Part 9.

13.4K 1.5K 26
                                    









"Oh kau sudah pulang anak manja?" Celetuk Sania dari belakang mereka. Nathan yang tadinya menunduk takut pun mendongak mendengar suara sirik di layangkan oleh wanita yang sekarang ini menatapnya sinis. Sania bersedekap dada dan melanjutkan perkataannya. "Nanti kabur aja lagi. Biar kita makin susah dengan sikap kamu itu!" cercanya.

Marry langsung berbalik menatap Sania. "Bayiku memang harus manja. Ada masalah dengan itu menantu?" ujar Marry dan menekan kata menantu. "Apapun yang di lakukan cucuku, tak pernah sekalipun menyusahkan kami!"

Sania tersentak pelan. Tatapan tajam Marry membuat nyalinya menciut. "B-bukan begitu bu. Aku hanya kasihan pada kakak dan semua orang disini. Kita harus mengkhawatirkan Niel yang pembangkang."

"Simpan rasa kasihan  kamu. Kami tidak perlu!"

Wajah Sania menggelap. Dia mengepalkan tangan kuat. Dia pun mendongak dan dengan berani menatap sang mertua. "Lagi pula bu, Catra jauh lebih baik dari Nathaniel. Niel hanya membawa masalah. Sementara anakku selalu membawa medali yang dapat membanggakan dan mengangkat reputasi keluarga kita."

Marry mengangguk. "Ya, aku bangga padanya Sania." Sania tersenyum sumringah mendengarnya. "Tapi aku tidak senang karena kau selalu membandingkan keduanya." senyum Sania luntur.

"Bu, aku melakukannya karena keluarga ini bersikap tidak adil pada anakku."

Marry mengangkat satu alisnya. "Secara apa?" Sania bungkam. "Kami tidak pernah mengurangi fasilitas dia. Kita sama ratakan dan tidak membeda-bedakan."

"D-dalam hal kasi-"

"Itu khusus untuk cucu bungsuku Sania."

"Tapi bu, Catra juga cucu ibu."

Marry mengeram kesal. "Memang apa yang harus kau irikan. Bukankah aku sudah  mengatakan jika aku tidak membeda-bedakan!" suara Marry sedikit meninggi. Dia mengangkat tas yang ia pegang sejak tadi berniat memukul Sania. Sania menutup mata dan menyilangkan kedua tangannya di depan wajah untuk menghalau serangan mertuanya.

Marry memiliki tempramental buruk. Bennedict di belakangnya menahan tangan Marry. Memeluk sang istri dari belakang agar tenang. "Sayang, kau membuat cucu kita ketakutan." Wanita tua itu pun menghela nafas kasar kemudian menurunkan tangannya.

"Masuk kedalam! Kau mengganggu momen penting ini! " usirnya secara kasar. Sania tentu saja langsung masuk. Tubuhnya bergetar karena takut. Jika saja mertuanya tak di hentikan, entah apa yang terjadi pada wajahnya.

Nathan yang melihat semua itu menganga tak percaya. Dalam hatinya dia berkata. "Selamat Nathan.. Seluruh keluarga Barrack gila." Bagaimana mungkin. Apakah ia akan di gampar dengan tas ketika ia tak menyenangkan nyonya di depannya ini.

Mendadak, Nathan langsung bertingkah manja pada Marry. Daripada dia di gampar dan sakit. Ia lebih memilih menurunkan harga dirinya yang tak seberapa dengan memeluk Marry dan berkata ceria. "Oma! Nama oma siapa?" Serunya riang untuk mencairkan suasana.

Marry yang di penuhi amarah baru saja lenyap entah kemana. Ia menatap sosok yang memeluk dirinya dengan senyum pepsodent. Mengusap lembut rambut cucunya, Marry merasa senang dengan respon sang cucu. Bukannya takut akan kejadian barusan, cucunya malah memeluk dirinya erat. Seolah tau jika dirinya marah.

"Cucu oma hanya perlu memanggil oma dengan oma. " Nathan menaruh telunjuk di dagu. "Hmm, tapi nanti Nathan tidak tau nama oma dong?!" ujarnya keberatan.

