Epilog Part I

793 99 18
                                    


Sepuluh tahun kemudian....

Pemuda berpakaian ungu muda dengan pedang tersarung di punggung itu memasuki rumah makan. Saat para pelayan akan menyapanya, dia menaruh telunjuk di tengah bibirnya dan mengisyaratkan agar mereka diam. Sebelum duduk, dia terlebih dulu memesan arak teratai dan kue bulan. Dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling, lalu menopang pipinya menggunakan satu telapak tangan. Tak lama kemudian pesanannya datang, bahkan dengan satu menu tambahan favoritnya. Paman pemilik tempat itu mengedip padanya, membuatnya tak sanggup menahan tawa dan menggerakkan bibirnya untuk berterima kasih.

"Apa kau tahu tentang pembunuhan yang terjadi di rumah bordil Huarong semalam?"

"Katanya itu perbuatan dewa dan dewi iblis."

"Menurutku itu bukan pembunuhan, mereka pantas mendapatkannya."

"Kenapa kau bicara begitu? Memangnya siapa korbannya?"

"Tuan Wang adalah pejabat yang menjual persediaan pangan negara dengan harga setinggi langit ke luar kota. Dia sulit ditangkap karena buka laporan keuangannya selalu bersih, bahkan kemarin kudengar Menteri Fang hampir saja dibunuh oleh pembunuh bayaran Tuang Wang karena berhasil mencuri buku laporan keuangan yang asli. Lalu Tuang Chang, dia menjual opium dan obat-obatan terlarang lainnya yang bisa membuat orang kecanduan, gila, bahkan menjadikan mereka mayat hidup. Tuang Deng, ckckckck. Selama ini kita kira dia merawat anak-anak dan wanita di panti asuhannya, ternyata dia menjadikan mereka budak dan pelacur tanpa persetujuan mereka. Bukankah menurut kalian orang jahat seperti mereka memang pantas mati?"

Pemuda berbaju ungu itu mengangguk puas setelah menguping pembicaraan meja pengunjung yang ada di sebelahnya.

"Tapi kenapa mereka dipanggil dewa dan dewi iblis? Mereka kan membantu negara menegakkan keadilan?"

Pemuda itu semakin menajamkan telinganya untuk terus mendengar gosip pengunjung di meja sebelah.

"Entahlah, mungkin karena mereka tidak memberi ampun meskipun korbannya sudah memohon sambil menangis dan membunuh mereka dengan kejam. Kudengar mereka memotong pergelangan Tuan Deng."

Pemuda itu menggeleng-gelengkan kepalanya. "Saudara-saudara sekalian, bolehkah aku menambahkan sesuatu," tanyanya sambil menangkupkan kedua tangannya seakan memberi hormat.

"Katakan!" kata pemuda berkipas itu.

"Tangan Tuang Deng adalah alat untuk membuka ruangan rahasia tempat dia menahan wanita dan anak-anak yang dia jadikan pelacur dan budak itu. Bukankah akan merepotkan kalau mereka harus menyeret mayatnya sepanjang kediaman Deng, makanya mereka memotong tangannya. Lagipula dewi iblis tidak seketika memotong tangan pak tua itu. Dia membunuhnya dengan racun, baru memotongnya. Jadi, tanpa rasa sakit," jelasnya.

Seketika para pemuda itu mengangguk dan ber 'oh' ria.

"Tunggu, kenapa kau bisa tahu?" tanya pemuda berbaju kuning.

"Ayahku seorang detektif, makanya dia tahu," balasnya dengan santai.

"Kalau boleh tahu, siapa nama tuan muda ini?" kata pria yang sedari tadi belum menanyainya.

"Aku----"

"Lao gong (suamiku.)" Terdengar suara teriakan dari pintu masuk rumah makan yang cukup menyita perhatian.

"Eh, siapa yang suamimu?" tanya pemuda itu langsung berdiri dari tempat duduknya.

"Ayah mertua, lihat!" Gadis itu mengadu pada pria paruh baya yang tiba tak lama setelahnya.

"Tuan Besar Fang, selamat datang. Kebetulan Tuan Muda Fang juga ada di sini," sapa salah satu pelayan.

"Apa yang kau lakukan di sini, Xiaoyi?" tanya sang ayah yang masih terlihat gagah meskipun sudah berkepala empat.

"Tuan Muda Fang? Xiaoyi? Dia itu Fang Xiaoyi? Muridnya Di Feisheng? Gila! Berarti Tuan Besar itu, Fang Duobing!"

"Heh, dia sudah mengganti namanya menjadi Fang Xiaobao. Dia itu Menteri Fang."

"Hormat kepada Menteri Fang!" Ujar ketiga pemuda yang duduk bersama tadi.

