Part 14.

11.4K 1.3K 54
                                    












Nathan berjalan santai di depan Delvin dan Catra. Dia memakai kaos kebesaran hitam dan celana hitam. Delvin memakai celana jeans dan hoodie yang juga berwarna hitam. Berbeda dengan Catra memakai sweater biru dan celana pendek sepaha. Kaos kaki di bawah lutut dan sepatu putih.

Mereka melangkah masuk ke dalam kafetaria yang dimaksud oleh Nathan. Lelaki itu langsung memesan ke kasir tanpa duduk terlebih dahulu. Dia tak sabar ingin merasakan puding banana yang menjadi menu best seller di kafe tempat ia singgah saat ini.

Delvin hanya menggeleng pelan. Dia berbalik ke arah kiri untuk menemukan tempat duduk yang cocok. Catra celingukan antara ikut Nathan atau Delvin. Dia gugup memegang erat tas yang ia sandang, seperti anak kecil yang tertinggal dengan orang tuanya.

Delvin berdecak melihat Catra. Ingin memanggil tetapi dia terlalu malas. Apakah sepupu satunya itu bodoh. Kenapa malah diam alih-alih mengikutinya.

Catra memandang Delvin. Ia segera mendekati lelaki itu ketika alis Delvin terangkat menatap tingkah lakunya. "Maaf abang, Catra tadi sempat bingung ingin ikut siapa, " ujarnya setelah duduk. Dia dengan gugup menatap Delvin.

Delvin mengangkat bahu acuh, menanggapi ucapan Catra dengan deheman. Lalu mengambil ponsel memainkan game tanpa niat mengobrol dengan Catra.

Catra hanya bisa tersenyum canggung. Suasana hening di antara keramaian. Catra tidak suka situasi ini. Ingin memulai percakapan tapi dia terlalu takut. Aura di sekeliling Delvin seakan mengatakan jika dia tak ingin di ganggu.

Tak!

Catra mendongak saat Nathan menaruh sepiring puding banana. Di ikuti dengan pekerja cafe yang membawa banyak sekali pesanan. Catra mengernyitkan alis, apakah dia tidak usah memesan? Meja sudah penuh dengan cemilan dan minuman.

"Nih, aku pesen banyak. Harus habis!" ujar Nathan. Dia membantu menata pesanannya di meja. Ia tersenyum bangga. Setelah susah payah menanyakan cemilan kesukaan abang ketiga dan sepupu satu-satunya.. Ia berhasil memesan semuanya.

Dia juga tak memanggil dirinya dengan nama. Berhubung dia tak bersama dengan keluarga yang mengharuskan dia melakukan itu. Apalagi Delvin terlihat tak masalah.

Catra membelalak tak percaya. "H-harus habis Niel?" gagapnya.

Nathan tersenyum sumringah, menampilkan deretan gigi yang begitu rapi. "Ga harus Cat.. Makan aja sebisamu, " Sahutnya dan duduk di sebelah Delvin.

Pergerakannya membuat Delvin menoleh. Delvin pun menaruh ponselnya lalu melihat pesanan yang sudah tertata rapi. Saking fokusnya dia, Delvin sampai tidak sadar jika beberapa cemilan datang. Dia mengusak rambut sang adik lalu mengambil salah satu cemilan untuk di makan.

Mereka pun mencicipi seluruh cemilan tersebut. Di selingi obrolan ringan Nathan bersama Catra, lalu Delvin yang menimpali sedikit. Sampai tiba-tiba seseorang datang memanggil Delvin.

"Kak Delvin?"

Sontak mereka bertiga mendongak melihat siapa yang telah menyapa Delvin. Tiga reaksi berbeda akan kedatangan orang itu. Delvin yang berdecak, Catra yang bingung dia siapa, Nathan yang membolakan mata tak percaya.

"Apa?! " Nada Delvin sedikit sewot, sejak tadi.. Dia sudah berusaha kalem agar tak melakukan hal memalukan di depan kedua adiknya. Dia tak ingin terlihat jelek. Lalu datanglah seorang pengganggu menurutnya. Delvin tak bisa tak sewot jika berhadapan dengan bocah tengil yang sangat ia tak suka.

"Kak, boleh aku duduk disini?" tawarnya. Senyum nya tak luntur di wajah orang itu. Dia juga tersenyum ke arah Nathan dan Catra. "Emm boleh aku duduk disana?" Tanpa tau malu juga, orang itu meminta tempat duduk Nathan.

Nathan pun berdiri dan duduk di sebelah Catra. Delvin yang belum sempat bereaksi pun berdecak kesal. "Siapa yang ngizinin lo duduk disini?" geramnya.

Rafael tertawa pelan. "Hanya tempat duduk kak. Lagian ini kosong kan?"

Delvin mendengus. "Lo pasti buta. Jelas-jelas itu tempat adek gw!"

"Halo aku Rafael salam kenal ya." mengabaikan ucapan Delvin, Rafael menjulurkan tangan menyapa Nathan dan Catra.