Marry terkekeh. "Itu tidak masalah asalkan cucu kesayangan oma ini tidak melupakan omanya hm?" Wajah yang tadinya dingin itu menunduk sedih. Tentu saja Nathan tau jika itu hanya di buat-buat.

Nathan menangkup kedua pipi Marry. Mengangkat untuk menatap ke arah wajahnya yang sudah ia buat seimut mungkin. "Oma jangan sedih. Nanti Niel sedih. Maaf ya, Niel sedikit lupa hehe. Tapi Niel selalu sayang oma!" Ia mengecup pipi Marry kemudian memeluk wanita tua itu. Marry tersenyum dan membalas pelukan cucunya.

Dari belakang, Nathan bisa melihat Bennedict yang sejak tadi diam. Ia melambaikan tangan dan berucap. "Hola opa tampan!" tentu Nathan juga harus menyapa pria kaku itu. Meski secara langsung tak melihat. Tetapi Nathan harus waspada.

Bennedict tertawa rendah. Dia mengusak rambut cucunya dan memeluk istrinya dari belakang. Otomatis Nathan ada dalam pelukan itu. Tidak ada rasa terharu bagi Nathan. Yang ada, rasa tertekan karena ketakutan di peluk oleh dua makh- manusia tua.

*

Makan malam akan di laksanakan. Semua anggota keluarga telah ada di meja makan, tak terkecuali. Bennedict duduk di satu kursi yang memperlihatkan bahwa dialah kepala keluarga. Di sisi kanan terdapat Dominic, Darma, Sean, dan Kairo serta Delvin. Sementara di sisi kiri, ada Marry, Berlyn, Nathan, Sania, dan Catra.

"Makan malam kita mulai. Dominic, pimpin doa." Dominic pun memulai doa ketika ayahnya memerintah diikuti yang lain.

Setelahnya.. Mereka pun sibuk mengambil apa yang akan mereka makan. Para istri juga tidak perlu repot-repot untuk menyiapkan suami. Karena terdapat maid yang bertugas untuk itu.

Berlyn menoleh ke samping. "Makanlah dengan nyaman. Semua yang ada di meja ini adalah kesukaan kamu baby. " Nathan pun mengangguk. Ia tak tau makanan kesukaan Niel. Tapi yang pasti, di seluruh meja ini semua adalah favoritnya.

Di sisi Sania, wanita itu berdecih. "Ck, kenapa harus menu seperti ini sih. Catra sayang, kamu tidak papa kan makan seadanya dulu?" ucapnya pada Catra. Putranya yang berada di samping dirinya.

Catra tersenyum. "Tidak masalah ibu."

Sania membalas senyuman itu. Ia mengelus pipi Catra. "Anakku memang yang paling perhatian."

"Seada yang bibi maksud itu semeja luas ini. Memang kenapa kalo menunya seperti ini. Di antara kita tidak ada yang memiliki alergi terhadap semua menu disini, " ujar Delvin, kakak ketiga Niel.

Sania tersenyum masam. "Bukan seperti itu Delvin. Hanya saja disini tidak ada menu favorit Catra."

Delvin berdecak. "Lalu kenapa?"

"Delvin cukup!" suara Marry menginterupsi saat Sania akan menjawab ucapan Delvin. "Sania, tidak usah banyak bicara. Jika kamu menginginkannya, kamu bisa meminta pada maid."

"Tidak perlu bu. Jika menunggu sampai menu datang. Itu membutuhkan waktu. Catra akan terlambat makan malam. Tidak papa meski tidak ada menu kesukaan putraku. Itu tidak jadi masalah." Sania terpaksa tersenyum pias. Ujung matanya melirik Nathan yang menikmati makan malamnya.

Sorot tajam penuh iri dengki ia layangkan ke arah Nathan. Dia benci ketika putra nya satu langkah di belakang anak manja seperti Nathaniel.













Tbc.

Being the youngest - End - TERBITΌπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα