6. Merpati Pos

21 9 4
                                    

Hari yang cukup melelahkan bagi Alia, sepulang bekerja di salah satu tempat laundry yang jauh dari tempat tinggalnya. Alia langsung menjatuhkan diri ketempat tidur, memijit-mijit kepalanya yang terasa pusing. Meskipun melelahkan, namun Alia suka bekerja disana. Selain bisa mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhannya, Alia juga bisa merasakan bagaimana rasanya bersosialisasi. Awalnya memang Alia gugup, namun setelah dijalani dua minggu lamanya Alia mulai terbiasa.

Sejak kecil, Alia tidak diberi fasilitas atau kebutuhan hidup sepersen pun dari Wiguna. Pria itu tak peduli, walaupun Alia mati karena kelaparan pun ia tak peduli. Untungnya ada Mama tirinya yang diam-diam selalu kekamar Alia dan memberi makan gadis itu walaupun dengan makanan sisa. Alia bersyukur, meski sang mama selalu menghina atau bahkan memukul dirinya, setidaknya masih ada rasa peduli wanita itu walaupun cuma secuil saja.

"Aku gak nyangka kalau bekerja bisa secapek ini." Monolog Alia sembari membuka lemarinya hendak menyiapkan pakaian pengganti. "Tapi gapapa kok, uangnya juga lumayan, hehe." Alia meletakkan uang gajiannya di dompet miliknya. Pandangan Alia sayu, menatap dompet yang merupakan pemberian dari Zayan dulu. Alia masih menyimpannya, semua barang dari Zayan ia simpan dengan aman. Karena Alia masih mencintai dan menyayangi lelaki tunangan adiknya tersebut.

Kruuukkruuk

Burung merpati berbulu putih bersih mengicau indah dan bertengger di jendela kamar Alia. Lamunannya buyar, lalu menatap burung merpati tersebut dengan mata berbinar takjub.

"Merpati berbulu putih, kamu berkilau banget dari situ." Ujar Alia tersenyum manis. Merpati itu mengicau seolah menunggu kedatangan Alia.

"Kayaknya kamu manggil aku deh?" Alia berjalan mendekati burung merpati tersebut. Ia tertawa kecil kala merpati itu menggerak-gerakkan kepala dan sayapnya, terlihat menggemaskan. Suara kicauan burung merpati itu kembali terdengar dan lebih berisik.

"Kamu sakit, Merpati?" Alia mendekatkan pandangannya, menelisik badan merpati takut jika ada luka lecet yang menyakiti binatang indah tersebut. Kedua manik Alia terkunci pada sesuatu yang dicengkeram burung tersebut.

"Kamu bawakan ini untuk aku?"

Dengan perlahan, Alia mengambil gulungan kertas yang dari tadi di cengkram oleh Merpati. "Surat?" Karena penasaran, Alia langsung membuka gulungan kertas tersebut, sontak Alia mematung kala membaca tulisan indah dari pena yang terangkum dikertas kecil itu.

"Nama merpati ini Beo"

Alia tertawa membaca kalimat awal disurat tersebut. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya tidak habis pikir dengan nama burung merpati yang bernama Beo itu. Tidak ada nama lain lagi kah?

"Dia utusan dari aku untuk memberikanmu surat ini. Oh iya,
Senang melihatmu lagi, Alia. Coba deh pandangin wajah kamu di cermin"

Alia langsung bergegas menuju cermin. Terpantul wajah dirinya sendiri yang terlihat letih namun tetap mempesona. Alia kembali membuka kertas tersebut dan membaca kalimat lanjutannya.

"Dicermin itu, kamu akan melihat kecantikan bidadari turun dari langit. Kira-kira siapa ya? Coba tanya deh sama Beo"

Tanpa sadar Alia tersenyum. Hatinya menghangat membaca surat dari seseorang misterius. Kira-kira siapa orang itu? Alia sungguh penasaran.

"Wajah itu wajah kamu, Al. cantik seperti bunga sakura"

____

"Pernikahan kita tinggal hitungan bulan, jadi aku mau kamu secepatnya ngelupain Alia!"

Zayan tersenyum miring, menatap sinis Celsy yang kini sedang bergelayut manja dilengannya. "Lo gak waras, sialan." Wajah Celsy yang tadinya ceria kini berubah menjadi datar. Matanya tidak luput memandangi ekspresi Zayan yang tampak menahan amarah.

AMERTA : Tentang Aksa Yang Tak Pernah RedupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang