Lingga Baganti- 43

626 93 2
                                    

Semua OSIS itu berdiri sangat dekat satu sama lain, melihat apa yang dilakukan Saddam di depan sana. Pemuda itu tampak tengah membaca sesuatu yang entah bahasa apa, sebelum menyiram telapak tangannya dengan air suci miliknya.

Saddam perlahan menempelkan telapak tangannya ke dinding tempat di mana ia mendapatkan luka bakarnya tadi, seketika itu juga asap mengepul bewarna hitam keluar dari sana. Seperti api yang baru saja disiram air, tapi asapnya berwarna hitam.

Terdengar bunyi besi bertemu besi, terdapat celah di sana. Pintu yang mengarah ke bawah tanah itu baru saja terbuka, membuat para OSIS yang berdiri di belakang sana menganga tak percaya dengan apa yang baru saja mereka lihat.

Jadi selama ini, Lingga Baganti menyembunyikan ruangan seperti ini dari semua orang? Rahasia besar apalagi yang belum mereka ketahui tentang sekolah tua ini?

Saddam mendorong pintu itu, hingga terlihat tangga menuju ke bawah. Sangat gelap, pantas saja Saddam tak bisa menembusnya.

Ia berbalik ke belakang, menatap satu persatu dari para OSIS. Sepertinya memang ini saatnya, mungkinkah ini waktu yang dikatakan neneknya, di mana ia akan mempertaruhkan nyawanya melawan Iblis Hitam?

"Harus ada yang tinggal di sini untuk mengawasi, apakah ada pergerakan dari Abraham Franklin atau gak," ujar Saddam.

Pada OSIS itu saling tatap, tentu tak mau ditinggal sendiri, tapi mereka juga tidak ingin masuk ke ruangan gelap yang entah apa isinya itu.

Lama saling tatap, akhirnya Luna mengajukan diri.

"Lo yakin?" Saddam menatap lekat gadis itu, ia ingat Luna punya seorang penjaga, tapi apakah itu cukup?

Luna dengan berani mengangguk. "Anggap ini merupakan tanggung jawab gue sebagai salah satu anggota OSIS. Lo udah berkorban banyak untuk kita semua, Saddam, jadi ini yang bisa gue lakuin."

Saddam mengangguk, ia menatap penjaga yang berada di samping Luna, tampaknya nenek tua itu juga setuju.

"Hati-hati, kalau Lo melihat hal yang gak biasa, teriak aja, gue pasti denger."

Luna mengangguk, ia menatap nanar pada teman-temannya yang satu-persatu mulai menuruni tangga itu.

Sekarang ia sendirian.

Para OSIS itu menuruni satu demi satu tangga dengan perasaan was was, selalu waspada karena mereka sama sekali tidak tahu apa yang tersimpan di dalam ruangan ini.

Dari sini Saddam sudah bisa mencium aroma yang tak biasa, kepalanya pusing tapi mencoba untuk tetap kuat. Ia melihat Daniel yang tertunduk sejak tadi, pasti aroma di tempat ini mempengaruhi jiwanya.

Sampai pada undakan tangga terakhir, ternyata ada sebuah pintu. Seperti Deja Vu, Saddam ingat pintu ini.

Ini pintu yang menjadi tempat datangnya para manusia berjubah itu membawa peti berisi tubuh Daniel. Tubuhnya semakin bergetar, ini tempatnya.

Perlahan ia mencoba membuka pintu itu, yang lain mencoba menyalakan lampu ponsel mereka masing-masing. Karena sumpah, ini bukan hanya gelap, tapi juga pengap. Mereka sampai tidak bisa melihat satu sama lain.

Ketika pintu itu terbuka, bunyinya berderit. Daniel berjalan perlahan ke depan, Saddam mengikutinya dari belakang sembari memperhatikan arwah itu. Saddam yakin, Daniel juga punya penglihatan ini.

Mereka semua masuk, menutup mulut tak percaya dengan sebuah peti yang terletak di tengah.

Daniel datang, langkahnya bergetar ketika perlahan ia melihat tubuhnya terbaring di sana. Ia tak kuasa menahan air mata ketika seluruh tubuhnya benar-benar terlihat di sana.

Ia memegang peti itu, pandangannya sekarang berubah, tidak ada kebingungan lagi, malahan sekarang kesedihan yang sangat mendalam.

