9. Segera Mati

1.5K 297 22
                                    

Vote dulu sebelum baca

###

Arion-Callan mempercepat langkahnya diikuti seorang healer menuju kamar dimana keluarganya berada setelah mendengar teriakan Callian. Tanpa pikir panjang, Callan menendang pintu dihadapannya lalu masuk kedalam ruangan.

"Callian, apa yang terjadi? Hei, cepat periksa putraku!"

Callan memberi ruang bagi healer itu sementara ia mendekati Camelia dan Callias. "Cukup sulit mendapatkan healer disini. Apa yang terjadi sebelumnya?"

"Ayah... Kau seorang bangsawan..." Callian menjauhkan diri dan mengabaikan healer yang sedang memeriksanya. Ia menatap Callan dengan penuh kekecewaan. Mata birunya mulai berkaca-kaca, lalu cairan bening mulai mengalir membasahi pipi merah Callian.

"Ah, ya... Aku seorang bangsawan." Callan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia tidak tahu apa penyebab putranya menangis.

"Aku tidak mau menjadi bangsawan." Tangis Callian semakin keras.

Callan terlihat panik saat Callian menangis. Ia memeluk Callian lalu mengusap punggungnya. Callian sepertinya sudah sangat menikmati hidupnya sebagai rakyat biasa.

"Callian, menjadi bangsawan tidak seburuk yang kau bayangkan." Callan menatap mata Callian yang bengkak karena menangis. Ingin sekali ia menggigit pipi berisi milik salah satu putranya itu namun Callan menahannya. Selain itu, ini pertama kalinya ia melihat Callian menangis selain saat Callian baru lahir. Jadi Callan tidak tahu bagaimana cara menghibur putranya.

"Itu benar Callian! Walaupun aku kesal karena jadwalku cukup padat, menjadi bangsawan itu menyenangkan!" Callias ikut menimpali.

Camelia mendekati Callian lalu mengusap rambut putih keperakan milik putra keduanya itu. "Callian, dengarkanlah ayah dan kakakmu. Kami tahu bahwa ini mungkin terasa sulit, tetapi sebagai bangsawan, kamu memiliki tanggung jawab dan peluang yang tak dimiliki oleh banyak orang lain. Kau bisa membantu banyak orang dan membuat dunia ini menjadi tempat yang lebih baik." Camelia mencoba meyakinkan putranya yang masih menangis, sayangnya, perkataan Camelia malah membuat Callian semakin mengencangkan tangisnya.

Callan yang panik menoleh ke arah healer yang ia bawa sebelumnya. "Cepat periksa putraku! Cari tahu dimana ia merasa sakit!"

"Ah, ya. Tentu." Healer itu segera mendekati Callian dengan gugup. Bagaimana tidak? Sedari tadi ia berada di ruangan itu dan mendengarkan percakapan yang seharusnya tidak ia dengar. Orang yang harus ia periksa sekarang adalah putra dari bangsawan. Sedikit saja ia melakukan kesalahan, nyawanya pasti melayang.

"Permisi, tuan muda." Healer itu memegang tangan Callian lalu memejamkan matanya sambil merapal mantra.

"Hah!" Callian yang sebelumnya menangis kini terdiam, tubuhnya bergetar hebat, matanya yang sembab karena terlalu lama menangis kini terlihat ketakutan. Callian menutup mulutnya, ia berusaha turun dari tempat tidurnya namun saat kakinya menginjak lantai, Callian memuntahkan cairan bening yang membuat semua orang di ruangan terkejut.

"Callian!" Callan menangkap tubuh Callian, Callias dan Camelia juga mendekati keduanya.

"Tu-tuan muda." Healer itu mulai berkeringat dingin. Ia baru saja merapal mantra untuk memeriksa tubuh Callian tapi pasiennya itu malah terlihat ketakutan.

"Apa yang kau lakukan!?" Callian menatap healer itu dengan tatapan tajamnya.

