11. Benar-benar Mati

1.6K 298 13
                                    

Vote dulu sebelum baca

###

"Ayah, ibu, Callian tidak ingin tinggal di Duchy." Callias mengadukan tindakan Callian pada kedua orang tuanya.

Callian terlihat tidak terima, "Aku hanya mengatakan untuk bertukar tempat. Aku tinggal di County bersama ibu, dan Callias akan tinggal bersama ayah!"

Sekali lagi, keduanya berdebat mengenai tempat tinggal mereka. Callan dan Camelia menatap jengah anak kembarnya. Setelah saling bertatapan lalu mengangguk, Callan mendekati Callian sementara Camelia mendekati Callias.

"Arghh, sakit! Lepaskan aku!"

Si kembar berteriak secara bersamaan saat pipi mereka dicubit oleh orang tua mereka. "Kalian berdua benar-benar harus berhenti bertengkar seperti ini." Callan menggertak pelan.

Camelia menambahkan, "Kalian masih bisa bertemu, kapanpun kalian mau."

Callian dan Callias merasa bersalah dan merasa malu karena perilaku mereka yang membuat orang tua mereka kesal. Mereka saling pandang, lalu Callian, yang merasa dirinya berjiwa dewasa, berkata, "Maaf, ayah, ibu. Kami tidak bermaksud membuat kalian marah."

Keduanya menundukkan kepala dengan wajah cemberut.

'Menyebalkan! Callias tidak mau mengalah.' Diam-diam, Callian melayangkan tatapan tajam pada Callias. Callias yang melihat itu juga melakukan hal yang sama.

Callan yang merasakan ketegangan ini, menghela napasnya. "Dengar, aku membiarkan kalian berdua untuk menikmati waktu kalian. Bukan untuk bertengkar. Segera berbaikan."

Si kembar kembali memandang satu sama lain, mendengar perintah ayahnya untuk berbaikan, mau tidak mau, keduanya mengangguk pelan. Callian terlebih dahulu mengulurkan tangannya. "Maaf, Callias," ucapnya dengan tulus.

Callias merasa lega melihat tindakan saudaranya, dan dia segera meraih tangan Callian. "Maaf juga, Callian."

Callan dan Camelia tersenyum melihat keduanya yang sudah berbaikan. Callan mengusap rambut Callian sementara Camelia memeluk Callias. "Bagus! Jangan bertengkar lagi. Kita akan segera pergi ke ke portal teleportasi."

Si kembar dengan kompak mengangguk kemudian bersiap. Camelia juga melakukan hal yang sama. Saat sore tiba, keluarga kecil itu berada dalam kereta kuda yang sama. Mereka berencana untuk mendekatkan Callian dan Callias yang nyatanya sudah dekat karena ikatan batin.

Hari mulai gelap, namun perjalanan terus dilanjutkan karena mereka diikuti oleh kesatria Sinclair. Callian berusaha menahan kantuknya karena ia ingin melihat langit malam di dunia ini.

"Callian, sebaiknya kau tidur. Perjalanan menuju portal teleportasi cukup lama." Callan mengusap rambut Callias yang tertidur di pahanya. Sebelum mereka menaiki kereta kuda, Callian memutuskan untuk duduk di samping ibunya sementara Callias duduk di samping ayahnya.

Callian menatap Callan yang berada di hadapannya. Matanya yang sebelumnya menahan kantuk itu, kini terbuka sempurna.

|. Callan Sinclair .|
Tuan muda kedua Sinclair
|. Berkah : Aura .|

Callian melihat hologram biru dan Callan secara bergantian. Tatapan Callian kemudian tertuju pada sebuah pedang yang berada di pinggang ayahnya.

'Ayahku mendapat berkah aura, itu artinya ayahku seorang sword master?'

Melihat ekspresi Callian yang berubah-ubah, Callan mengerutkan keningnya. "Apa yang kau lihat, Callian?"

"Sepertinya dia terlalu asik dengan khayalannya." Camelia terkekeh pelan melihat keimutan Callian yang bertambah saat ekspresinya berubah-ubah. Tangannya bergerak meraih pipi Callian lalu mencubitnya dengan pelan.

