Part 17.

10.7K 1.3K 55
                                    



"SUDAH AKU PERINGATKAN BERHENTI MEMBUAT ULAH SANIA!! " teriak Darma. Uratnya menonjol di antara rahang dan leher. Lengan kekar itu mengguncang tubuh Sania.

Pria tersebut di buat frustasi, dia marah besar kepada Sania yang memfitnah Nathan tanpa alasan jelas. Sejak kemarin dirinya sering di buat amarah lantaran sang istri meminta untuk menyelidiki kasus pembullyan putranya.

"SIAPA TAU KAN, NIEL BENAR-BENAR MELAKUKANNYA DARMA! kau tidak tau betapa khawatirnya aku? Putraku pulang dengan keadaan kacau. Ibu mana yang tak sedih melihat anaknya seperti itu." Sania juga berteriak, di akhiri lirihan.

Darma menghela nafas kasar. "Lalu dari mana kamu menyimpulkan jika Nathaniel yang melakukannya. Kau tau sendiri bahwa mereka saja tidak satu sekolah!" Suaranya turun satu oktaf. Ia tak ingin terus tersulut emosi. Istrinya begitu pandai membuat sumbunya meledak. Dia yang bahkan paling sabar dibuat marah.

Sania menatap Darma penuh luka. "Ini hanya firasat Darma. Kamu tau kau, dia selalu iri terhadap Catra? Dia bahkan tak cukup kasih sayang kedua orangtuanya. Tetapi seluruh keluarga ini hingga tak menyisakan untuk putra kita."

"Shut the fuck up Sania!" Lagi, suaranya meningkat 1 oktaf.

"HARUS BERAPA KALI AKU KATAKAN! HENTIKAN KEKHAWATIRAN YANG TIDAK PERLU. PUTRA KITA SUDAH BESAR, DIA TAK PERNAH KEKURANGAN. NATHANIEL JUGA TAK PERNAH MERASA IRI PADA CATRA!" keringat membanjiri tubuh Darma. Ia kesal bukan main.

Tangannya mengepal erat, dia berjalan ke tembok membelakangi Sania dan Memukulnya keras hingga retak. Akibatnya, tangannya terluka. Namun Darma tak peduli, dia perlu sedikit melampiaskan amarahnya.

Sania menutup mulutnya, air matanya keluar begitu saja. Dia menangis memandang suaminya. "Apa salahnya Darma. Aku hanya begitu khawatir."

Darma berbalik, mengeram rendah, mencengkram bahu Sania. "Kau tidak salah Sania. Seorang ibu memang harus seperti itu."

"Tapi ada yang salah dengan otakmu. Indra penglihatan dan Indra pendengarmu yang salah. Mereka tidak bekerja dengan baik hingga kau sebodoh ini!" Selama dia menikah dengan Sania. Darma tak pernah membentak, mengatakan hal pedas atau bahkan bermain tangan.

Dari dulu Darma sabar menghadapi sikap serta sifat sang istri. Sampai kemarin, Sania selalu menguji kesabaran Darma yang sudah tipis. Berakhir dirinya terbawa emosi. Setiap kali Sania membuka suara, mereka akan adu argumen berakhir percekcokan.

Sania menggeleng ribut. "Apa yang kau katakan Darma? Apa kau sudah tak sayang pada putramu? Kau juga mengataiku seperti itu? Apa dia sudah berhasil mencuci otakmu? Kemana Darmaku yang hangat, kemana Darmaku yang lembut? Kemana kamu Darma! Kamu bukan Darmaku!" dia meracau.

Sania memandang Darma takut. Lalu tiba-tiba memeluk suaminya erat. "Enggak hikss. Darma, jangan seperti ini. Darma tidak pernah kasar dan berkata jahat."

Darma terlalu muak. Keadaan keluarganya kacau balau. Itu sebabnya ia tak bisa mengontrol emosi. Ia mencoba melepaskan pelukan Sania. Tetapi wanita yang memeluknya itu enggan melepaskan.

"Darma, peluk aku. Balas pelukanku dengan erat." suara parau Sania tidak membuat Darma luluh. Meski dia tau, saat ini Sania, tengah kambuh.


*

"Jangan berbicara padaku papa, mama." Nathan memotong ucapan Dominic dan Berlyn. Mereka sedang membujuk Nathan. Lelaki itu memutuskan untuk merajuk saja.

Berlyn berdecak, dia menaiki ranjang dan duduk di samping Nathan. Meraih tangan Nathan sehingga dia jatuh ke pelukan Berlyn tepat di perutnya.

Berlyn menunduk, dia memeluk Nathan di posisi ambigu. "Niel kamu tau? Mama sangat marah sekarang." Ekpresi Berlyn berubah, bahkan mimik wajahnya suram.

Insting bertahan hidup Nathan berbunyi. Menuntutnya untuk tak bergerak seincipun dari posisinya sekarang. Bibirnya terkatup rapat. Tangan bergetarnya terulur membalas pelukan Berlyn. Apa yang harus dia lakukan sekarang.

Nathan lupa jika yang di ambekin adalah seta- mama Niel. "Ketika mendengar jika kamu lupa ingatan mama membabi buta menghancurkan mansion. Mencari siapa yang telah membuatmu pergi dan berakhir kecelakaan."

"Mama juga sempat ingin membunuh keturunan Gratavic. Mama benci ketika kamu terluka. Mama benci pada semua orang yang membuatmu luka."

"Kamu adalah poros mama Nathaniel. Mama bisa gila jika kamu tidak mau berbicara pada mama. Haruskah mama menyingkirkan papa mu? Oh itu ide bagus. Karena dia, kamu seperti ini." Ekor mata Berlyn melirik Dominic. Pria itu bersedekap dada, bibirnya menyunggingkan senyum seringai.

'Sial! Kapan dia tidak terlihat tampan?!' batin Berlyn.

Kalimat penuh obsesi dari bilah bibir Berlyn sangat membuat Nathan frustasi, Nathan berteriak dalam hati, Nathan ingin kembali, lari dari Barrack, lari dari keluarga Abimanyu. Dirinya sudah tidak peduli pada siapapun kecuali diri sendiri. Asemnya, di raga asli dia sudah jadi ubi.

Berlyn mengangkat tubuhnya, ia juga menuntun Nathan agar menghadap ke arahnya. "Sayang, dengar mama. Kami tidak bertengkar, kami hanya menunjukkan rasa sayang satu sama lain." Senyum lembut di wajah Berlyn malah terlihat menakutkan bagi Nathan.

'ORANG WARAS MANA YANG MENUNJUKKAN RASA SAYANGNYA DENGAN MEMPERTARUHKAN NYAWA!' tentu Nathan berteriak dalam hati. Jika dia mengutarakan secara langsung.. Bisa-bisa dia tertanam ubi dua kali..

"N-niel tidak suka mama. Niel ga mau kalian luka." Bibir Nathan melengkung, dia merengek demi keselamatan hidupnya. Sudah dia katakan bertingkah imut adalah andalannya.

"Niel sayang kalian." Memeluk Berlyn hanyalah modus agar hidupnya aman.






Tbc.

Being the youngest - End - TERBITWhere stories live. Discover now