Part 2.

19.3K 1.8K 36
                                    


                                              Enjoying~














Di sebuah kamar rawat VIP, keluarga Gratavic berkumpul. Mulai dari Alex selakqu ayah Cello. Ada Diana ibunya. Terdapat juga si sulung Gavino dan kedua Fiola. Mereka tengah duduk di sofa yang tersedia di ruangan tersebut.

Sementara di brangkar rumah sakit, terdapat seseorang menutup mata erat. Dia adalah Harvin, anak ketiga keluarga Gratavic yang dinyatakan koma selama 3 bulan akibat kecelakaan. Harvin adalah anak yang pembangkang dan anti aturan. Dari pada Harvin, Cello si bungsu sedikit lebih penurut dan tak banyak tingkah.

Tetapi Gratavic tak pernah menuntut banyak hal pada Harvin. Cukup sedikit gertakan agar Harvin lebih menurut dan tak terus-terusan menempatkan diri dalam mara bahaya.

"Ayah, bagaimana keadaan kak Nathan?"ujar Cello yang memecahkan keheningan. Semua mata tertuju pada dirinya. Mulutnya gatal ingin menanyakan hal ini sejak tadi. Tetapi melihat seluruh ruangan hening,  Cello enggan bertanya.

Diana di samping Cello hanya bisa tersenyum samar. Ia menepikan anak rambut Cello kebelakang telinganya. "Dia masih belum sadar. Doakan saja yang terbaik untuk dia, hm?" jawabnya lembut. Dia tau betapa khawatir bungsunya pada orang yang telah menjadi guru les anaknya.

"Mengapa kamu begitu khawatir pada orang asing seperti nya Cello?"tanya Fiola yang mulai jengah karena sang adik selalu menanyakan Nathan. Bukannya ia tak suka, tetapi entah kenapa membuat telinganya panas.

Cello menghela nafas. " Aku sudah bersamanya selama 2 tahun kak. Itu bukan waktu yang sebentar. Lagi pula kak Nathan begitu baik padaku. Wajar saja jika aku khawatir."

Fiola berdecak. Gadis itu bersedekap dada. "Ck menyebalkan. Aneh sekali. Sudah menjadi pekerjaan dan tanggung jawab dia menjadi guru. Masalah pribadi, tidak ada urusannya dengan kita. Kenapa kita harus susah-susah mengkhawatirkan dia dan memenuhi kebutuhan dia dirumah sakit. Lagi pula, kondisi Harvin lebih memprihatinkan. Kenapa kamu malah memikirkan orang yang jelas sekali asing bagimu." gadis itu berujar sinis.

"Kau terlalu berisik Fiola. Menjauhlah dariku!" seru Gavino tiba-tiba  mendorong sedikit tubuh Fiola.

"Apaan sih bang!"kesal Fiola. Dia berdiri dan beranjak ke sofa di ujung. Ia berjalan menghentakkan kaki marah dengan sikap Gavino. Gavino merasa puas membuat adik perempuannya pergi. Entah mengapa telinganya berdengung mendengar ocehan Fiola.

Cello tak suka penuturan Fiola. "Seaneh apapun bagi kakak, tapi tidak bagiku. Jangan banyak komentar. Kalau iri, cari saja orang asing yang berharga bagi kakak. Juga, aku khawatir pada abang lebih dari yang kakak tau," sahutnya sinis. Dia memalingkan muka malas menatap Fiola.

"Oh, jadi ini yang di ajarkan guru itu padamu? Tidak sopan dan membalas perkataan yang lebih tua?" jawab Fiola dengan ucapan sarkas.

"Loh? Ngaku kalau udah tua?"

Keadaan semakin panas karena Cello yang biasanya diam membalas ucapan Fiola. Dia tak suka ketika Nathan yang begitu dia hormati dihina di depannya. Guru yang mengajarkan dirinya bukan hanya satu pelajaran. Guru yang berhasil mendidik dia menjadi pribadi sabar dan bersyukur.

"Sudah-sudah, kenapaa kalian jadi bertengkar begini?" tegur Diana. Wanita beranak 4 itu menggelengkan kepala heran. Jika itu si sulung dan  si anak kedua sudah biasa baginya. Namun yang terjadi sekarang malah si bungsu yang penurut dan pendiam.

"Adek juga ga boleh gitu sayang." Dia juga menegur Cello. Tak ingin pertengkaran semakin besar juga supaya kemarahan sang anak tak membeludak di karenakan anak keduanya.

"Jadi hanya kakak yang boleh?" seru Cello. Tanpa mendengarkan jawaban yang akan di katakan oleh Diana, dia pergi dari ruangan itu mengabaikan panggilan yang di tujukan padanya. Tak ingin menetap jika sang kakak akan terus mengoceh hal buruk tentang kakaknya, Nathan.

