- PART 09 -

925 124 21
                                    

Double up lagi nih, gaes.

Pelan-pelan aja bacanya.
Semoga kalian ngerti ya sama tulisan aku yang kadang belibet kayak benang kusut 🙏😅


***

- PART 09 -

Arsyad tampak membuka sekaleng soda yang disodorkan oleh Athar—adik kandungnya. Karena saat ini ia memang sedang berada di apartemen pria itu untuk sedikit menjernihkan pikiran.

Namun, tetap saja, pikirannya tetap terasa penuh. Bahkan melayang jauh, pada obrolannya tadi pagi bersama sang ibu.

“Sayang, gimana? Istri kamu udah kasih tanda-tanda kehamilan belum ya?”

Tentu saja belum, dan tidak akan pernah. Karena istri yang dimaksud oleh ibunya itu sudah divonis mandul sejak lama. Bahkan sejak mendiang ayahnya masih hidup, dan masih lumayan gagah. Masih sering pergi memancing serta pergi ke mana-mana dengan ditemani oleh Tama. Termasuk bolak-balik ke luar negeri dengan santai. Benar-benar menikmati hari tua.

“Belum, Ma.“

Fira sontak berdecak begitu mendengar jawaban dari Arsyad. Nada suaranya yang terdengar ramah tadi langsung berubah seketika. Arsyad sangat hafal dengan tabiat ibunya. “Coba kalian pergi honeymoon lagi, atau langsung aja pergi ke dokter sama-sama. Mama takut kalau ternyata kalian berdua kenapa-napa.”

“Iya, Ma. Nanti ya ....”

“Jangan nanti-nanti, Arsyad!“ Fira mulai terdengar semakin tidak sabar. “Kalau kamu ngulur-ngulur waktu terus, mungkin Mama yang akan meninggal duluan. Terus tahu-tahu anaknya Gista udah pada dewasa. Seluruh harta warisan kamu diambil sama mereka, dan roh Mama cuma bisa nangis karena ngelihat kamu yang akhirnya hidup susah. Enggak punya apa-apa.”


“Udah ....“ Athar segera menyenggol pelan bahu sang kakak. “Enggak usah dipikirin omongannya si Mama.“

Arsyad yang sejak tadi melamun sambil sesekali meneguk sodanya, kini sontak menghela napas panjang, dan meletakkan kaleng soda itu ke atas meja.

“Menurut lo, Papa terlalu tega gak sih sama gue?“ tanya Arsyad kepada sang adik. Ia tahu kalau Athar pasti mengerti. Karena ia adalah satu-satunya anak Adi Kusuma yang masih belum bisa mengklaim seluruh harta warisan miliknya. Sedangkan Gista dan Athar sudah lama mengklaim bagian mereka dengan mulus, tanpa hambatan.

Pertanyaan itu sontak saja membuat Athar jadi terkekeh pelan. “Salah lo juga sih, Mas. Kenapa pake nunda-nunda segala? Ngapain coba nikah muda kalau enggak siap buat langsung punya anak?”

“Nikah itu bukan cuma buat punya anak aja, Thar,“ sahut Arsyad dengan pelan. “Masih banyak hal yang lainnya.“

“Ya, tapi kan masalahnya lo ini Putra Mahkota. Satu-satunya kebanggaan Papa.“ Athar sama sekali tidak bermaksud untuk menyindir kakaknya, tapi apa yang dibicarakannya ini adalah sebuah fakta. Bahkan selain kebanggaan sang ayah, Arsyad juga satu-satunya anak yang paling bisa diandalkan untuk mengurusi perusahaan keluarga, serta melestarikan nama belakang keluarga mereka.

Masa depan perusahaan itu ada di tangan kakaknya, juga keturunan pria itu nantinya. Karena Athar sadar, perusahaan keluarga bukan ranahnya. Ia lebih suka memasak, dan menjadi seorang Chef ketimbang mengikuti jejak sang ayah ataupun kakaknya untuk mengembangkan bisnis keluarga. Karena itulah, ayahnya tidak bisa mengharapkan dirinya. Lantaran ia sudah menentukan sendiri jalan hidupnya.

“Jujur aja, Mas. Sebenernya gue gak masalah kalau lo sama Mbak Mayra memang enggak mau punya anak. Dan gue juga tahu kalau lo nanti pasti bakalan legowo karena enggak jadi dapet harta warisan.“ Kini Athar terlihat semakin serius dari sebelumnya. “Tapi, lo harus pikirin juga dong masa depan perusahaan Papa. Kalau Kusuma Group beneran diambil alih sama anak-anaknya Mbak Gista, gak bakal menutup kemungkinan kalau nama perusahaan itu nanti bakal diganti sama mereka, dan nama Kusuma enggak akan ada lagi. Beneran digeser. Apa lagi Mbak Gista juga masih dendam banget sama Papa.”