Saddam juga ikut maju, menatap tubuh Daniel yang telah tersimpan di sana selama lebih dari seratus tahun tahun.

Para OSIS itu pun terkesiap, karena tiba-tiba, secara perlahan, arwah Daniel menampakkan dirinya kepada mereka. Arwah itu tampak menangis pilu, mencoba menggapai tubuh kakunya yang tak berdaya.

"Saddam, kenapa mereka melakukan hal ini padaku?"

"Apa yang telah aku perbuat pada mereka sampai aku harus menderita sebanyak ini?"

"A-aku, aku sendirian di sini selama lebih dari tujuh puluh tahun, tak pernah tahu bahwa jaman telah berubah. Aku hanya ingin tenang, aku hanya ingin bersama orang tuaku kembali. Kenapa harus aku yang dikorbankan, Saddam? Aku bukan orang jahat."

Saddam ikut menangis, bahkan para OSIS yang sejatinya tidak kenal dekat dengan Daniel Ogawa juga bersedih untuknya. Bahkan Edrea sekarang meneteskan air mata, momen pertemuan Daniel dengan tubuhnya yang berpuluh-puluh tahun dalam kebingungan, itu benar-benar membuat dadanya sesak.

Mereka semua tidak bisa membayangkan menjadi Daniel, tujuh puluh tahun bukan waktu yang singkat, dan dia menjalani hari-harinya di Lingga Baganti dengan kebingungan dan sendiri.

Syukurlah pada akhirnya takdir mempertemukan mereka semua, dan Daniel bisa melihat tubuh yang selama ini hilang tanpa jejak. Selain itu, tubuh itu juga pasti bisa menjadi penghubung untuk Daniel dan keluarganya.

"Daniel, Daniel Ogawa, gue senang karena Lo udah bertemu dengan tubuh lo. Gue menantikan hari di mana tatapan Lo bukan lagi kebingungan." Saddam menghela napas. "Tapi itu semua gak akan mengubah apa yang terjadi sekarang ini."

"Gue pastikan gue akan balaskan dendam Lo, juga menebus dosa yang telah gue lakukan di masa lalu. Maaf Daniel, jika waktu itu gue gak egois, mungkin semua ini akan berbeda."

Tampak Daniel menatap pada Saddam, lalu menggeleng.

"Ini bukan salahmu, Saddam. Kamu tetap menjadi teman terbaikku, terimakasih telah menepati janjimu, terimakasih telah menemukanku kembali."

Saddam menarik napasnya, mencoba menekan tangis. Ia mengangguk, mereka akan menjadi sahabat bagaimanapun kondisinya di masa depan nanti.

Tapi, ada satu hal yang membuatnya kebingungan sekarang. Bukankah di mimpinya terdapat tiga peti waktu itu? Ia bahkan ingat wajah kedua murid yang bersama Daniel, tapi kenapa sekarang hanya ada satu peti? Kemana peti mereka berdua? Itu membuat Saddam merasa aneh.

"AAAAAAAAKKHH!"

Suara teriakan dari atas membuat semuanya terkejut, Saddam dan Daniel saling tatap, begitupun para OSIS.

Itu suara ...

"Luna!"

Mereka berlari dengan tergesa-gesa kembali ke atas, setelah sebelumnya Saddam sempat mengambil beberapa helai rambut Daniel di sana.

Ketika sampai di atas, pintu ruang bawah tanah tiba-tiba saja tertutup dengan keras membuat semuanya menjerit.

Luna menghilang, mereka tidak melihat Luna.

Saddam menatap pada penjaga Luna yang dicekik oleh sebuah bayangan hitam. Alarm di kepalanya menyerukan tanda bahaya.

Mereka berlari ke arah aula, mendapati ruangan itu sangat berantakan, dipenuhi oleh bulu-bulu gagak, bahkan juga ada bangkai gagak di sana.

Semuanya berdekatan, ketakutan. Apalagi setelah melihat langit yang tadinya mendung, sekarang berubah menjadi gelap seluruhnya.

"AAAAAKKH!"

Suara teriakan lagi-lagi terdengar, kali ini berasal dari atap. Semua orang saling tatap satu sama lain, baiklah, mungkin ini memang waktunya.

"Ke atap!"

Teriakan Saddam membuat mereka semua berlari ke atas dengan tergesa-gesa. Tak peduli dengan apapun lagi, karena Luna, teman mereka dalam bahaya.

Lingga BagantiWhere stories live. Discover now