku pertanian dan memastikan tumbuhan itu terkena cukup sinar matahari. Sayangnya, setelah percobaan kedua, ketiga, keempat bahkan kelima, mereka masih gagal. Kini hanya tersisa dua benih terakhir.

"Tidak apa-apa, mungkin benih ini tidak cocok tumbuh di daerah seperti tempat kita. Eh, kebetulan ayah ada dinas keluar hari ini, nanti ayah akan membawakanmu cemilan enak dari rumah nenek. Bagaimana?" ujar Fang Duobing membelai pipi Xiaoyi yang kemerahan karena menangis.

"Baik," balas Xiaoyi masih tampak lesu.

***

Restoran Keluarga Fang.

Fang Duobing masih mengetuk-ngetukkan kakinya ke lantai kayu sambil menunggu seseorang di ruangan pribadinya. Dia kembali mengeluarkan botol keramik berisi benih yang tersisa dari sakunya dan menatapnya sambil menghela napas. Tiba-tiba saja jendela terbuka dan pria berpakaian biru gelap itu melesat dari sana.

"Apa kau tidak bisa masuk lewat pintu? Merusak tempatku saja," protes Fang Duobing, sementara Di Feisheng tertawa.

"Ini benih-"

"Bunga Wangyuan."

Belum sempat menyelesaikan perkataannya, Di Feisheng sudah terlebih dahulu memotongnya dan membuatnya terkejut hingga bertanya untuk kedua kalinya.

"Apa katamu?"

"Benih bunga Wangyuan, aku menemukan benih yang sama di kamar Jiao Liqiao dulu. Ternyata gadis licik itu bahkan menyimpan benih bunga untuk menawar racun Li Lianhua secara diam-diam."

"Sial," umpat Fang Duobing.

"Kenapa kau mengumpat?" tanya Di Feisheng setelah meletakkan cangkir keramiknya ke meja.

"Aku sudah menanam beberapa di antaranya dan gagal. Sekarang hanya tinggal dua, apa kau menanamnya juga?" tanya Fang Duobing.

"Aku juga melakukan hal yang sama denganmu dan punya hanya tinggal satu. Aku belum mengecek hasil yang terakhir, kalau itu gagal juga. Sebaiknya kita diamkan saja benih-benih yang tersisa," ujar Di Feisheng tampak menyesal sekaligus khawatir.

"Ah Fei, di mana kau menanamnya?"

"Aku akan membawamu ke sana kalau kau mau."

***

"Kau menanamnya di khayangan ya? Kenapa jauh sekali?" protes Fang Duobing sambil memegangi lututnya yang terasa pegal.

"Dasar manja," kata Di Feisheng melemparkan wadah air minum pada Fang Duobing, kemudian menyeretnya untuk melanjutkan perjalanan.

Sesampainya di ladang tempat Di Feisheng menanam bunga Wangyuan, rahang Fang Duobing hampir tak bisa menutup dengan sempurna. Tempat ini sangat indah, bahkan tak jauh dari sana ada air terjun dan udaranya juga tidak begitu lembab ataupun kering. Bukankah ini lebih cocok dijadikan tempat bulan madu daripada bercocok tanam? Dia mengikuti Di Feisheng menuju petak kecil tanah yang ada di dekat gubuk kecil. Setelah melihat sesuatu yang tidak beres, mereka buru-buru mendekati tanaman yang hampir layu itu.

"Jangan mati, kumohon jangan mati," kata Fang Duobing berlutut di samping bunga Wangyuan yang Di Feisheng tanam. Dia terdiam sambil berpikir keras, lalu mengangkat salah satu telapak tangannya dan mengatur napas. Tak lama kemudian dia menyalurkan Yangzhoumannya ke tanaman itu.

Setelah beberapa saat, tanaman itu kembali menghijau, sementara Fang Duobing terduduk di samping dengan terengah-engah.

"Kerja bagus," puji Di Feisheng menepuk-nepuk kepala Fang Duobing dengan bangga.

Fang Duobing terkekeh dan tersenyum lebar, layaknya anak anjing lucu yang baru saja dipuji pemiliknya.

Sejak hari itu, mereka berdua memutuskan untuk fokus mengamati perkembangan bunga Wangyuan. Tentu saja mereka melakukannya tanpa sepengetahuan Li Lianhua.

***

Li LianhuaDove le storie prendono vita. Scoprilo ora