Nathan membalas uluran tangan Rafael kaku. "Nathaniel." begitu pula Catra yang mengenalkan dirinya. Setelah itu, Rafael total abai dan memilih menganggu Delvin.

"Ayolah kak.. Kamu tau kan, abang sulungku udah mati?"

Deg!

" Ga tau dan ga tertarik untuk tau." padahal sejak tadi Delvin sudah mengacuhkan bocah menyebalkan di sampingnya ini. Tetapi Rafael sama sekali tak patah semangat. Entah apa maunya.

Berbanding balik dengan Nathan. Jantungnya berdetak lebih cepat ketika adik bungsunya mengatakan tentang kematiannya. Kedatangannya saja sudah mengejutkannya. Apalagi Rafael kenal dengan Delvin.

"Sayang sekali sih dia harus mati. Dulu aku tidak perlu berusaha lebih keras karena selalu ada dia yang melakukan semua kemauanku. Tapi sekarang dia udah ga ada. Jadi ga ada orang yang bisa aku manfaat kan di rumah untuk mengerjakan prku." Rafael berujar enteng. Dia terlihat tak terpukul atas kematian abang sulungnya.

Delvin acuh, dia sama sekali tak ingin mendengarkan.

"Kenapa bukan kakak sih abang aku?"

Entah kenapa hati Nathan bersenyut sakit.


**

"Sania.. Sebenernya maumu apa?" Darma berujar lelah. Dia duduk di pinggir ranjang. Sementara Sania tidur menyamping di ranjang. Ia menangis merasakan denyutan di kepala karena rambutnya di tarik kerasa serta pipi yang sakit dan tangan lebam.

"Aku hanya ingin yang terbaik untuk putraku Darma. Apa itu salah?" lirih Sania. Dia hanya ingin putranya diperlakukan sama seperti perlakuan keluarga Barrack terhadap Niel.

Darma meraup wajahnya tak mengerti. "Sania.. Dalam hal kasih sayang Catra tak kekurangan apapun. Bahkan semua fasilitas nya pun tak ada yang berkurang. Aku sebagai ayahnya adalah saksi betapa keluarga ku menyayangi nya, Sania."

"Itu masih kurang Darma. Perlakuan mereka berbeda ketika bersama Niel. Putra kita tidak memiliki kakek nenek selain orang tua kamu. Orang tua ku sudah terkubur tanah. Apa salah ketika aku mengharapkan lebih?" Suara Sania parau. Ia terisak pelan.

Darma pun memegang pundak istrinya. "Sayang.. Apakah Catra pernah di kucilkan disini?" Sania menggeleng.

"Apa dia pernah di perlakukan buruk?" Sania juga menggeleng lemah. "Ibu juga sangat memanjakannya Sania. Hanya saja ke Niel sedikit lebih di atas Catra. Namun aku tau, ibu begitu tulus menyayanginya." Darma mencoba memberi pengertian untuk sang istri.

Sania salah tetapi tak sepenuhnya salah. Sania hanya merasa takut jika Catra sama dengannya. Di acuh kan di keluarganya dulu dan di berikan perlakuan tak adil. Darma sangat tau itu. Tetapi Sania seolah gelap mata dan menutup pandangan betapa keluarga Barrack sangat menyayangi Catra.

Sania berkata jika Catra di perlakukan tak adil. Padahal semua di Mansion ini pun tau jika Catra begitu di sayangi. Namun menurut Sania itu masih kurang karena Nathaniel selangkah lebih maju dari anaknya. Sania merasa takut anaknya akan mengalami pengalaman tak mengenakkan sepertinya.

"Catra harus hidup bahagia Darma. Aku tidak mau putraku merasakan apa yang aku rasakan dulu." Mencengkram dadanya kuat berharap  sesak di dada berkurang.

Dia sangat takut... Sania takut. Jika Catra akan di benci dan di sakiti. Jika putra yang begitu dia sayangi mendapatkan hal yang tak seharusnya.

Darma merebahkan tubuhnya. Dia ikut tidur menyamping dan memeluk Sania dari samping. Menghirup aroma Lavender khas istrinya. "Itu tak akan pernah terjadi. Aku berjanji Sania. Hentikan kekhawatiran kamu. Berhenti mengatakan sesuatu yang membuat kakak marah nantinya. Niel juga keponakan kita. Kakak sangat menyayangi Catra. Jadi kita juga harus menyayangi Nathaniel sayang."

Sania tak menjawab. Dia hanya memegang erat lengan kekar Darma yang berada di perutnya. Menangis tersedu dan menumpahkan segala kegelisahan di hatinya. Mencurahkan setiap ketakutan yang ia rasakan.

Darma mendengarkan seksama. Memberi pengertian pada istri. Menenangkan Sania kala istrinya mengadu, merengek dan menangis di pelukannya.







Tbc.


Being the youngest - End - TERBITWhere stories live. Discover now