6. Aku mirip ayah

1.5K 300 4
                                    

Vote dulu sebelum baca

###

Arion membiarkan Callian berkeliaran bebas untuk beberapa saat sementara ia berbicara dengan pendeta yang mengantar putranya ke ruangan untuk meminta berkah.

"Adik kecil yang barusan memiliki kekuatan suci, tapi aku tidak yakin sebanyak apa itu, karena cahaya yang keluar dari altar hari ini berbeda dari biasanya. Jika ada sesuatu yang terjadi, kau bisa memanggilku."

Pendeta itu berkata dengan wajah serius. Senyuman lembut yang ia berikan pada Callian sebelumnya menghilang entah kemana.

Arion menghela napasnya sebelum berbicara. "Aku tidak peduli dengan hal itu. Lupakan saja apa yang baru saja terjadi, aku hanya ingin putraku hidup nyaman."

Berkah mendapatkan kekuatan suci memang bukan hal yang mengejutkan, berkah ini memiliki beberapa tingkatan. Untuk tingkat rendah, orang dengan berkah ini hanya mampu menyembuhkan luka luar, itupun tidak bisa menghilangkan bekas lukanya dan hanya berlaku untuk manusia. Di tingkat menengah, orang dengan berkah ini hanya mampu menyembuhkan beberapa orang baik itu luka luar atau penyakit dalam. Sementara di tingkat tinggi, orang dengan berkah ini hanya mampu menyembuhkan banyak orang bahkan mahluk lain. Ia juga bisa meregenerasi dirinya sendiri yang terluka.

Karena dianggap berkah yang bagus, orang dengan berkah ini sering kali menjadi sasaran penyihir jahat untuk eksperimen mereka. Arion menggelengkan kepalanya. Ia tidak berani membayangkan putranya dijadikan sebagai eksperimen oleh penyihir.

"Callian, kau masih senang berada di sini? Sudah waktunya makan siang. Apa yang ingin kau makan?" Arion menghampiri Callian yang berjongkok memperhatikan puluhan semut tengah berbaris rapih dengan bangkai kecoak diatasnya.

"Ah, ayah! Urusanmu sudah selesai? Ayo makan ayam!" Callian mengalihkan tatapannya dari kumpulan semut itu. Ia berdiri lalu membersihkan bagian lututnya yang sedikit kotor dengan tangannya.

"Apa ada hal lain selain ayam? Bagaimana dengan buah-buahan yang kau makan saat kita berada di pasar?"

Callian mengangguk. "Itu bagus! Jangan lupa daging sapi, aku juga ingin susu coklat, tidak-tidak, macaron, pie, uh... Apalagi?"

Arion tertawa pelan mendengar ocehan putranya. Ia menyelipkan kedua tangannya di ketiak Callian kemudian mengangkat Callian dan membawanya ke gendongan.

"Yah, kita bisa memakan apapun yang kau inginkan." Arion mengeratkan pelukannya pada Callian.

Callian membalas pelukan ayahnya. Ia begitu menikmati momen ini. Ingin sekali ia mengabadikannya lewat ponsel.

Cukup lama keduanya berbagai momen, Callian melepaskan pelukannya, ia juga berusaha turun dari gendongan ayahnya. Otak anak kecilnya tiba-tiba memikirkan hal acak. Callian menatap Arion dengan serius.

"Mmm, ayah. Ada yang ingin aku tanyakan," Callian menatap pendeta yang sejak tadi menemaninya di kuil ini. "Apa ada tempat yang biasa mencegah orang lain mendengar percakapan kami dari luar?"

Pendeta itu mengangguk, "Tentu. Tempat ini salah satunya, kalau begitu aku akan keluar. Tidak ada siapapun disini. Silahkan berbicara." Pendeta itu meninggalkan Callian dan ayahnya.

"Callian, apa yang ingin kau tanyakan?"

Callian menundukkan kepalanya, "Ini tiba-tiba. Ayah juga tidak perlu menjawabnya jika ayah tidak ingin. Ayah, kenapa kita tidak mirip? Siapa yang mirip denganku? Apa itu ibuku? Mengapa warna rambut dan mata kita berbeda?"

Arion terdiam sesaat setelah mendengar pertanyaan putranya yang tiba-tiba. Walaupun begitu, ia sudah menyiapkan jawabannya. Pria berambut hitam itu menghela napasnya sebelum berbicara, "Dengar, ini rahasia. Aku sedang menyamar."

"Menyamar? Apa kau benar-benar ayahku?" Callian menatap rambut hitam dan mata coklat ayahnya secara bergantian.

"Tentu, aku ayahmu." Arion menjawab dengan tegas.

"Tapi kita tidak mirip!"

Wajah Arion berubah menjadi murung mendengar perkataan putranya. "Aku merasa sedih karena putraku mengatakan hal seperti itu. Callian, kau sangat mirip denganku."

Beberapa saat setelah Arion berbicara, Arion merapal mantra yang membuat udara di sekitar berbeda dari sebelumnya, penampilan Arion perlahan berubah. Rambut hitamnya berubah menjadi warna putih keperakan sama seperti milik Callian, begitu juga dengan mata coklatnya yang berubah menjadi warna biru.

Callian terpaku melihat apa yang baru saja terjadi. Ia benar-benar melihat sihir secara langsung.

Arion tertawa pelan melihat ekspresi putranya. "Bagaimana, bukankah kita sudah mirip sekarang?"

Callian mengerjap pelan, ia bahkan menggosok matanya untuk memastikan apa yang baru saja ia lihat. "Apa ini nyata? Apa ayah tidak sedang menyamar agar rambut dan matamu terlihat sama sepertiku?"

"Eyy, mana mungkin aku melakukan itu. Ini penampilanku sebelumnya. Bukankah kau yang ingin melihatnya?"

"Ayah! Ayah tidak berbohong? Ini benar-benar penampilan ayah? Aku mirip ayah?" Callian memberikan tatapan tidak percaya pada Arion.

Tangan Arion bergerak mengusap rambut putranya. "Itu benar Callian, aku ayahmu dan kau putraku. Seperti yang aku katakan sebelumnya, aku sedang dalam penyamaran."

Callian masih tercengang oleh perubahan penampilan Arion namun pada akhirnya ia mengangguk mengerti. Ayahnya pasti memiliki alasan untuk melakukan penyamaran.

"Syukurlah, aku lega mendengarnya." Callian tersenyum lebar lalu memeluk Arion dengan erat. Ia bersungguh-sungguh dengan perkataannya. Ia sangat bersyukur memiliki ayah seperti Arion yang begitu menyayanginya, berbeda dengan ayahnya yang berada di bumi.

"Aku juga bersyukur memilikimu Callian."

Momen hangat keduanya berlangsung beberapa saat. Callian dan Arion keluar dari ruangan tersebut.

""Kalian berdua sudah selesai?" tanya pendeta dengan senyuman lembut kembali terpancar di wajahnya.

Arion mengangguk. "Kami sudah selesai di sini. Terima kasih atas bantuannya."

Pendeta itu mengangguk sopan. "Tidak masalah, jangan ragu untuk datang kemari jika kalian membutuhkan sesuatu."

Arion dan Callian melangkah ke luar kuil sementara pendeta sebelumnya mengikuti mereka hingga batas tertentu untuk mengantar Callian dan Arion.

###

Lanjut ga sih?

Am I a Noble?Where stories live. Discover now