Dion

1.5K 161 1
                                    

Aku menatap Dion dengan perasaan yang bercampur aduk, sedang Dion di hadapanku hanya tersenyum lembut dengan mata indah nan kosong itu.

"Ariel, ada apa ini sebenarnya? Apa yang terjadi semalam?" tanya Raphael yang terlihat sudah tidak tahan ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Sekali lagi aku menatap Dion yang seolah mengisyaratkan untuk menceritakan semuanya pada mereka. Aku sadar, Dion merasa tidak akan mampu menceritakan apapun karena kemampuannya berbicara masih terbatas. Itu sebabnya ia menunjukkan mimpi itu, Dion ingin AKU yang menceritakannya.

"Ayah, ibu..." ucapku ragu harus mulai darimana. Oh sungguh, tolong aku masih lima tahun. Aku tahu tidak senormalnya aku bersikap dan berperilaku seperti ini tapi aku tidak memiliki pilihan.

~~//~~

Althea dan Raphael nampak terkejut bukan main sekaligus iba setelah aku menceritakan mimpiku semalam. Ya, aku pun akan bereaksi sama seperti mereka jika mendengarnya. 

Aku menulis novel ini, dengan pengetahuan bahwa sihir merupakan sesuatu yang natural, bukan semacam kekuatan super yang bisa diperoleh dari percobaan laboratorium seperti di film-film superhero.

Dan fakta bahwa ADA orang atau sekelompok manusia di dunia ini yang cukup gila untuk memperoleh sihir suci dengan jalan yang bisa dibilang 'memaksa' seperti itu.

Dan lagi, fakta bahwa Dion lahir dari orang tua yang juga merupakan kelinci percobaan dari eksperimen yang sama. Oh entah apa yang mereka semua rasakan, membayangkannya saja membuatku mual. Ini benar-benar tidak manusiawi.

"Begitu ternyata, pasti berat bagimu nak" ucap Althea memelukku hangat. "Ayah dan ibu tidak akan menyakiti Dion juga kan?" ucapku takut jika mereka marah pada Dion karena membuatku bermimpi seperti itu.

Althea tersenyum padaku, "Tentu tidak, mana mampu ibu memarahi anak malang sepertinya" ucap Althea.

"Ibumu benar, kalaupun ada yang harus dimarah adalah orang-orang jahat yang membuat Dion merasakan neraka dunia itu" lanjut Raphael.

"Apakah kita akan mencari mereka?" tanyaku polos. Anggukan mantap dari Althea dan Raphael seketika meyakinkanku, sekarang tugasku hanya memberikan ingatan manis kepada Dion sampai ia melupakan trauma masa lalunya.

Ah trauma ya? Sebelum bertransmigrasi ke dunia ini, aku pernah mendengar bahwa trauma itu tidak akan bisa menghilang, tidak akan bisa disembuhkan. Bodohnya diriku pernah berharap kalau aku bisa 'sembuh', tapi setidaknya efek trauma itu bisa saja ditekan selama tidak ada yang memicunya, dan kita sebisa meungkin membuat pikiran korban teralihkan dari ingatan yang bisa memicu traumanya.

~~//~~

Hari menjelang siang, Althea dan Raphael tidak membuang waktu sama sekali dan lagnsung memulai penyelidikan. Dokter pun tiba untuk memeriksa Dion, beberapa saat setelah aku menceritakan mimpiku pada Althea dan Raphael. 

Dan sekarang, seperti biasa, aku menjalani tugasku untuk menjadi teman baik Dion.

Kami saat ini berada di ruang musik, karena sejak kami datang ke ghandafar, aku ingin sekali masuk ke ruangan musik ini. 

Di kehidupan sebelumnya, aku memang memiliki ketertarikan tersendiri terhadap seni musik, ayahku mengajariku bernyanyi sejak kecil dan saat aku SMP kakakku mengajariku bermain gitar. Meski saat itu aku menyerah karena aku tidak kuat menekan senarnya, akhirnya saat SMA aku kembali belajar secara otodidak hingga akhirnya bisa. Meski tidak sepiawai itu.

Ruang musik yang cukup luas, sesekali aku melihat Althea dan Raphael menghabiskan waktu bersama dengan berdansa disini. Ada piano, cello, biola dan saxophone. Semuanya nampak dirawat dan ruangan ini pun nampak sangat bersih.

I Wrote This StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang