Part 10.

13.2K 1.6K 22
                                    








Di kesunyian malam yang hanya di di isi suara dari mesin monitor EKG. Tubuh Nathan terbujur di ranjang rumah sakit dengan banyaknya alat penunjang kehidupannya.

Gerimis hujan jatuh ke bumi menghasilkan bunyi rintik di antara kehampaan. Angin malam menerpa gorden di ruangan serta kilat petir tanpa suara seolah mengetahui sedihnya perasaan Erina. Wanita itu berdiri menutup jendela balkon, serta menggeser gorden agar angin tak masuk dan menganggu kenyamanan putra sulungnya.

Kantung mata hitam terletak di bagian bawah matanya. Penampilan acak-acakan seperti tak terurus. Tubuh yang kian mengecil menandakan betapa setresnya Erina di kondisi sekarang.

Kakinya ia bawa melangkah kembali ke dekat sang putra. Mengelus rambut putranya sembari berlinang air mata. Tidak bisa dia jabarkan perasaan menyesal seolah mengoyak hati dan pikiran. Tak pernah lelah ia menangis karena penyesalan yang menggerogoti.

Erina pikir putra sulungnya akan baik-baik saja. Namun dugaannya salah ketika sang putra lebih memilih menutup mata erat seolah di dalam mimpi itu lebih indah dari pada kehidupan nyata. "Tuhan, kembalikan putraku." Doa yang ia panjatkan setiap detik. Meminta pada Tuhan-Nya agar mengembalikan sosok pahlawannya. 

"Nathan.. Maafkan ibu. Bangun nak, kembali pada ibu. Ibu mohon Nathan. Biarkan ibu menebus kesalahan ibu. Berikan kesempatan pada ibu untuk memperbaiki semua." tak pernah lelah Erina berbisik meminta putranya kembali.

Permohonan maaf serta kata menyesal setiap hari ia katakan. Berbisik di telinga sang putra berharap putranya merespon lalu bangun dari tidur panjang. Tersenyum seperti biasa dan memeluknya begitu erat.

Erina memegang tangan Nathan yang bebas dari apapun. Menaruhnya di dahi sembari berdoa kembali.

Di sisi Nathan saat ini, dia memegang dadanya. Sesak yang tiba-tiba datang membuat ia mengingat kembali keluarganya. Mengapa baru sekarang setelah hampir sebulan. Dia yang tadinya tiduran sembari membaca buku, beranjak turun dari ranjang menuju balkon.

Membuka gorden lalu membuka kaca pintu balkon. Kakinya melangkah keluar, tubuhnya menyandar pada pembatas balkon. Tangannya ia tadahkan ke depan, menikmati air hujan dari tangannya. "Kenapa aku tiba-tiba ingat ibu?" gumamnya.

Angin juga menerpa tubuhnya. Sensasi dingin ia rasakan tak seberapa sesak dengan apa yang juga Nathan rasakan. Tubuhnya memberontak ingin cepat masuk kedalam, tetapi pikirannya ingin menetap dan mengingat sosok ibunya, Erina.

Seakan ikatan batin antara ibu dan anak tak terputus. Keduanya mengalami perasaan yang berbeda. Malam itu, tanpa disadari Nathan. Jika tenggak waktu tubuh aslinya sudah berakhir. Yang artinya, dia akan dinyatakan meninggal malam ini juga.

*

Seperti yang tertuliskan. Tubuh kaku Nathan tertutupi kain rumah sakit. Di sebelahnya, Erina bersandar pada Guntur. Tubuh lemas seolah tak bertenaga. Pandangan kosong menatap sang anak yang telah terbujur kaku.

Belum sempat dia meminta maaf, belum sempat dia menebus kesalahannya. Putranya pergi jauh darinya. Air mata mengalir tanpa di suruh, Erina kembali menangis dipelukan suaminya. Hidupnya seolah hancur ketika putra kebanggaannya memilih pergi untuk selamanya.

Tangan bergetarnya menggapai wajah sulungnya. Erina mengecup seluruh wajah dingin nan pucat itu. "Nak, kenapa? Anak ibu sudah lelah dengan ibunya yang tak pernah mau mengerti kondisi mu?" Lirihnya.

"Nathan, ibu menyesal nak. Jangan hukum ibu seperti ini. Bangun Nathan, anak ibu hanya tidur kan? Buka kembali mata kamu. Sambut ibu dengan senyuman hangat kamu, putra ibu." Erina memeluk tubuh Nathan, menangis tersedu di dada putranya.

Guntur tak kuasa melihat semuanya. Bisa dikatakan dia adalah ayah yang gagal memahami putranya. Seharusnya sang putra tidak apa-apa mengingat putranya pingsan hanya karena lelah. Tetapi yang dia tidak tau, putranya juga lelah pada dunia.