Diana menghela nafas. "Lain kali jangan membuat adikmu kesal Fiola, " ujarnya menatap sang putri yang acuh.

"Kapan aku membuatnya kesal?" ujarnya mengelak. Karena dia merasa tak ada sesuatu yang mengharuskan adik bungsunya kesal kecuali topik pria yang menjadi guru Cello.

"Bodoh! Kau menyinggung soal Nathan tadi, " timpal Gavino merasa adiknya itu sangat bodoh.

"Cih, hanya karena orang asing itu?"

"Asing bagimu, tapi tidak dengan Nathan." Fiola diam tak menjawab karena kalah telak dengan abangnya. Dia menyibukkan diri dengan apapun di sekelilingnya.

"Seperti biasa keluargamu begitu ramai Alex." Suara orang menyapa keluarga Gratavic. Alex selaku yang di sapa membalikkan badan setelah mengenal siapa pemilik suara berat itu.

Dia yang tadinya diam mendengarkan putra putrinya bertengkar terkejut kemudian berdiri. Menghampiri orang itu kemudian menjabat tangan. "Dominic, bagaimana kabarmu?" sapanya.

Pria itu, Dominic terkekeh pelan. "Seperti yang kau lihat Alex."

"Mengapa kau ada disini? Lebih tepatnya, apa yang kau lakukan disini?" tanya Alex penasaran. Karena yang dia tau, temannya yang satu ini merupakan orang yang sibuk dan misterius. Tak pernah ada yang tau pasti dimana Dominic singgah sehingga membuat Alex serta teman yang lain begitu sulit menghubungi Dominic.

"Mencari kucing nakal. Dia sedang dirawat disini. Kebetulan aku juga mendengar jika putra nakalmu juga ada disini, " ujarnya lalu melirik Harvin di brangkar pesakitannya.

Alex menghela nafas kemudian memijat pelipisnya. "Seperti yang kau tau Dominic. Putraku koma setelah kejadian lalu. Entah sampai kapan dia akan tidur. Kuharap dia cepat bangun."

Dominic menepuk bahu Alex. "Jangan risau. Percaya pada putramu, dia kuat. Sama seperti putra nakalku."

"Oh aku baru ingat, kau mencari Nathaniel?" ujar Alex yang baru ingat jika Nathaniel atau orang yang sering dipanggil Niel itu merupakan putra Dominic.

"Ya."

"Kau menemukannya?"

Dominic mengangguk. "Dia juga ada di rumah sakit ini."

Alex terkejut. "Kenapa dengan Nathaniel Dom?"

Dominic terkekeh pelan. "Kau terlalu lembek Alex. Sesuatu yang  pasti seperti ini masih kau tanyakan. Memangnya, tiga bulan lalu.. Putramu bersama dengan siapa? " nada Dominic sedikit mengejek. Terdapat emosi di setiap katanya.

Lagi-lagi Alex di buat terkejut. Dia menepuk dahinya pelan. Bagaimana bisa dia lupa keadaan teman yang katanya bersama putranya. Dan lagi, pemuda itu merupakan anak temannya. "Astaga Dominic. Maafkan aku. Kala itu aku kalang kabut karena kondisi Harvin. Apakah Niel baik-baik saja?" Ucapnya penuh sesal.

"Dia sama seperti putramu. Tetapi, seharusnya nanti malam dia bangun. Kalau tidak tepat waktu, akan aku pastikan, dia tak akan pernah bisa pergi dari mansion," sahut Dominic menyeringai keji. Ya, setelah di buat menunggu begitu lama, Dominic tak ingin di buat menunggu lagi. Putra manisnya harus bangun nanti malam. Atau dia akan meledakkan rumah sakit ini beserta isinya karena tidak becus menangani sang putra, tak peduli jika anak temannya juga dirawat di rumah sakit yang sama.

Alex hanya bisa menggelengkan kepala tak heran. "Aku mengerti kenapa Nathaniel sering lari darimu."

Dominic tersenyum tipis. "Kalau begitu aku pergi. Ketika putra kita bangun nanti. Aku akan menetap disini. Karena sepertinya kedua putra kita berteman tanpa disadari, "ucap Dominic kemudian melangkah pergi. Tak ingin buang-buang waktu untuk sekedar menyapa Diana dan kedua anaknya.

" Tadi Dominic? " Tanya Diana setelah kepergian Dominic. Alex mengangguk lalu kembali duduk. Dia masih kepikiran tentang Nathaniel. Mengapa bisa dia sampai lupa tentang pemuda atau Nathaniel yang bersama Harvin waktu itu.

Alex berharap jika sang teman tak memiliki dendam karena telah mengacuhkan putranya yang sama-sama terluka.











Tbc.

Being the youngest - End - TERBITWhere stories live. Discover now