Part 22.

9.6K 1.3K 34
                                    











"Catra masih membutuhkan ibu nya bu. Darma mohon.. Lagi pula Sania sudah lumpuh. Dia tak akan macam-macam lagi. Kali ini aja Darma meminta sesuatu pada ibu, " ujar Darma panjang lebar. Dia memohon pada Marry, di depan seluruh keluarganya.

Darma bertekuk lutut, wajah tampan itu berderai air mata. Dia berjuang untuk keluarga kecilnya. Darma sama sekali tidak mau putranya menjadi piatu di usia muda.

Kasarnya, Darma melakukan ini demi Catra.

Keluarga Barrack berkumpul di ruang inap Nathan. Sementara sang empu tidur, mereka membicarakan tentang apa yang akan di lakukan pada Sania. Darma langsung meminta dan memohon pada keluarganya untuk mengampuni Sania.

Marry menghela nafas, menggulir matanya menatap satu persatu anggota keluarganya. Mereka semua tampak diam dan tak bersuara. Marry sangat yakin jika mereka sudah menyiapkan rencana. Suaminya pun tak mengeluarkan sepatah kata.

Beralih kebawah di mana Darma menangis. Berbantal pahanya, Darma menjadi pribadi berbeda ketika meminta sesuatu. Tanganya terulur menyentuh lalu mengelus rambut Darma. "Kamu yakin istrimu tak akan lagi menyakiti keponakan kamu?" tanyanya lembut.

Darma mendongak. "Darma janji ibu. Jika itu terjadi, Darma bersumpah, Darma sendiri yang akan mengurusnya. Untuk saat ini lepaskan Sania ibu."

"Bagaimana dengan kalian semua? Ada yang keberatan?" tanya Marry. Tetapi semuanya tetap diam. Mereka enggan menjawab untuk sesuatu yang bertolak belakang dengan keinginan mereka.

Berlyn yang pertama kali berdiri. Dia menepuk pundak Darma kemudian berlalu pergi sembari menyeret kerah Jasper. Pemuda yang sejak tadi menggigit kukunya karena tak puas. Ingin sekali menyanggah tetapi peraturan keluarga tidak boleh memotong atau mengajukan suara saat keluarga lain sedang berbicara.

Berlyn butuh Jasper sebagai teman sparing. Untung saja dia memiliki pelarian untuk emosinya. Berlyn pun yakin jika sang ipar pun sama. Sebrutalnya Berlyn, dia masih taat pada aturan. Padahal banyak rencana yang tertata apik di otak cantiknya.

Orang yang melukai mental dan fisik sang putra masih bisa hidup menghirup udara segar.

"Aku setuju."

Darma sontak menoleh, matanya berbinar memandang kakaknya. "Sungguh kak?" Mimpi apa semalam sehingga kakaknya begitu mudah menyetuju-

"Aku sudah membeli satu pulau terpencil. Kau akan tinggal disana. Tenang saja, keamanan, serta kebutuhan kau sudah terpenuhi. Kamu juga bisa bekerja dari sana. Boleh pulang sekali dalam setahun, tidak boleh membawa istri dan anakmu. Aku tidak mengizinkannya."

Sontak senyum binar Darma menghilang. Bahunya merosot. Jika seperti ini dia tak akan bertemu dengan keponakan manisnya. Tetapi pertimbangan sang kakak sudah sangat menguntungkan dirinya. Itu tandanya Darma telah berhasil membujuk sang keluarga meskipun dengan bayaran jika dia dan keluarga kecilnya telah di kucilkan.

"Tidak ada sanggahan Darma. Kau harus cukup dengan itu. Tak ada pertumpahan darah karena kau merengek. Tapi ingat, jangan sampai istrimu mengulanginya. Tidak peduli kau merengek hingga menangis darah, aku akan tetap menyingkirkan Sania tanpa persetujuanmu. " Keputusan Dominic sudah tak bisa dibantah.

Darma pun diam, dia kembali menelungsupkan wajah menyamping di atas paha sang ibu. Lagi-lagi wajahnya berhadapan langsung dengan sang ayah. Tak!

Darma memegang dahi yang baru saja di jitak oleh sang ayah. "Ibu, lihat ayah!" Adu nya pada Marry. Dia menunjuk Bennedict yang mengangkat sudut bibir mengejek anaknya.

"Kenapa dengan ayah?" Bersikap tak tau apa-apa, Bennedict menaikkan sebelah alis.

"Ayah baru saja memukul dahiku! Ibu, ibu melihatnya tadi kan?' tanya Darma mencari pendukung.

"Ibu tidak melihatnya." Marry mengikuti permainan sang suami. Lagi pula, sudah sejak lama dia tak melihat sisi menggemaskan putra keduanya.

Darma menegapkan badannya. "Kakak-"

"Tidak."

"Aku bahkan belom mengatakan apa-apa!!"

Ketiga manusia di sisi Darma tertawa. Sungguh, menjahili Darma lebih baik dari pada bungsu mereka, Jasper.

Sedangkan di tempat lain, beberapa meter dari mereka.

"Aku siapa?"

"Aku dimana?"

"Apakah aku manusia?"

Cerocos Nathan yang sudah bangun sejak tadi.



*

"Makin lama kakak makin gila!" Seru Jasper. Dia memegang dahi cetar membahananya.

Berlyn gak mendengar kan, dia mengangkat peluru menembakkan peluru terbuat dari kertas mainan dan mengarahkan nya pada Jasper.  Setelah lelah bertarung fisik. Mereka sedang melakukan sparing jarak jauh menggunakan pistol mainan.

Tuk!

"Kakak!" Jasper yang sudah kesal karena tembakan kakinya mengenai jidat sexy nya pun membanting pistol miliknya.

"Aku berhenti, " ucapnya lalu pergi meninggalkan Berlyn. Ini sih, kakaknya saja yang melampiaskan kesalnya. Dirinya hanya menjadi samsak. Lagi pula dari mana datangnya wanita hulk seperti kakak iparnya itu.

Dia melangkah menuju suatu tempat, dimana Sania berada. Dia belum melihat wanita menyebalkan itu. Wajah nya berubah datar. Anak buahnya mengintili dari belakang. Bawahan setia yang selalu ada di mana pun Jasper berada.

Ketika Jasper menghilang dari balik pintu, mereka serentak mengambil posisi. Berjaga di depan menunggu bos mereka selesai dengan urusannya seperti biasa.

Alis Jasper naik melihat pemandangan di depannya. Dia menghampiri Cat-Candra di sofa. Duduk merangkul pundak Candra akrab. "Yo Candra, ibu mu masih tetap gila ya?" ujarnya menatap lurus kedepan. Memandang Sania yang mengacak rambutnya sendiri.

Candra tak menjawab, dia menepis rangkulan Jasper dan bergeser. "Aku tidak kenal pria tak waras."

Jasper tertawa kecil mendengar hardikan Candra. Bagaimana dia bisa tau jika dia Candra bukan Catra? Itu dari tingkah laku mereka. Jika di sampingnya sekarang Catra, anak itu akan menangis sesenggukan melihat ibunya.

Tetapi dia Candra, bocah yang memainkan ponsel tanpa memperdulikan sang ibu.










Ada typo? Tandai aja. Ga sempet revisi.





Btw bagus end kan ini :v




Tbc.

Being the youngest - End - TERBITWhere stories live. Discover now