"Jangan sungkan, hanya jika aku berada di istana baru kalian memanggilku seperti itu. Kalau di luar aku hanya Tuan Fang. Pelayan, aku yang akan membayar semua makanan mereka. Lanhua, apa orang tuamu belum datang?" tanya Fang Xiaobao.

"Sebentar lagi, apa ayah mertua sudah merindukan mereka? Hihi" balas Lanhua dengan ekspresi jenaka.

"Sudah bertahun-tahun tak bertemu, tentu saja aku ingin melihat mereka. Xiaoyi!"

Suara itu membuat Xiaoyi yang akan kabur seketika menegakkan punggungnya.

"Tenang saja, ayah mertua. Aku akan menangkapnya," kata Lanhua melesat ke arah Xiaoyi.

"Dia ayahku, bukan ayah mertuamu dan aku bukan suamimu," kata Xiaoyi segera menghindar. Dia tidak suka bertarung dengan wanita karena dia harus menahan diri agar tidak melukai mereka.

Lanhua tersenyum, dia tahu apa yang Xiaoyi pikirkan.  "Jangan menahan diri, aku memakai jubah perak langit. Jadi, kau tidak akan bisa melukaiku."

"Baiklah," ujar pemuda itu sambil mengeluarkan pedang dari balik punggungnya, sementara Lanhua menarik pedang cambuk dari pinggangnya.

Fang Xiaobao hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Anak muda memang selalu bersemangat untuk bertarung di mana pun tempatnya dan kapan pun ada kesempatan. Dia memilih untuk naik ke lantai dua, tempat dia menunggu para tamunya datang. Orang-orang di restoran keluar sambil membawa cangkir arak, sumpit dan sendok merak untuk menonton pertarungan Tuan Muda Fang dan nona yang mengaku sebagai istrinya.

***

"Apa kau tahu siapa nona itu?"

"Entahlah, aku belum pernah melihatnya."

"Kalau kau mau melihatnya, kau harus sakit parah. Dia adalah putri dari tabib iblis," balas salah seorang pelayan rumah makan yang juga melihat pertarungan tuan muda mereka.

"Benarkah? Bukankah dia juga satu-satunya yang lolos ujian kedokteran negara dengan nilai paling tinggi? Tapi begitu ditawari jadi dokter kerajaan dia menolak karena dia hanya ikut ujian itu untuk iseng-iseng saja."

"Aiyoo, langit begitu memberkati mereka. Yang satu cendekiawan terbaik, yang satu dokter terbaik. Bagaimana dengan jodoh kita yang hanya orang biasa ini?"

***

Sementara para penonton sibuk bergosip, Lanhua sudah hampir kewalahan bertarung dengan Xiaoyi. Dia menghentakkan pergelangan tangannya hingga benda tipis itu sampai ke genggamannya. Tak lama kemudian Xiaoyi menyerangnya dari jarak dekat. Bukankah ini kesempatan emas? Dia segera melemparkan jarum emas ke leher pemuda itu dan tersenyum.

"Di Lanhua!"

Suara lantang pemuda itu membuatnya menoleh. Lagi-lagi sebuah senyuman manis menghiasi wajah cantiknya.

"Kenapa? Kau kelihatan marah sekali," kata Lanhua.

"Kau curang!" teriak Xiaoyi. Benar saja, sesaat kemudian kakinya mulai lemas.

Lanhua segera merangkul Xiaoyi. "Aku tidak ingin mempermalukanmu di depan umum. Jadi aku akan membantumu, tapi dengan syarat," bisiknya.

"Katakan!" balas Xiaoyi yang terpaksa berpegangan pada Lanhua.

"Panggil aku, "istriku"."

Xiaoyi menghela napas. Sejak kecil Lanhua memang sering sekali mengerjainya seperti ini jika sudah tersudut. Sebenarnya dia bisa mengalahkan Xiaoyi dengan senjatanya, tapi dia lebih suka memakai kemampuan medisnya untuk melindungi diri. Bahkan sekarang Lanhua menggunakan jarum sutra untuk melumpuhkannya. Kalau dia muncul di hadapan orang tua Lanhua dan ayahnya dengan keadaan seperti ini, dia akan diolok-olok.

"I ... I ...."

Lanhua masih menunggu Xiaoyi mengucapkannya.

"Istri."

"Istri siapa yang kau maksud?" Goda Lanhua.

"Istriku, Di Lanhua," ujar Xiaoyi dengan susah payah.

"Ya ampun, suamiku. Tidak perlu malu-malu begitu," ujar Lanhua dalam sekejap mata menarik jarum sutra dari leher Xiaoyi dan memberinya penawar racun.

(Bersambung ke Epilog part II)

Li LianhuaWhere stories live. Discover now