“Kerja keras Eyang Kakung, dan sesepuh di keluarga kita dulu bakalan sia-sia,“ sambung Athar kepada kakaknya. Karena ia akan menjadi salah satu orang yang paling menyayangkan jika perusahaan turun-temurun milik keluarga mereka itu akan diambil alih oleh anak-anaknya Gista. Bukan karena ia membenci wanita itu dan kedua anaknya. Melainkan karena Gista itu adalah seorang perempuan, dan dia tidak bisa mewariskan nama belakang keluarga mereka kepada seluruh anak-anaknya.

Makanya, akan lebih bagus kalau perusahaan itu tetap berada di tangan Arsyad. Supaya keturunan asli dari keluarga Kusuma bisa terus dilestarikan, dan bisa semakin mengembangkan perusahaan itu sampai ke generasi-generasi selanjutnya tanpa perlu merasa takut jika nama perusahaan itu nanti akan diubah.

***

Arsyad sudah memikirkan segalanya. Jika ibunya dan Mayra tidak mau kalau sampai perusahaan itu jatuh ke tangan Gista dan anak-anaknya, karena kedua wanita itu berada di dalam kubu yang sama, yaitu membenci Gista karena sejarah di masa lalu yang terjadi di keluarga Kusuma. Maka Arsyad setuju dengan adik kandungnya.

Kusuma Group harus tetap dipegang sekaligus dikembangkan oleh keturunan asli keluarga mereka. Jika bukan oleh anaknya, maka itu adalah anaknya Athar. Karena bisa saja anaknya nanti malah seorang perempuan, dan nama Kusuma akan terhenti di dia.

Namun, sebelum itu, Arsyad harus memiliki keturunan terlebih dahulu untuk benar-benar mengklaim seluruh harta warisan miliknya. Supaya ia bisa terus memegang kendali atas perusahaan itu sepenuhnya.

Arsyad yang baru pulang ke rumah, tampak mulai keluar dari mobilnya. Ia memicing ke arah pagar rumah yang masih terbuka. Karena di sana ada sosok Risty yang entah baru pulang dari mana, dan sedang mengendarai sepeda yang biasanya digunakan oleh ART di sana, kecuali Hasna. Lantaran Hasna tidak bisa mengendarai sepeda.

Sementara itu, Risty yang sedang bersepeda, memutuskan untuk melewati Arsyad begitu saja. Lagi pula, mereka memang tidak dekat, dan jarang bertegur sapa.

Namun, tanpa diduga, pria itu malah memegangi bagian belakang sepeda Risty sambil menahan tubuh perempuan itu agar tidak oleng ke bawah. Hanya saja, Risty tetap panik, bahkan heboh sebentar sebelum benar-benar menguasai dirinya.

Sekarang, perempuan itu sudah berhasil menumpukan kedua kakinya di atas paving block, kemudian mendelik kesal ke arah Arsyad. “Bapak ngapain sih?” tegurnya dengan refleks. Tanpa sadar, menggunakan nada suara yang cukup tinggi.

“Untung saya enggak kenapa-napa. Kalau saya jatoh, gimana?” Risty tampak mengusap dada, lalu sadar dan langsung berdeham pelan.

Perempuan itu segera memalingkan wajah, kembali menghadap ke arah depan dengan punggung sekaku papan.  Seharusnya ia tidak perlu sekesal itu terhadap Arsyad. Karena bagaimanapun juga, pria itu adalah majikannya—sama seperti Mayra. Ia ada di sini karena sedang bekerja untuk mereka berdua.

Untungnya, saat itu Arsyad sama sekali tidak terlihat sedang marah. Karena pria itu hanya bertanya, “Habis dari mana?“

“Itu ... dari mini market, Pak.”

Dan Arsyad tidak bertanya lebih lanjut, lalu memilih mengatakan, “Nanti malem kamu harus siap.“

“Hah?!” Risty langsung memandang kaget ke arah Arsyad.

“Habis isya saya akan langsung menemui kamu di kamar.”

Risty sontak geleng-geleng panik di tempat. Karena ia mengerti apa yang dimaksud oleh pria itu barusan. “Tapi, Pak ... Bu Mayra enggak bilang—“

“Kita bahkan enggak pernah mengikuti jadwal yang dia buat.“

Risty tampak langsung mengatupkan bibirnya. Tetapi, wajah gadis itu tidak bisa berbohong kalau saat ini ia sedang panik, kaget, dan sedikit ketakutan.

“Malam ini kita mulai.”

******

Kira-kira kali ini bakal berhasil apa enggak?

😂




Sabtu, 25 November 2023

November RainWhere stories live. Discover now