Part 11.

13.2K 1.4K 13
                                    







Kalau tidak salah ingat, Nathan meminta untuk pergi ke kediaman Abimanyu. Dimana tempat keluarganya serta dimana tubuhnya berada. Tetapi kenapa sekarang dia malah berada disini? Di dekat Harvin, mendengarkan anak itu berceloteh tanpa berhenti. Sementara para orang tua yang pergi.

Di depannya terdapat Delvin berwajah datar dan Cello dengan pandangan kosong. Anak itu baru saja datangng dari kediaman Abimanyu, ia di pulangkan lebih dulu. Pakaian hitam khas seseorang yang berbela sungkawa. Nathan jadi merasa kasihan.

Ingin ia menghampiri Cello, memeluk anak didiknya dan mengatakan dia ada disini.

Tidak bisa di pungkiri Nathan merasa sedih melihat Cello tanpa semangat. Ketika dia datang, wajah anak itu berbinar senang. Cello juga akan banyak bicara saat bersama dengannya. Anak didiknya itu memiliki otak pintar hingga tak ada lagi yang bisa ia ajarkan pada Cello.

Namun Cello memaksanya untuk mengajar sampai waktu tak di tentukan. Jika itu dirinya, ia juga akan merasa sedih. Namun seseorang datang dan pergi, itu sudah pasti. Anehnya, seseorang yang pergi itu. Duduk sehat di depan orang yang berbela sungkawa.

"Niel, kenapa?" tanya Harvin yang sejak tadi diam dan melihat ke arah lain. Dia mengikuti arah pandang itu dan jatuh pada adik bungsunya. Wajah Harvin berubah pias. "Nathaniel!"

Nathan tersentak kaget. Dia menoleh ke samping. Harvin menatapnya tajam. Dia kaget untuk itu. Pertama kali setelah kenal Harvin, anak itu memiliki tatapan yang begitu tajam. "Y-ya Harvin?" Pertama kali juga, Nathan merasa takut akan tekanan Harvin.

"Aku berbicara padamu dan kau malah melihat orang lain?!" berangnya. Dia melirik Cello dengan ujung matanya. Nathan gelagapan, dia ketahuan memerhatikan seseorang.

Dia juga  bisa melihat jika Cello dan Delvin menatap ke arahnya. Keringat sebesar biji jagung hinggap di dahi. Nathan menggaruk pipi yang tak gatal. Mengapa Harvin harus marah. "Aku hanya sedih melihat adikmu Harvin."

"Dengan mengabaikan kan ku? Kau tau aku paling tidak suka di abaikan Nathaniel!" Nada rendah yang tak biasa dari Harvin. Nathan menganga tak percaya. Seharusnya setelah semuanya, tak ada yang bisa membuat ia terkejut.

Nathan menghela nafas. "Kapan aku melakukannya?" pria matang beradu argumen hanya karena mengabaikan anak ketiga keluarga Gratavic dan malah memandang bungsu Gratavic. Mengapa Nathan seolah dicemburui oleh kekasihnya.

Harvin mengepalkan kedua tangannya. Dia menatap sengit Cello kemudian menarik kerah anak itu. "Kenapa lo harus rebut semuanya dari gw!" sentaknya. "Lebih baik lo pergi dari sini, gw muak lihat wajah lo!" Harvin mengusir Cello. Bukan rahasia lagi di keluarganya jika dia benci Cello.

Bahkan Delvin hanya melihatnya acuh. Dia lebih memilih menatap Nathan yang terkejut. Bagaimana mungkin Nathan tak terkejut ketika perlakuan Harvin pada Cello seperti yang terjadi sekarang. Selama dia berada di mansion Gratavic, ia tak pernah melihatnya.

Cello yang sedang sedih dan tak ingin berdebat pun beranjak pergi. Kesedihannya bertambah saat sang kakak terang-terangan bersikap benci padanya di depan orang lain. Dia semakin rindu pada gurunya, Nathan.

Melihat kepergian Cello, Harvin berbalik menatap Nathan. Dia kembali duduk di sebelah Nathan sembari bersedekap dada. Nathan di buat cengo.

Delvin terkekeh... "Lo tetep ga berubah Harvin. Masih membenci adik lo sampai saat ini."

Harvin mendengus dan menjawab ucapan Delvin. "Gw ga nerima teguran dari orang yang pernah membenci adiknya sendiri."

Delvin tentu tidak senang. Dia mengambil gelas di meja. Lalu melemparkan gelas itu ke arah Harvin. Untungnya, Harvin memiliki refleks yang bagus. Jika saja Harvin tak memiringkan kepalanya, maka dahi Harvin akan menjadi sasaran gelas.

"Cih, cara yang kotor Delvin! " ujarnya begitu rendah. Dia maju dan melompat langsung ke arah Delvin. Terjadi pergulatan yang tak di inginkan antara keduanya.

Delvin menonjok wajah Harvin hingga mengenai hidung pemuda itu. Hidung Harvin langsung mengeluarkan darah. Harvin menarik kerah Delvin dan membanting tubuhnya. Kemudian ia duduk di atas Delvin, menjotos wajah Delvin membabi buta.

Hidung Delvin juga mimisan. Ujung bibir Delvin sobek. Keadaan terbalik, Delvin menendang Harvin dengan kaki hingga pemuda itu terjerembab. Delvin menginjak-injak perut Harvin. Amarah membuat ia buta. Dia tidak benci adiknya. Dia hanya kurang dalam interaksi.

Delvin ingin melayang kan tendangan pada wajah Harvin. Tetapi, seseorang memegang dan menahannya. Ia ingin memberontak, tetapi suara Dominic lebih dulu terdengar. "Cukup Delvin. Belum beberapa hari setelah kau bebas dari hukumanmu. Berhenti berbuat ulah anak nakal!"

"Lepaskan pria tua sialan! Aku perlu menghajarnya supaya dia tidak berani berbicara asal!" Dominic tak mendengarkan, dia mengkode bodyguard yang memegang Delvin agar membawa putra nya pergi dari kediaman Gratavic.

Sementara Alex hanya bisa menepuk dahi lelah. Belom lama putranya keluar dari rumah sakit. Sekarang sang putra malah terlihat mengenaskan dengan luka lebam di wajahnya. Anehnya, sang putra malah terlihat biasa saja.

Wajah tengik putra ketiganya juga masih ada. "Harvin, kau tau bukan, luka mu belum sepenuhnya sembuh. Kenapa kamu malah menantang maut."

Harvin mendengus. Di berdiri dengan tertatih. Menghampiri Nathan yang sejak tadi tak bisa melangkah karena shock. Terjadi pergelutan di depannya. Dua-duanya tak ada yang mau mengalah. Sebagai orang dewasa saja Nathan takut dengan semacam ini.

Melihat pemuda belasan tahun begitu semangat adu jotos. Nathan jadi ngeri.

Harvin menarik tangan Nathan. Dia ingin mengajak Nathan ke kamarnya untuk menyembuhkan lukanya. Nathan pun hanya bisa pasrah dan mengikuti. Ia tak berontak karena merasa kasihan dengan luka yang di alami Harvin.

Alex melirik Dominic, merasa tak enak akan sikap tak sopan putranya. "Dominic maafkan aku atas kekacauan ini."

Dominic terkekeh pelan. "Tidak masalah. Itu merupakan semangat muda. Sepertinya, putra ketigamu lengket ya dengan bungsuku." Senyum seringai Dominic tampilkan. Alex sedikit ngeri.

Dominic menepuk pundak Alex kemudian berkata. "Putraku pulang terlambat. Pastikan keselamatannya Alex."

Alex menelan ludah gugup. Meski Dominic temannya, ia masih takut dengan pria itu.














Tbc.



Kalian juga harus baca ini.. 

 

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Being the youngest - End - TERBITWhere stories live. Discover now