Lingga Baganti- 32

618 88 1
                                    

"Nenek gue udah meninggal dari gue masih kecil."

Semua orang terdiam ketika Saddam menjawab pertanyaan dari Paris.

"M-maaf." Paris benar-benar merasa bersalah.

Saddam menggeleng. "Gak ada yang salah dari pertanyaan Lo, gue terkadang juga bertanya tentang di mana dirinya. Tapi sayangnya gue udah tahu jawabannya, kalau nenek gue udah gak ada."

"Dan ... orang tua Lo?" Kaivan bertanya.

Saddam diam sejenak, ia tidak pernah memprediksi tentang pertanyaan ini sehingga ia harus menemukan jawaban yang pas.

"Gue gak pernah punya orang tua."

"Hah?" Jawaban singkat dari Saddam membuat semuanya kebingungan.

"Gue ... gak pernah tahu tentang orang tua gue, dan nenek juga gak pernah bilang tentang mereka," ujarnya sekali lagi.

Mereka lagi-lagi terdiam. Kebingungan di kepala mereka semakin menjadi-jadi. Jika nenek Saddam telah meninggal sejak ia kecil, dan Saddam tak pernah tahu tentang orang tuanya, maknanya Saddam hanya sendirian bukan?

Lantas dari mana ia mendapatkan tunjangan biaya hidup dan bahkan bisa bersekolah di sekolah elit seperti Lingga Baganti? Biaya perbulannya untuk bisa belajar di sana saja benar-benar tidak bisa dibayangkan berapa besarnya.

"Maaf Saddam, maaf banget kalau gue lancang. Tapi berarti selama ini Lo sendirian dong? Gimana caranya Lo dapetin uang sedangkan—"

"Nenek punya sebuah usaha yang dikelola sama Kakak gue." Saddam langsung menyela.

Mereka akhirnya bernapas lega, hampir saja mereka berpikiran buruk tentang Saddam. Mungkin kakak yang dimaksud Saddam adalah potret gadis cantik di dekat tangga tadi.

"Foto cewek di deket tangga tadi itu kakak Lo kan?" tanya Fannan.

Saddam mengangguk. "Dia baru aja meninggal delapan bulan yang lalu."

Napas ke-sembilan orang itu tercekat, jadi gadis cantik tadi telah meninggal? Ke sembilan-nya saling tatap. Itu berarti, Saddam benar-benar hidup sendirian sekarang bukan?

Ah Isamu ingat delapan bulan yang lalu bertepatan dengan acara yang diadakan DJ sekolah, ia bisa melihat bahwa Saddam memang tampak berbeda hari itu.

Tapi kali ini tidak ada yang berani bertanya, takut mereka diberikan kejutan lebih. Tampaknya diam memang lebih baik.

Sedangkan Saddam menarik sudut bibirnya tipis, menatap pada sosok gadis cantik yang berdiri di dekat pintu, sosok itu telah menyambutnya dari kedatangan mereka tadi.

Menyunggingkan senyuman tipis yang juga dibalas oleh sosok itu. Mereka benar, Saddam sendirian sekarang. Tapi ... ia juga tidak sendirian.

★★★

Minuman telah tersaji masing-masing di depan mereka, tapi mereka masih sungkan untuk meneguk cairan berwarna kekuningan itu barang seteguk pun.

Saddam menatap satu persatu dari para OSIS sebelum menghela napas, sepertinya mereka tidak berniat meminum apa yang ia sajikan, padahal Saddam telah repot-repot membuatkan mereka minuman.

"Itu hanya teh, minumlah. Daun yang dibuat untuk teh itu diambil dari kebun teh keluarga yang terletak di pegunungan yang jauh, ini mahal." Saddam membenarkan letak kacamatanya, menatap satu persatu dari mereka.

Isamu berdeham, merasa bersalah sebenarnya karena tidak menghargai Saddam yang telah repot-repot membuatkan mereka minuman. Ia yang paling pertama kali minum teh itu, sedangkan yang lainnya menatap penuh harap pada Ketua OSIS itu.

Isamu tersenyum puas setelah meminum seteguk. "Ini manis, enak." Lalu meminumnya lagi.

Para OSIS pun mulai meneguk teh itu, seakan menyetujui ucapan Isamu, mereka meminum teh itu hingga tandas.

Saddam di sana menghela napas, mereka semua berakhir di ruang tamu karena ia tidak menemukan hasil yang memuaskan di kamar neneknya. Buku-buku tua itu hanya berisi tentang obat-obatan tradisional keluarga, juga beberapa resep membuat kue jahe.