"Callias, bawakan air untuk saudaramu." Callias mengangguk mengiyakan permintaan ibunya lalu pergi meninggalkan ruangan.

"A-ayah... Dia... Ugh!" Callian kembali memuntahkan cairan bening dari mulutnya sebelum ia menyelesaikan perkataannya.

"Jangan khawatir Callian, aku akan menghukum orang ini. Dia pasti merapalkan mantra asal-asalan padamu." Callan mengusap keringat yang mengalir di wajah putranya sementara healer yang mendengarkan percakapan itu semakin ketakutan.

"Ampuni saya tuan, saya mohon!" Healer itu bersujud dihadapan Callian, ia tidak peduli jika tangannya menyentuh muntahan Callian.

Camelia mengusap lengan Callan dengan lembut. "Callan, tenanglah. Kita belum mendengar penjelasan dari Callian. Kau tidak bisa membunuhnya sesukamu."

Mendengar perkataan ibunya, Callian membulatkan matanya. "Ibu... Ayah... Jangan bunuh-"

"Callian, minum ini." Callias menyodorkan segelas air putih yang ia dapatkan dari pemilik penginapan, sepertinya Callias lupa bahwa ia bisa memerintah kesatria Sinclair yang berada tidak jauh dari kamar penginapannya.

Callian dibantu Callan meminum air yang dibawakan oleh Callias. Setelah cukup tenang, anak itu kembali bersuara walaupun terdengar pelan.

"Healer itu akan mati."

***

"Apa yang anda katakan tuan muda?" Tidak hanya healer yang tangah bersujud sambil menengadahkan kepalanya dengan heran, Callan, Camelia dan Callias juga memberikan tatapan yang sama pada Callian. Mereka menatap Callian seolah-olah anak itu mengatakan omong kosong.

Sore hari, sebuah kereta barang yang mirip dengan kereta milik Simon diisi oleh tiga orang, dua diantaranya merupakan sepasang suami istri yang berprofesi sebagai pedagang sementara satu orang lagi, ia adalah healer yang dibawa oleh Callan. Tiga orang itu terus bercengkrama hingga hari mulai gelap, mereka sesekali tertawa saat menceritakan hal-hal yang lucu.

Ketiganya memutuskan untuk beristirahat dan membuat sebuah tenda karena healer yang sadar diri memilih untuk tidur di kereta.

Saat ketiganya tertidur pulas, beberapa orang dengan pakaian serba hitam muncul lalu menggeledah kereta barang tersebut. Karena orang yang pertama kali mereka temui adalah healer itu, mereka tidak segan memisahkan kepala dan tubuh healer itu dengan pedang. Tidak selesai sampai di sana, para bandit itu juga menggeledah pakaian healer yang sudah tidak memiliki kepala itu. Setelah mendapatkan kantung kecil berisi koin perak, salah satu bandit mengoyak tubuh healer itu hingga tidak diketahui bentuk asalnya.

Callian yang mengingat kembali apa yang ia lihat saat tangannya disentuh oleh healer itu kembali menggigil. Selama ia hidup sebagai Callian di bumi, ia tidak pernah melihat peristiwa pembunuhan secara langsung dihadapannya. Anak itu menutup mulutnya dengan tangan kanan, berusaha menahan sensasi mual yang muncul kembali.

"Kau akan segera mati."

"Jangan pergi sore ini, paman. Lebih baik kau kembali besok pagi. Aku bersungguh-sungguh, kau akan mati jika kau pergi sore ini." Callian berharap healer itu mendengarkan perkataannya.

"Apa yang kau katakan Callian? Healer itu akan mati sebentar lagi karena ia tidak bisa menyembuhkanmu dengan benar." Callan menatap healer itu sambil berbicara dengan nada sinis.

"Tidak ayah." Callian memijat pangkal hidungnya.

###

Am I a Noble?Where stories live. Discover now