First Heat

1.2K 131 1
                                    

[Leon's POV]

"Lady anda tidak apa-apa?!"

"Lady?!"

"Ariel!"

Aku langsung menoleh saat nama adikku diserukan. Dari arah meja para lady disana, kulihat mereka sudah berkumpul memenuhi satu titik. Dan jika sudah seperti ini, pasti ada apa-apa.

Dengan cepat aku berlari, 'Ariel...' batinku khawatir. Sejak di kereta, aku sudah menduga bahwa hari ini adalah harinya. Bau yang kucium waktu itu adalah pheromone milik Ariel, dan itu artinya Ariel akan segera mengalami heat.

"Minggir!" seruku pada para lady yang mengerubungi Ariel seperti lalat. Melihat kondisi Ariel dengan wajah memerah karena panas, nafas tidak teratur dan kondisi tidak sadarkan diri. Sudah dipastikan bahwa ini adalah heat.

Namun sebelum aku membantunya, aku terlebih dahulu menutup hidung dan mulutku dengan sapu tangan agar tidak menghirup pheromone itu.

Bagi seorang Ghandhafar mungkin keadaan Ariel saat ini adalah kesempatan emas untuk melakukan sesuatu yang menjijikan. Namun beruntung darah ghandhafarku tidak terlalu kental, heat dan pheromone-ku pun tidak sekuat ini. Dan pheromone Ariel juga tidak akan terlalu memperngaruhiku.

Claudia berbaik hati meminjamkan sebuah kamar untuk Ariel tempati. Aku pun membaringkan tubuh Ariel yang menggeliat, karena aku yakin saat ia yang merasakan panas yang luar biasa.

Bukan, bukan panas seperti terpapar matahari. Panas ini seperti gejolak dari dalam tubuh, sesuatu yang hanya bisa diredakan dengan hubungan badan. Dan adikku masih belum cukup umur untuk melakukan hal semacam itu, ditambah setahuku ia tidak memiliki pasangan.

Itu sebabnya ibu menyuruhku untuk ikut, yaitu untuk membawakan obat penekan panas heat. Dengan obat ini, Ariel perlahan akan membaik, meski pheromone dan heat-nya tidak akan sepenuhnya hilang, hanya mereda saja.

"Kami harus segera kembali, terima kasih dan maaf telah mengganggu acara anda" ucapku pada Claudia setelah memberi obat itu pada Ariel dan kurasa efeknya mulai bekerja.

"Anda yakin? Saya tau ini bukan hal biasa untuk manusia pada umumnya, jika anda merasa tak sanggup membawanya pulang maka beristirahatlah disini sementara" ucap Claudia. Ya, bagaimanapun aku masihlah memiliki darah Ghandhafar, namun naluriku sebagai seorang kakak tidak mungkin bisa membuatku melakukan hal keji seperti itu. Ariel, adalah adikku, titik.

Aku menggendong Ariel di kedua tanganku, "Terima kasih, tapi saya tidak selemah itu" ucapku berjalan keluar dari kamar itu hendak menuju kereta kuda kami di halaman depan.

"Akan saya panggil kusirnya" kulihat suami Claudia yang berjalan mendahuluiku.

Aku tersenyum kecil padanya, "Terima kasih" ucapku.

Mataku pun turun melihat wajah yang sudah berkeringat dingin di dalam gendonganku, "Kau dikelilingi orang-orang baik Ariel. Dan meski mereka jahat sekalipun, kakak akan selalu melindungimu"

Setelah kereta kudanya siap, aku an Ariel pun segera berangkat pulang ke kastil Aquillio. Perjalanan terasa begitu panjang karena aku harus mengendalikan Ariel dan diriku sendiri.

Sesampainya di kastil Aquillio, para pekerja buru-buru menghampiri kami karena panik melihat Ariel yang setengah sadar di gendoganku.

Terutama orang tua kami yang panik bukan main, ayah kami sadar bahwa akan berbahaya jika ia mendekati Ariel pun segera menjauh dan memberi perintah dari jauh.

Ibu membantu para maid mengganti pakaian Ariel, ayah memerintahkan untuk tidak ada satupun lelaki yang boleh masuk ke kamar Ariel, atau bahkan melewati kamarnya sekalipun. Hanya ibu dan Hannah yang boleh masuk ke kamarnya untuk memberikan makan dan obat penekan heat.

I Wrote This StoryWo Geschichten leben. Entdecke jetzt