Callian tersentak, ia menatap ibunya dengan kesal. "Berhenti mencubit pipiku ibu! Ini sakit."

Camelia tidak mendengarkan keluhan putranya, ia terus mencubit pipi Callian hingga memerah.

"Ibu..." Callian memberikan tatapan memohon pada Camelia.

Callan yang melihat interaksi Callian dan istrinya tertawa pelan. Pergerakan membuat Callias yang tertidur di pangkuannya ikut terbangun. Callias menggeliat sejenak sebelum membuka mata dengan kantuk.

"Apa yang terjadi?" tanya Callias dengan suara serak.

Callan membelai rambut Callias dengan lembut. "Ibumu sedang mengganggu Callian."

Callias mengangguk mengerti, dan dia melirik saudaranya yang tampak agak kesal. "Ibu juga sering melakukan itu padaku. Lihatlah, pipiku juga melebar."

Callias kini duduk di samping ayahnya.

Camelia tersenyum lebar mendengar komentar Callias. "Tentu saja, anakku, itu adalah tanda kasih sayang ibu."

Keluarga kecil itu melanjutkan perjalanan mereka menuju portal teleportasi dengan diselingi percakapan ringan.

Callan terlihat mengerutkan keningnya dan itu disadari oleh Callian.

"Berhenti."

Sebelum Callian bertanya, Callan memerintah kusir untuk menghentikan perjalanan.

Tok, tok, tok

"Permisi tuan muda, maaf mengganggu. Ada sebuah kereta barang yang diserang gerombolan bandit didepan sana. Kami akan segera menyelesaikannya." Salah satu kesatria Sinclair memberi laporan.

"Bandit?" Callian bertanya dengan suara pelan, ingatan saat ia memberi peringatan pada healer di penginapan kembali berputar di kepalanya. Callian menggeleng pelan, berusaha mengenyahkan perasaan resah yang ia rasakan.

'Aku sudah memperingati healer itu, kuharap ia baik-baik saja. Aku tidak sempat mencari tahu pasangan pedagang yang pergi bersama healer itu karena aku sibuk bertengkar dengan Callias.'

Melihat ke jendela, Callian disuguhi pemandangan yang gelap karena hari semakin malam. Callian dapat melihat salah satu kesatria Sinclair yang berjalan menuju kearahnya.

"Tuan muda, kami sudah selesai. Ada tiga korban yang meninggal karena bandit itu." Kesatria itu berbicara setelah Callan membuka pintu kereta.

'Tiga? Jika healer itu tidak ikut, seharusnya hanya dua korban.'

Detak jantung Callian perlahan meningkat, saat ia melihat kesempatan, Callian melompat keluar dari kereta kuda lalu berlari melihat kereta barang yang hancur karena serangan bandit.

"Callian!"

Callian mengabaikan teriakan keluarganya. Kaki kecilnya terus melangkah mendekati tiga mayat korban bandit yang tertutup kain. Ia membuka kain itu satu persatu hingga tiba di mayat ketiga. Tubuhnya membeku saat melihat wajah familiar yang terpampang di depan matanya. Itu adalah wajah healer yang pernah ia peringati di penginapan.

Tubuh Callian bergetar hebat saat ia melihat mayat healer yang familiar. Sensasi mual mendalam mulai merayap naik dalam dirinya, dan dengan cepat.

Callian menutup mulutnya dengan cepat, tetapi muntahannya tidak bisa dihindari. Ia membungkuk dan memuntahkan isi perutnya di samping mayat itu. Sensasi mual yang mendalam membuatnya merasa hancur.

"Apa yang kau lakukan? Kau melompat keluar dari kereta kuda tanpa berpikir."

Camelia mendekati Callian, ia mengurut tengkuknya. Callan juga mendekat, diikuti Callias.

"Healer itu... Tidak mendengarku."

Callian mengusap bibirnya. "Dia... benar-benar... mati."

###

Tau ga sih, aku tuh ngide bgt ngasih judul di tiap ch. Tapi pas aku liat ulang, ko kaya ga nyambung?

Tapi ttp aku terusin. Wkwkwk

Am I a Noble?Where stories live. Discover now