"Jadi petunjuk yang dikatakan nenek itu bukan di sini?"

Saddam menatap Daniel lekat, ia duduk tepat di sebelah kendi kecilnya. Saddam menggeleng.

"Petunjuk itu ada di sini, gue tahu itu memang di sini. Nenek gue gak akan membuatnya menjadi mudah, kita hanya perlu menjadi cerdik untuk menemukannya."

Para OSIS menatap Saddam yang tengah berkomunikasi dengan Daniel.

Paris menatap setiap sudut ruangan di sana, memang terlihat seperti rumah antik khas jaman kerajaan. Mungkin Saddam bukan keturunan orang biasa, dan ketika dia selalu mengatakan 'Keturunan Kama' itu pasti sesuatu yang sangat terhormat.

"Apa Kama nama orang?"

Semua orang menatap Paris, tak terkecuali Saddam yang sekarang tengah menaikkan sebelah alisnya.

"Bukan maksud gue ikut campur urusan pribadi Lo, tapi karena Lo bilang kita semua adalah anak yang diramalkan, bukankah kita harus ikut berusaha bantu Lo nemuin petunjuk yang dibilang nenek itu?"

Saddam terdiam sebentar, sebelum menghela napasnya.

"Kama adalah nama Dinasti ketiga, sekaligus Dinasti terakhir. Mereka dahulu mendiami sebagian besar wilayah Sumatera, mereka yang paling kuat dan tak terkalahkan. Tapi akhirnya Dinasti itu runtuh karena perang saudara, sebuah kisah klasik."

"Dan orang-orang di sana pandai bermain magic?" Paris bertanya dengan hati-hati.

Saddam mendengus, sedikit terkekeh. "Lo cukup cerdas dalam menelaah sesuatu."

"Salah satu hal yang membuat Dinasti Kama menjadi Dinasti paling kuat sepanjang sejarah adalah karena ilmu sihir yang mereka kuasai dan berada di level tertinggi. Dan hal itu pulalah yang membuat mereka hancur."

"Kalo Lo keturunan terakhir dari mereka? Berarti Dinasti Kama belum benar-benar runtuh dong?"

Saddam menggeleng. "Dinasti Kama memang benar telah runtuh, gue pun gak tahu kenapa gue dibilang keturunan terakhir dari Kama. Dari kecil nenek selalu bilang, jaga diri gue baik-baik karena gue adalah keturunan Kama yang akan mengembalikan alam menjadi tatanan awalnya."

Para OSIS itu mengernyit tak mengerti membuat Saddam berdeham.

"Intinya, gue adalah reinkarnasi dari salah satu Kama di masa lalu. Nenek gue bilang gue telah dua kali bereinkarnasi, dan Saddam yang kalian lihat sekarang adalah kelahiran ketiga gue. Tapi, gue sama sekali gak ingat tentang kehidupan gue yang lalu.

Itulah yang coba gue cari tahu, karena untuk mengingatnya terasa sangat susah. Gue yakin, jika kehidupan lalu gue terungkap, itu juga bisa mengungkap tentang peristiwa yang terjadi di Lingga Baganti sekarang."

"Jadi ... tentang Daniel? Kenapa kita harus tahu kematiannya juga?" Isamu bertanya.

"Karena gue yakin, kehidupan gue di masa lalu dan Daniel saling berhubungan. Ada sesuatu yang besar yang terjadi di masa lalu hingga kita semua berada di sini hari ini."

Para OSIS itu mengangguk paham. Semua ini sangat rumit untuk diurai satu persatu. Untuk melawan Abraham Franklin, mereka terlebih dahulu harus tahu tentang kenapa Abraham Franklin datang ke Lingga Baganti. Sedangkan kunci dari pertanyaan itu ada pada kehidupan masa lalu Saddam dan penyebab kematian Daniel.

Dan sekarang mereka harus menemukan petunjuk pertama agar semuanya menjadi semakin jelas.

"Jadi Lo benar-benar buntu tentang di mana tempat petunjuk pertama itu disembunyikan?" Hikaru bertanya.

Saddam menatapnya lekat, lalu menggeleng. Telunjuk pucatnya menunjuk sebuah pintu kamar yang di depannya terdapat sebuah lilin merah.

"Kamar yang selalu nenek larang gue atau kakak gue buka, kamar orang tua gue."

Lingga BagantiWhere stories live. Discover now