Waktu tak bisa di putar kembali. Kini hanya penyesalan yang tak bisa di bendung. Guntur dengan lapang dada menerima rasa sesak di hatinya. Sebagai ayah yang jarang mengerti keluhan sang anak, Guntur pantas menerima itu. Guntur menerima jika seumur hidup ia akan di hantui oleh rasa penyesalan.

Jika kehidupan kedua memang benar adanya. Guntur berdoa untuk sang putra. Tak akan pernah lahir sebagai keturunannya. Tak akan lahir sebagai sulung dan tak akan lahir dari orang tua plin plan seperti dirinya.

**

Nathan berjalan dengan perasaan tak karuan. Tetapi ia harus terlihat biasa saja. Takutnya keluarga Barrack salah paham dan kembali menggila. Ia menggunakan lift yang ada. Karena peraturan tak tertulis jika dia dilarang menggunakan tangga.

Pintu lift terbuka, Nathan beranjak ke meja sarapan. Namun dari kejauhan, dia mendengar ucapan seseorang.

"Alex meminta kita untuk kesana. Dia berharap Delvin bisa memenangkan Cello yang dilanda sedih." Yah, suara yang pertama kali Nathan dengar adalah suara Dominic. Nathan mengernyit penasaran penyebab mengapa anak didiknya sedih.

"Memang kenapa? Lagi pula ini tidak ada urusannya dengan Barrack. Kenapa Delvin harus menjadi badut untuk bungsu Alex?" Sengit Berlin penuh dendam. Ia masih tidak terima Alex mengabaikan putra bungsunya.

Dominic hanya terkekeh kemudian berkata. "Ku dengar, guru yang mengajari Cello di nyatakan meninggal hari ini,." Ia menyeruput kopi andalannya. Padahal pria itu belum sarapan pagi, tetapi malah meminum kopi.

Jantung Nathan berpacu lebih cepat mendengar penuturan Dominic.

Berlyn di sebelah pun menjawab. "Memang apa penyebab kematiannya? Bukankah ia hanya kelelahan?"

Dominic mengangkat bahu acuh. " Tidak tau. Yah, siapa yang tau kapan hidup seseorang akan berakhir."

"Maka dari itu jangan buat Niel kita kelelahan. " Marry menimpali. Mereka membicarakan topik tentang kematian Nathan.

Sedangkan Nathan yang mendengar berita kematiannya sendiri merasa aneh. Nathan memegang dadanya dimana jantungnya berdetak lebih kencang. Pantas saja perasaannya tak karuan, ternyata karena tubuh aslinya telah dinyatakan meninggal.

Sejenak, ia kepikiran dengan sang ibu. Apakah tanda jika dia mengingat ibunya tadi malam adalah karena berita hari ini? Tubuhnya mati, tetapi ia masih hidup di raga orang lain. Bukan sebagai sulung tetapi sebagai bungsu.

"Nathan, kemari. Kenapa kamu berdiri disana?" ujar Sean yang melihat siluet Nathan. yang di panggil pun menganggukkan kepalanya lalu mendekati keluarganya. Duduk di antara Berlyn dan Sania.

"Kenapa tdak langsung kemari?" tanya Berlyn setelah Nathan duduk.

Nathan menoleh. Dia pun berkata. "Niel hanya terkejut mendengar kabar jika guru Cello meninggal."

"Lalu?"

"Mama tau seseorang yang Niel ceritakan di rumah sakit penyebab Niel menangis?" Berlyn mengangguk. Sedangkan yang lain mendengarkan seksama. Bahkan Sania tak berani menimpali karena suasana begitu serius.

"Dia adalah kak Nathan, Guru Cello. Mendengar jika dia sudah mati. Niel turut berduka cita. Entah kenapa Niel sedih. Kehidupan kakak itu sudah menyedihkan, lalu sekarang dia mati.. Mama apa setiap manusia akan mati dengan menyedihkan?" ujar Nathan yang si akhiri pertanyaan.

Pertanyaan yang membuat suasana semakin mencekam. Berlyn mengelus kepala putranya. "Jangan memikirkan hal lain. Manusia memang pasti mati. Tetapi tidak semuanya mati secara menyedihkan."

"Mama, boleh kita pergi ke rumah kak Nathan nanti?" Pinta Nathan. Dia ingin mengetahui bagaimana respon keluarganya. Apakah tetap acuh dan seperti biasa atau malah sebaliknya.

"Tentu, apapun yang putra mama inginkan."







Tbc.

Being the youngest - End - TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang