11. Menceritakan Semuanya

12 4 1
                                    

"Akhir-akhir ini, Alia selalu bertemu dengan pria bernama Laksana, tuan. Laki-laki itu adalah orang yang menyembunyikan Alia waktu gadis itu kabur dari rumah pas lamaran keluarga Atmaja."

"Saya ceroboh tuan, dia ternyata masih hidup."

"BODOH!!" Wiguna tersulut emosi, ia mendesis tajam seolah kabar dari Satro meluluh lantakkan isi pikirannya tentang anak haram tersebut. Sial, sejak kapan Alia memiliki teman, atau bisa ia sebut seseorang yang bisa jadi ancaman suatu hari nanti.

Apakah Alia telah menceritakan semuanya? Perihal dirinya yang selalu menyiksa gadis itu, sampai-sampai luka yang tertoreh padanya itu mampu membuat pikiran untuk melenyapkan diri tercetus dikepala sang gadis. Jika benar, satu hal yang Wiguna takutkan, yaitu atensi masyarakat tentang Keluarga Wiguna.

Jika Alia memberitahu kepada lelaki itu, siapa keluarga dan pelaku kekerasan itu. Otomatis Aksa akan mengetahui kebusukan keluarga Wiguna. Bisa saja Aksa memberitahukan itu kepada khalayak maya, tentang betapa kejinya mereka dengan Alia–si anak haram tersebut. Meskipun Wiguna bisa berkilah, tetap saja pandangan masyarakat sedikit berubah, dan bisa saja beralih mengolok-olok keluarganya.

Apapun yang terjadi, Keluarga Wiguna harus terlihat sempurna!

Keluarga Wiguna sangat terkenal dikalangan atas maupun bawah dinegara ini. Menjadi keluarga yang diagung-agungkan karena kekayaannya dan keharmonisan serta nama baik yang selalu terjaga. Tanpa tahu jika diantara keluarga besar tersebut, ada seseorang yang juga mengalirkan darah kebesaran Wiguna, namun dibenci dan kerap kali disiksa fisik dan batinnya.

Itu tidak boleh, nama baik keluarga tidak boleh rusak hanya karena anak sialan itu!

Sekarang apa yang harus ia lakukan untuk menjauhi Alia dengan pria yang ia ketahui bernama Laksana tersebut?

"Tetap awasi Alia, terutama jika bersama lelaki itu." Jeda sejenak. "Dan, cari tahu semua tentang Laksana Adhitama."

____

Pikirannya kacau hanya karena kehadiran wajah perempuan yang akhir-akhir ini selalu melekat pada ingatannya. Ia berusaha menghalau pikiran itu, namun tidak bisa. Sedetik kemudian, bibirnya menyunggingkan senyum manis tatkala bayangan sang perempuan tersenyum sangat manis dibayangannya.

Sial, Aksa benar-benar gila. Tak biasanya ia begini. Sebenarnya ada apa? Kenapa Alia sulit sekali dihilangkan dari bayang-bayang kepalanya?

Aksa sudah tidak sabar dengan semua ini. Ia memutuskan untuk menemui Alia besok, lagipula tidak ada kelas pagi nanti.

Dan disini lah Aksa, berdiri didepan toko bunga, menunggu kembali Alia yang sedang izin kepada pemilik toko untuk mengurusi kedatangannya. Aksa jadi merasa tidak enak dengan Alia dan pemilik toko. Tidak lama kemudian, Alia pun keluar, dengan senyum tipis menyapa Aksa.

"Yaudah yuk, bu Rahma udah izinin aku kok."

"Saya ngerepotin gak Al?"

Alia langsung menggeleng, "enggak kok, aku juga bosan karena belum ada pesanan yang mau diantar. Akhir-akhir ini toko sepi." Ucapnya dengan nada sedih. "Tapi memangnya kamu mau ajak aku kemana?"

"Mau jalan-jalan aja, saya juga mau ngasih sesuatu ke kamu." Mata Alia langsung berbinar, "wah, aku penasaran!"

Bibir Aksa berkedut berupaya untuk tidak tersenyum kali ini. Alia terlihat menggemaskan sekarang, apalagi binar matanya yang membulat lucu, meskipun Aksa tahu didalamnya tersirat sebuah luka terpendam yang Aksa belum ketahui penyebabnya.

Aksa akan mengajak Alia ke taman dengan motornya. "Pake helmnya dulu, Al."

Tidak, bukan Alia sendiri yang memakai helm tersebut, melainkan Aksa yang memakaikannya dikepala gadis tersebut. Alia terbengong kaku, pikirannya terus mencari jawaban dari tindakan Aksa barusan.

"Buru naik, Al. Malah bengong."

Alia tersadar, lalu mengerucutkan bibir malu. Pipinya merona bak kepiting rebus. Alia hanya berharap Aksa tidak menyadari perubahan rona pipinya kali ini. Ia benar-benar malu.

____

"Saya bukan mau ikut campur, Al. Tapi tindakan ayahmu sudah melebihi batas wajar." Dada Aksa naik turun, giginya pun bergemeletuk menahan emosi.

Aksa tidak pernah menyangka, akan ada ayah sekeji pria yang diceritakan Alia. Mendadak hatinya sakit, dadanya juga berhimpit sesak. Rasa sakit yang dirasakan Alia selama ini tidak mudah Aksa prediksi betapa sakitnya luka itu.

Entah dorongan apa yang membuat Alia percaya, dan menceritakan sepenggal cerita laranya kepada Aksa. Hanya saja, di detik ini Alia hanya ingin mencurahkan segala nestapa yang menimpanya. Tentu hanya sepenggal, ia tidak mau membebani Aksa dengan kisah rumit dirinya yang lain.

Alia ingat saat malam pertama ia bertemu dengan Aksa. Dimana saat itu adalah fase ia dititik terendahnya. Aksa tidak hanya menyelamatkan nyawanya yang hampir ia hilangkan sendiri digedung tinggi itu, melainkan juga merentangkan tangan seolah berkata. 'Mulai sekarang, saya adalah rumah baru kamu.'

Alia yang saat itu mendambakan seseorang teman, mustahil untuk menolak rentangan Aksa waktu itu. Namun jika tahu ujungnya akan begini, Alia lebih memilih untuk tidak membalas rentangan sang Laksana. Namun apa boleh buat, Alia terlanjur dibuat nyaman oleh kehadiran lelaki itu. Semerta-merta pikirannya menolak kehadiran Aksa, namun hatinya justru mengatakan hal sebaliknya.

Bukannya kita harus mengikuti kata hati?

Dan kini, rasa nyaman itu mendoktori Alia untuk bersuara lebih, mengatakan tentang hal-hal yang semerawut dikepalanya. Alia tidak menyesal mengatakan itu, justru ia merasa lega sekaligus merasakan kembali apa rasanya didengar.

"Aksa, aku sama sekali enggan untuk melapor, aku masih butuh papa untuk lebih lama lagi hidup, lantaran aku penasaran dengan yang namanya kasih sayang cinta pertama seorang perempuan. Jika pun aku melapor, hasilnya akan sama saja karena papa mampu membungkam hukum dengan kekuasaan dan uangnya."

"Alia," Aksa memanggil nama gadis itu dengan suara rendahnya. "Makasih ya," lanjutnya kemudian.

Alia mengernyit dahi, "untuk?"

"Karena kamu mau menceritakan itu ke saya." Aksa tersenyum tipis, mata teduhnya menyorot hangat sosok Alia. "Saya tahu, Al. Pasti berat untuk kamu mengulang kembali ingatan itu dengan kata-kata. Tapi tadi saya kagum, karena sepanjang cerita, yang saya tangkap dari kamu adalah ketegaran kamu."

"Iya aku tegar, Sa. Karena aku ingat seseorang pernah mengatakan. Bahwasanya 'Lupa bukanlah sesuatu yang mudah. Namun, mengingat-ingat luka itu tidak ada manfaatnya. Itu akan membuatmu semakin sakit. Jalan satu-satunya adalah berdamai, atau melupakan. Karena, tidak ada kata sembuh untuk luka yang pernah tertoreh pada diri kita.' dan yap, aku mencoba melupakan luka-luka itu sampai-sampai aku merasa damai meski untuk sementara waktu, karena lusa atau beberapa hari kemudian luka baru akan menyusul dan akan sama pedihnya, mungkin lebih?"

Aksa menyentuh pundak gadis itu, tatapannya tersirat akan ketulusan. Alia sampai lupa kapan terakhir kali ia menatap kedua manik hazel tersebut. Dan ya, Alia kembali terpaku, mata itu seolah memiliki bius tersendiri baginya.

"Dengarkan saya baik-baik Al. Mulai detik ini, anggaplah saya sebagai rumah kedua kamu. Kamu bisa jadikan saya tempat pulang pun menceritakan semua lara yang acap kali menusuk dirimu, saya memang tidak bisa menyembuhkan lara itu. Namun, saya akan berusaha menjadi obat agar kamu tidak lagi atau lupa dengan rasa sakit akibat luka itu."

____

Duh, aku ngetik apaan dah, gaje banget ☺️

AMERTA : Tentang Aksa Yang Tak Pernah RedupWhere stories live. Discover now